fbpx

Keutamaan Orang Bertawakal

Boleh sebentar saja kita melirik firman Allah dalam QS: Ali Imran : 159 yang berbunyi,
“Sesungguhnya Allah itu mencintai dan menyayangi orang-orang yang bertawakal.”

Dalam sebuah hadits pun diriwayatkan oleh Umar Bin Khattab, Rasulullah SAW bersabda,

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan perutnya yang lapar lalu kembali lagi tetapi dalam keadaan kenyang.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban serta Al-Hakim).

Dua dalil naqli ini menegaskan bahwa tawakal merupakan sikap mental yang terpuji dan berdampak luar biasa dalam kehidupan seorang hamba. Dengan mengutamakan tawakal seseorang dapat memperoleh cinta dan kasih sayang Allah, seperti yang termaktub dalam firmanNya surah Ali Imran ayat 159. Betapa tidak? Tawakal berarti menyerahkan dan menyandarkan segala urusan hidup pada wakil (yang ditawakali) semata. Ketika datang ujian hidup, baik berupa kesenangan ataupun musibah, seorang hamba yang bertawakal hanya akan merespon bentuk ujian ini pada wakilnya, wakil hidupnya, yakni Allah. Jika urusannya baik dan menyenangkan maka ia bersyukur, jika membuat lara hati dan menyedihkan maka ia bersabar, tetap mengupayakan sikap tawakal pada Allah SWT. Masya Allah, betapa indah urusan hidup seorang mukmin. Hidupnya dihiasi ketenangan dan berisi keseimbangan antara syukur dan sabar.

Adapun hadits riwayat Umar bin Khatab tentang tawakal, betapa Allah menjanjikan datangnya rezeki pada hamba-hambaNya yang senantiasa bertawakal, seperti burung yang keluar sangkar dalam keadaan lapar lalu kembali dalam keadaan kenyang. Ada hal menarik dalam kisah dan perumpamaan ini. Terkandung makna yang dalam sekaligus pelajaran penting bagi kita semua dalam memahami konsep tawakal tersebut. Apakah tawakal hanya bentuk pasrah atas segala urusan hidup seseorang yang kemudian diserahkan putusannya pada Tuhan semata tanpa dibarengi dengan upaya apapun? Tentu tidak, pemahaman itu jelas salah dan keliru. Allah memerintahkan kita bertawakal adalah sebagai tindakan dan respon setelah kita melakukan sesuatu. Seperti kisah populer tentang sahabat yang bertanya pada Rasulullah perihal untanya agar aman dan tidak lepas. Ia menanyakan apa yang pertama-tama harus ia lakukan, apakah mengikat untanya di tiang kemudia dia bertawakal pada Allah, atau tidak melakukan apapun, melepaskan tali pengaitnya begitu saja kemudian hanya bertawakal pada Allah. Maka jawaban Rasulullah ialah, “Ikatlah untamu ke tiang, lalu kamu bertawakal pada Allah!”

Dalam kisah tersebut ada unsur usaha dahulu sebelum berserah diri (tawakal). Jelas tawakal bukan menjadi metode dan strategi pertama kali yang dilakukan manusia untuk merespon persoalan hidupnya tapi menjadi tindakan atau sikap sesudah ia melakukan sesuatu / upaya secara maksimal, itulah yang biasa kita sebut dengan ikhtiar.

Kembali pada hadits riwayat Umar Bin Khattab tadi, perumpamaan orang bertawakal seperti seekor burung yang keluar dengan perut lapar dan kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Yang dilakukan burung tersebut bukanlah berdiam diri dalam keadaan lapar di sangkar kemudian secara serta-merta karena ia sabar, Allah mendatangkan rezeki dengan memberikan rasa kenyang dalam perutnya, sama sekali bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, ada tindakan dan respon dari seekor burung tersebut ketika perutnya dilanda lapar. Ia harus berjalan tertatih dulu mungkin, kemudian terseok-seok karena kesakitan, kemudia ia menarik nafas, ia sedikit mencoba mengepakkan sayap meskipun tenaganya hampir habis. Lantas ia berhasil keluar sangkar, ia terbang bebas mengelilingi pohon tempatnya berteduh dan berlindung, tidak jua menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Ia terbang lebih jauh lagi, ia lebih kuat mengepakkan sayapnya lagi, ia terbang di udara mengitari satu pohon ke pohon lain, kemudian satu kawasan ke kawasan lain, atau bahkan berjam-jam ia pergi, di bawah terika panas dan berganti hujan dan gemuruh petir. Satu hal penting yang ia lakukan adalah berupaya mencari makanan, membuka pintu rezeki dari arah mana pun karena sejatinya seekor burung tersebut pun hamba Allah yang dititahNya untuk terus bertasbih dan memuji Allah dengan cara seekor burung. Sejatinya itulah yang dilakukan burung tersebut. Bukan berdiam diri lalu bertawakal tapi berjalan, berusaha, mencari, bersabar karena rasa lelah dan letih, panas dan dingin, juga waktunya yang tidak sebentar kemudian ia bertawakal. Allah tidak pernah mengingkari janjinya pada hambaNya, pun ia hanya seekor burung. Setibanya di sangkar, burung tersebut mendapatkan makanan hasil ikhtiar dan tawakalnya hingga perutnya kembali dengan rasa kenyang, tidak merasakan lapar lagi. Inilah hikmah luar biasa yang dapat kita petik dari potongan hadits tersebut. Kita belajar dari seekor burung yang bertawakal pada Allah.

Mengaca pada firman Allah tadi dan hadits tentang tawakal, seyogianya kita dapat membaca maksud Allah yang memerintahkan kita bertawakal dan mengabadikannya dalam firmanNya. Banyak ayat Quran yang menyuruh kita bertawakal, seperti dalam QS: Ath-Thalaq : 1-2, QS: Furqan : 58, QS: An-Nahl : 99, QS: Al-Anfaal : 49, dan QS: Yusuf :67 berikut ini,

“Dan dia (Ya’qub) berkata, “Wahai anak-anakku! Janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang yang berbeda namun demikian aku tidak dapat mempertahankan kamu sedikitpun dari (takdir) Allah. Keputusan itu hanyalah bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya pula bertawakallah orang-orang yang bertawakal.”

Dalam surah tersebut terjadi percakapan antara Ya’qub dengan anak-anaknya. Ia hanya mampu memberikan perintah, larangan, dan pandangan pada anak-anaknya. Pun anak-anaknya hanya memiliki upaya untuk memilih bukan memutuskan ketetapan. Sejatinya segala ketetapan takdir hanyalah milik Allah. Takdir adalah hak prerogatif Allah semata. Dialah raja manusia, sembahan manusia, Dia pemilik alam semesta beserta isinya dan kita terhimpun dalam kerajaannya sebagai makhluk maka hanyalah Dia yang berhak memutuskan jalan dan takdir terbaik bagi hambaNya.

Mengacu pada ayat tersebut dapat ditarik benang merah tentang betapa tawakal menjadi jalan terbaik hamba menyikapi hidupnya. Tersimpan banyak keutamaan dalam sikap bertawakal pada Allah, yakni sebagai berikut:

Pertama, sebagai pembuktian keimanan pada Allah.

Definisi iman yang ialah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan membuktikan dengan amal perbuatan merupakan simbol yang interpretasinya ialah melalui sikap tawakal. Ketika seorang hamba meyakini adanya Allah, mengakui keesaan dan kebesaran Allah, meyakini bahwa Dialah Tuhan dan Raja yang memberikan ketetapan hidup Maha Adil dan Bijaksana, maka ia bertawakal. Mustahil seorang mukmin menyandarkan urusan hidupnya pada makhluk. Mereka berupaya melalui tangan-tangan makhluk, itulah keniscayaan yang mereka perbuat, namun menyandarkan takdir pada makhluk, mustahil ia lakukan. Dengan yakin akan kebesaran Allah, ia hanya akan bersandar pada Allah dan segala hukum ketetapan Allah saja.

Kedua, akan memperoleh jaminan rezeki dan kecukupan hidup.

Tawakal membuat hati dan jiwa manusia senantiasa terkait dengan Allah. Itulah mengapa seorang yang bertawakal pada Allah selalu merasa dekat dan menyatu dengan Allah. Ini memengaruhi respon mental dan jiwanya ketika mendapatkan rezeki, baik musibah ataupun anugerah. Jika baik ia bersyukur, jika buruk ia bersabar. Begitu indah dan terpujilah sikap mukmin yang bertawakal. Dengan demikian, ia selalu merasa luas dan banyak. Rezeki yang dalam kacamata manusia terbilang sedikit, baginya adalah sebaliknya. Ia hanya akan melihat peluang dan banyaknya nikmat bukan fokus pada sedikitnya harta, makanan, dan kesusahan hidup. Karena sikap optimis pada janji Allah dan obsesif atas Allah sebagai tujuan hidup maka jaminan rezekilah yang diperolehnya. Dengan yang sedikit dan ada di depan mata, ia senantiasa bersyukur juga merasa banyak maka di akhirat kelak buah kesabarannya adalah aset akhirat yang berlipat ganda. Aset berkat kesabaran atas ujian dan syukur atas kebahagiaan dan pendapatan sekecil apapun yang sudah dikehendaki Allah datang padanya.

Semoga kita senantiasa menjadi mukmin yang bertawakal pada Allah, yang indah urusan hidupnya. Jika senang ia bersyukur, jika sedih ia bersabar. Masya Allah.

Yuk salurkan Zakat, Infak dan Sedekah Melalui www.maiberbagi.or.id

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL