fbpx

Jagalah Lisanmu

 

“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya.” (HR. Bukhari)

Interaksi antarsesama sudah menjadi bagian penting dalam hidup seorang manusia. Setiap hari kita berkomunikasi dengan orang lain dengan berbagai tujuan, maksud, dan cara seperti berkomunikasi langsung, lewat telepon atau melalui pesan singkat. Pada dasarnya berkomunikasi merupakan sebuah hal yang baik apabila ia ditujukan untuk hal-hal yang baik. Seorang guru mengajarkan ilmu kepada para muridnya merupakan sebuah bentuk komunikasi, seorang pimpinan memberi arahan kepada stafnya juga termasuk ke dalam komunikasi. Orangtua menasihati anaknya pun dengan cara berkomunikasi. Namun, justru Rasulullah secara khusus dan tegas melarang umatnya untuk banyak berbicara. Mengapa demikian?

Seperti yang telah termaktub dalam hadits yang dicantumkan di awal, semua pancaindera manusia berpotensi melakukan zina, salah satunya adalah zina yang dilakukan oleh lidah kita. Organ tubuh kita yang satu ini bisa menjerumuskan pemiliknya ke dalam sebuah masalah besar apabila orang tersebut tak pandai mengelola dan menahan diri. Lidah pun bisa berzina melalui memuntahkan perkataan yang kasar, kotor, dan tidak bermanfaat sama sekali. Jika kita tak pandai menjaga diri, mengelola emosi, dan menahan hawa nafsu, lidah kita hanya akan mengeluarkan sumpah serapah, caci maki, mengutuk, umpatan, ghibah tak berdasar, fitnah, menyebarkan prasangka buruk, kata-kata yang ditujukan untuk merundung seseorang, dan berbagai macam ucapan buruk lainnya.

Pembaca, tahukah Anda bahwa setiap kata yang keluar dari mulut seseorang mencerminkan kepribadian orang tersebut? Orang tersebut boleh saja memiliki gelar akademis berjejer, baik di depan maupun di belakang namanya, namun tetap, gelar tersebut hanyalah predikat pemberian manusia berdasarkan bidang ilmu yang ditekuninya. Gelar, jabatan, pekerjaan, asal usul keturunan tak dapat menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang.

Orang yang gemar bersumpah serapah, mencaci maki, mengumpat, dan ucapan kotor nan buruk lainnya dapat dipastikan kepribadiannya seburuk lisannya. Tak hanya itu, isi pikiran dan hatinya pun sama buruknya. Inilah salah satu sebab mengapa Rasulullah melarang kita untuk banyak berbicara. Mulut yang terlalu berbicara hanya akan mengeluarkan keburukan-keburukan yang tidak hanya menimpa orang yang tidak bisa menjaga lisannya, tetapi juga orang lain yang dituju melalui lisannya yang tajam tersebut dan semua orang yang mendengarnya.

Tentu kita semua tahu ada pepatah yang mengatakan “mulutmu, harimaumu”, bukan? Semua ucapan yang telah terlontar akan menjadi bumerang bagi pengucapannya. Beruntunglah jika kekayaan yang kerap terlontar dari lisan kita hanyalah perkataan yang baik-baik saja. Beruntunglah bagi kita yang lebih memilih diam dan menahan diri untuk tidak ikut mengomentari sesuatu yang tidak kita pahami. Beruntunglah kita kalau kita lebih memilih membasahi lisan kita dengan berdzikir dan beristigfar. Beruntunglah kita jika mampu menahan diri dari lisan yang buruk, karena hal-hal yang baik akan selalu pulang menemui tuannya untuk memberikan kebaikan pula.

Lisan bak dua mata pisau yang sama tajamnya. Orang yang pandai menahan dan mengendalikan lisannya merupakan orang yang pandai menjaga perasaan orang lain agar tidak terluka dengan ucapannya. Ia sadar lisannya bisa menjadi madu atau berubah menjadi racun itu tergantung bagaimana dirinya mengelola perasaan dan pikirannya.

Begitu pula sebaliknya. Saat lisan tak kita jaga dengan baik, ia hanya akan menyakiti banyak orang, melukai perasaan mereka, dan bahkan sebuah hubungan bisa hancur karena ketidakmampuan seseorang dalam menahan segala sesuatu yang dirasakannya. Alih-alih menyelesaikan masalahnya dengan baik-baik, ia malah memilih untuk mengumpat, mencaci, menyindir orang lain. Tentu ini sangat merugikan banyak pihak. Pada akhirnya, lisan yang buruk dan tak terjaga hanya menyisakan luka hati, penyesalan, dan hancurnya sebuah hubungan.

Di era digital seperti sekarang ini, komunikasi tak hanya dilakukan secara langsung saking berhadapan dengan lawan tutur kita. Berbagai media sosial menjadi wadah kita untuk berkomunikasi antarsesama yang dapat menjangkau kawan tutur lebih banyak dalam satu waktu. Sayangnya, selain menjadi wadah mempermudah kita dalam berkomunikasi, media sosial juga menjadi sarana yang lebih mudah untuk mengekspresikan perasaan seseorang. Bukan hal yang aneh bila kita sering mendengar berita banyak kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh oknum tertentu di sebuah media sosial.

Media sosial nyatanya berfungsi tak ubah laiknya tameng pelindung seseorang yang sangat ingin mengomentari orang lain, tapi tak berani melakukannya di depan orang yang dituju. Melalui media sosial, kini orang bebas berkomentar apa saja di unggahan seseorang. Orang juga bebas menyindir dan memaki seseorang melalui postingan yang diunggahnya. Tak jarang, banyak orang yang ikut tersinggung dengan postingan seseorang yang bernada menyindir yang awalnya hanya ditujukan kepada orang tertentu saja. Namun inilah dunia media sosial. Siapapun bebas membaca apa saja. Itulah mengapa sangat diperlukan etika dan tatacara dalam bersosialisasi di media sosial. Salah satu etika di media sosial adalah kita harus memahami bahwa tak semua yang kita rasakan dan alami harus diposting. Tak semua unek-unek dalam hati harus dicurahkan melalui status-status di media sosial. Ada banyak hati yang harus kita jaga. Ada banyak perasaan yang harus kita hormati. Ada orang lain yang harus kita jaga dengan status-status kita di media sosial agar mereka tak tersinggung.

Baik berkomunikasi secara langsung maupun di media sosial, kita harus menyadari bahwa kita hidup akan selalu berdampingan dengan orang lain. Suatu hari nanti kita akan membutuhkan pertolongan orang lain. Jangan sampai ucapan atau status kita di media sosial menjadi bumerang bagi diri sendiri; menyerang diri sendiri dan menghancurkan hidup kita. Jagalah perasaan orang lain agar tidak tersinggung dan terluka oleh sikap kita sebagaimana kita ingin dihormati dan tidak ingin dilukai. Jangan sampai kita memberikan kegembiraan bagi syaitan lewat hancurnya sebuah hubungan silaturahim karena lisan yang tidak mampu dijaga.

Pembaca yang budiman, ada tiga hal yang sekali terlaksana, maka mereka tak akan dapat dikembalikan betapapun kita menyesalinya. Ketiga hal tersebut adalah waktu, kepercayaan, dan lisan. Ketiganya bak anak panah yang melesat dengan teramat cepat dan tak mampu lagi kita kembalikan ke busurnya. Jika kita tak pandai menggunakan panah, maka  kita tidak bisa membidik dengan tepat dan anak panah akan meluncur cepat ke arah yang salah. Begitu pula dengan ketiga hal tadi, waktu, kepercayaan, dan lisan. Jika kita tak pandai mengendalikan diri, ketiganya hanya akan menjadi bom yang dapat meledak sewaktu-waktu tanpa peringatan terlebih dahulu. Hancurnya ketiga hal tersebut tak akan memberikan kita sedikitpun kebaikan atau keuntungan. Malah, kita akan terseret dalam musibah besar sebagai akibat ketidakmampuan kita dalam menjaga tiga hal tersebut. Nauzubillah min dzalik.

Penulis,
(DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL