fbpx

7 Manfaat Tawakal

Berasal dari serapan bahasa Arab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tawakal berarti pasrah dengan sepenuh hati kepada Allah SWT. Menurut Imam Ghazali, Tawakal ialah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata.  Al-Allamah Al-Manawi berkata: “Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali”. Definisi lain tawakal pun dihadirkan oleh seorang ulama islam; Al-Mulla Ali Al-Qari: “Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah.”

Tawakal merupakan perbendaharaan kata yang kerap kita sebut dan temui dalam kehidupan sehari-hari. Kata yang seringkali kita dengungkan, sebagai bentuk respon yang terjadi jika seorang hamba ditimpa ujian, baik senang maupun susah. Betapa tawakal adalah sikap mental seorang hamba yang beriman. Tawakal merupakan interpretasi dari rupa islam dan iman. Tinggi rendahnya keimanan seseorang terletak pada seberapa ia meletakkan tawakal sebagai sikap mental, inilah tolok ukur keimanan hamba. Tawakal ialah menyandarkan segala urusan hidup pada satu-satunya zat pencipta dan penetap takdir yang Maha Adil, ialah Allah SWT. segala urusan hidup seorang hamba hanya mengacu pada segala takdir dan ketetapan Allah, suka tidaknya Allah terhadap aktivitas hidupnya. Betapa tidak berlebihan jika tawakal menjadi barometer kedekatan Tuhan dengan makhluknya.

Sungguh beruntung nasib orang-orang muslim yang beriman. Jika ia dilimpah rezeki, ia bersyukur, jika ditimpa musibah, ia bertawakal kepada Allah. Tidak ada takdir yang buruk menurut orang-orang yang beriman. Segala jalan yang ditempuh, ketetapan yang terjadi disadari dan diyakini sebagai bentuk kasih sayang Allah, takdir terbaik yang digariskan Allah, tuhannya. Sebesar itu dampak sikap tawakal yang dirasakan mukmin sebab di dalam ‘tawakal’ terkandung banyak manfaat dalam hidup. Ada 7 manfaat tawakal yang akan diperoleh hamba-hamba Allah yang beriman, berikut ulasannya:

  • Mendapatkan kemudahan dunia-akhirat

Ada sebuah doa yang kerap dilantunkan setelah salat duha:

“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah dan yang sulit bisa Engkau permudah bila Engkau kehendaki mudah.” (HR. Ibnu Hibban). Inilah bentuk sikap seorang hamba yang menjadi Allah dengan segala ketetapannya sebagai sandaran hidup. Maka kemudahan jalanlah yang ia temui, di dunia hatinya terasa ringan karena dengan penuh mengembalikan segala urusan hanya pada pemilik urusan dan penetap yang Maha Bijaksana; Allah Azza Wajalla. Di akhirat ia termasuk dalam barisan orang-orang yang bersabar atas ujian dan kesulitan hidup, maka baginya surga.

  • Adaptasi masalah

Bagi pengaplikasi tawakal sebagai sikap mental, masalah hidup tidak lagi jadi persoalan besarnya. Ketakutan terbesarnya dalam hidup hanyalah murka Allah. Karenanya, tiap kali hidupnya dirundung ujian ia hanya yakin bahwa itu bentuk kasih sayang Allah menaikkan level kelasnya sebagai mukmin. Hidupnya simpel, tanpa beban. Masalah hidup baginya hanya bagaikan ombak di tengah lautan seperti ungkapan penyair Sutan Takdir Ali Syahbana. Masalah adalah keniscayaan yang kerap dijumpai. Tugasnya hanya menerima dengan ikhlas lalu mengembalikan segala urusan pada pemilikNya. Pun ini ia lakukan setelah tahap ikhtiar yang maksimal. Indah sekali urusan orang mukmin terhadap tawakal.

  • Perkuat keimanan

Seperti yang sempat dipaparkan pada penjelasan sebelumnya bahwa tawakal ialah tolok ukur keimanan hamba. Enam bulir rukun iman terimplikasi dalam sikap tawakal; berserahdiri pada Allah atas segala urusan hidup yang terjadi. Ia percaya pada Allah maka ia bertawakal setelah ikhtiar, itulah rumus hidupnya. Ia meyakini kehadiran malaikat Allah maka segala aktivitasnya berdasar pada kesukaan dan perintah Allah. Yakin atas kitabullah maka hidupnya teraplikasi dari bagaimana Alquran & Sunah menyarankan, itulah hukum yang ia tegakkan. Percaya bahwa Rasulullah utusanNya maka hidupnya mirip bagaimana sunah dan kelakukan Nabi dan RasulNya, qana’ah dan sederhana memandang hidup, menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong. Juga tentang keyakinan terhadap ketetapan Allah dan hari akhir, jelas saja, mukmin yang bertawakal akan senantiasa mengatasnamakan Allah sebagai penetap hukum dan takdir, meyakini segala yang Allah berikan, baik susah atau pun senang adalah kehendakNya, semua alam berjalan atas izinNya maka bagaimana mungkin dia tidak memiliki keimanan yang kuat sebagai pengaplikasi tawakal?!

  • Terhindar dari putus asa

Ini merupakan manfaat sekaligus dampak yang diperoleh jika seseorang bertawakal hanya pada Allah. Kuatnya keimanan dalam dirinya tentang Allah merupakan penetap takdir yang terbaik membuatnya mustahil memiliki rasa putus asa. Harapanya hanya terpaku pada Allah, otaknya menuju Allah, hatinya terpaut pada Allah, lisannya, segala pancainderanya berjalan pada segala kesukaan dan kemauan Allah, maka apapun jalan yang Allah gariskan padanya hanya akan membuatnya meyakini ‘Inilah yang Allah mau, ini putusan terbaik, inilah jawaban Allah sebagai bentuk komunikasiNya pada kita sebagai makhluk’. Tentu yang terjadi pada diri seorang yang bertawakal ini bukanlah putus asa, hilang harapan dan keyakinan melainkan sikap ikhlas, tulus, qana’ah, sederhana, berbesar hati, dan besarnya syukur pada Allah SWT.

  • Melatih kemandirian

Tawakal memberikan pelajaran bahwa sikap pasrah dan menyerahkan segala urusan pada Allah akan dilakukan setelah ia melakukan upaya, usaha, strategi, ikhtiar yang banyak, yang besar, dan berkali-kali. Pernyataan ini dikuatkan oleh hadits yang berdasarkan pada kejadian seorang sahabat menanyakan pendapat Rasulullah tentang tawakal. Apa yang harus dilakukannya terlebih dahulu, mengikat untanya ke tiang lalu bertawakal atau membiarkannya saja tanpa diikat lalu bertawakal saja pada Allah. Maka Rasulullah menjawab, “’IqilHaa watawakkal!”

“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal!” (HR. At-Tirmidzi np. 2517, Hasan)

Hadits tersebut menegaskan betapa tawakal merupakan sikap kemandirian dan kepasrahan. Tidak terkandung keraguan dan kekhawatiran dalam tawakal karena ia meyakini yang baik untuknya tidak akan pergi, begitu sebaliknya. Tawakal hanya merujuk pada dua point penting saja, usaha maksimal sebagai manusia biasa yang tidak tahu apapun dan hanya berencana, kedua ialah penyerahan sepenuhnya ketetapan dan kejadian hanya pada Allah. Maka apalagi yang diperoleh seorang yang bertawakal selain manfaat memiliki kemandirian hebat sebab tempat bergantungnya hanya pada Allah bukan makhluk lain, seperti bos, atasan, ibu, ayah, keluarga, teman karib, sahabat, rumah sakit, dokter, guru, ustadz, ulama, dan presiden. Ia hanya memliki dan meyakini tangan-tangan Allah saja, cukup Allah, bukan yang lain.

  • Dicukupkan rezeki

Melalui tawakal seseorang akan merasa cukup dan selalu bersyukur karena hatinya tidak tertambat pada urusan duniawi. Jiwanya menyatu bersama Allah. Ia memiliki kedekatan emosional serta spiritual yang luar biasa dengan Allah, Tuhannya. Maka jika pun memang secara kacamata manusia hidupnya kurang finansial, kurang mewah, kurang banyak, tapi di dalam hati hamba yang bertawakal hanya ada rasa syukur yang besar terhadap apapun yang Allah beri, karenanya hati dan jiwanya senantiasa merasa cukup. Inilah nilai dan gambaran yang tidak mampu dihitung dari kacamata dan kalkulasi manusia. Baginya, Allah memiliki kalkulator keadilannya sendiri. Sebab itulah, hatinya selalu merasa luas atas berkah dan rezeki yang Allah beri. Ia akan senantiasa mensyukuri hal-hal kecil yang mungkin jarang dinilai manusia karena itu dalam pandangannya rezeki Allah selalu Maha Luas dan Maha Besar untuknya.

  • Senantiasa merasa dekat dengan Allah

Bersandar pada QS: An-Nahl : 99 bahwa Setan tidak akan berpengaruh terhadap orang beriman dan bertawakal, juga QS: Al-Furqan : 58 sebagai berikut, “Hendaklah hanya kepada Allah sajalah orang mukmin itu bertawakal, dan bertawakalah kepada Allah yang Maha Hidup (abadi) yang tidak akan pernah binasa. Maka bertasbihlah atas namanya dan pujilah dia.”

Sikap tawakal membawa diri seorang hamba selalu merasa dekat dengan Allah karena Allah tujuannya. Prinsip hidupnya tak lain menjadikan Allah sebagai “Allah Minded” atau “Allahlah Obsesiku”. Ketika sudah hanya Allah yang menjadi tujuan hidup hamba, bukan yang lain, maka segala tingkah polah hidupnya hanya tentang “Sukakah Allah?”

Setiap saat aktivitasnya mengacu pada nilai ibadah dan beramal saleh maka yang ia lakukan hanyalah mengingat Allah dan bertasbih menyebut keagunganNya melalui pekerjaannya, ibadahnya, susah dan senangnya, tawa dan tangisnya, musibah dan anugerahnya. Cukup Allah tujuannya. Inilah bentuk kedekatan dia sebagai hamba sahaya pada Allah; rabbul izzati pemilik semesta raya. Seperti ungkapan hadits tentang ‘Allah sangat dengat dengan hambaNya melebihi urat nadi’, itulah gambaran kedekatan hamba yang bertawakal pada Allah. Jiwanya telah menyatu bersama Allah maka rutiniasnya adalah segala hal kebaikan dan jauh dari kemaksiatan. Aktivitasnya selalu merasa diawasi Allah dan malaikatnya, inilah dampak keimanan yang kuat atas sikap tawakalnya, maka dirinya berjalan di muka bumi hanya membawa misi langit tentang Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar, segala yang Allah suka dan Allah benci. Hidupnya tenang sebab ia mendasari ketetapan Allah dalam segala gerakannya. Kedekatannya dengan Allah melebihi apapun maka yang terlihat dalam mata manusia lain hidupnya mungkin sedang bekerja memajukan perusahaan besar milik negara tapi sejatinya ia tengah menjalankan titah Tuhannya untuk bertebaran di muka bumi, mengais rezeki, membuka pintu-pintu keridaaan Allah dari arah manapun. Sesungguhnya ia hanya berjalan di muka bumi sebagai hamba sahaya, seorang budak yang mengabdi pada Tuannya. Berjalan pada kebajikan dan bertolak dari kemunkaran.

Yuk Donasi Melalui www.maiberbagi.or.id

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL