Sebagaimana ketentuan syariat Islam bahwa di antara yang menyebabkan batalnya puasa adalah terjadinya hubungan suami istri di siang bulan Ramadhan dalam kondisi berpuasa. Khusus untuk pelanggaran ini, Islam mewajibkan kafarat jima’ di siang Ramadhan atas sang pelaku.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan ulama terkait masalah kaffarah ini, namun mereka sepakat pada jenis kaffarah yang wajib dibayarkan. Sebagaimana ketentuan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim berikut:
Dari Abi Hurairah RA, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ?“. “Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak?“. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?“.”Tidak”.Kemudian ia duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi,”Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku”. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Berturut-turut atau Pilihan
Sebagaimana keterangan hadits di atas, Rasulullah SAW memberikan tiga pilihan untuk membayar kaffarat atas pelanggaran berhubungan suami istri di siang bulan Ramadhan bagi yang melaksanakan puasa. Namun terkait pelaksanaan salah satu kaffarat tersebut, ulama berbeda pendapat apakah dilakukan secara berturut-turut sesuai redaksi hadits, ataukah pilihan diberikan secara bebas sesuai keinginan?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda di antara ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa kafarah itu harus dikerjakan sesuai dengan urutannya, bukan atas dasar pilihan mana yang paling dia sukai. Jadi kalau ada orang yang melanggar ketentuan, maka kaffaratnya memerdekakan budak.
Kalau orang itu tidak mampu memerdekakan budak, maka barulah diturunkan menjadi berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan bila tidak mampu juga, barulah diturunkan lagi menjadi memberi makan 60 orang fakir miskin.
Namun Imam Malik berpendapat bahwa ketiga bentuk kaffarah itu sifatnya pilihan mana suka. Orang yang melakukan pelanggaran puasa dan diwajibkan atasnya menebus dengan kaffarat, dipersilahkan memilih mana yang paling diinginkan untuk melaksanakannya.
Meskipun di antara ulama Al Malikiyyah ada yang berpendapat bahwa menebus kaffarah secara berturut-turut dianggap lebih utama namun bukan kemestian (Shahih Fiqih As Sunnah 2/109).
Akan tetapi jika melihat konteks masyarakat Indonesia yang notabene tidak ada praktek perbudakan di negara ini. Dapat dipastikan bahwa kaffarat akan dilakukan dengan dua pilihan lainnya, apakah puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.
Puasa Dua Bulan Berturut-turut
Jika pilihan jatuh pada puasa dua bulan berturut-turut, maka puasa tersebut disyaratkan untuk dilakukan secara berturut-turut. Di mana konsekuensinya adalah jika ada satu hari saja di dalamnya dia libur tidak berpuasa, maka wajib baginya untuk mengulangi lagi dari awal.
Bahkan meski hari yang ditinggalkannya sudah sampai pada hitungan hari yang paling akhir dari 2 bulan yang berturut-turut itu. Selain itu, harus ditetapkan pula niat untuk melakukan puasa kaffarat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 35/104).
Di samping membayar kaffarat ini, menurut jumhur ulama, dia pun wajib mengqadha’ puasanya yang telah batal. Sedangkan menurut Ibnu Hazm Azh Zhahiri cukup baginya membayar kaffarah saja. (Shahih Fiqih As Sunnah 2/107-108).
Memberi Makan 60 Orang Miskin
Sedangkan jika pilihan jatuh pada memberi makan 60 orang miskin, dalam hal ini kita akan dapati beberapa keterangan ulama yang bisa dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya.
Dalam kitab Ensiklopedi Fiqih Kuwait (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, juz.35, h. 101-103) terdapat satu sub bab khusus tentang syarat-syarat membayar kaffarat dengan ith’am atau memberi makan orang miskin. Ada empat hal terkait syarat ini:
- Dari Sisi Kaifiat (Cara Pendistribusian)
Apakah mesti dengan memberikan secara langsung dengan kadar yang telah ditentukan atau cukup dengan mengundang makan 60 orang miskin kerumah lalu memberikan makanan yang telah disediakan yang dapat mengenyangkan mereka? Dalam hal ini ada dua pendapat di antara ulama:
Pendapat Pertama
Jumhur ulama (Al Malikiyyah, Asy Syafi’iyyah, dan Al Hanabilah) berpendapat bahwa pendistribusiannya mesti dengan cara memberikan langsung makanan pokok yang menjadi kaffarat kepada 60 orang miskin (at tamlik). Sebab kaffarat merupakan kewajiban harta yang mesti diketahui kadarnya.
Pendapat Kedua
Al Hanafiyyah berpendapat bahwa pendistribusiannya bisa dilakukan dengan cara mengundang 60 orang miskin kerumah untuk menyantap makanan yang telah disediakan pada siang dan malam hari hingga kenyang. Pendapat ini didasari atas firman Allah, ”… Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu…” (QS. Al Ma’idah: 89).
- Dari Sisi Kadar Makanan Yang Mesti Diberikan
Terkait hal ini terdapat dua pendapat di antara ulama:
Pendapat pertama:
Jumhur ulama (Al Malikiyyah, Asy Syafi’iyyah,dan Al Hanabilah) berpendapat bahwa kadar yang wajib diberikan kepada setiap orang miskin adalah satu mud (ukuran mud itu bila dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi SAW atau 6 ons) dari jenis makanan pokok setiap daerah. Di samping itu merekapun menambahkan beberapa ketentuan:
- Kaffarah tidak boleh dibayarkan dengan harga makanan yang diberikan, harus sesuai dengan ketentuan hadits.
- Takaran setiap satu orang miskin tidak boleh dikurangi, seperti dengan memberikan makanan untuk 120 orang miskin dengan 60 mud, setiap orang mendapatkan ½ mud. Kecuali jika diantara 120 orang miskin tersebut, setengahnya atau 60 orang di antaranya diberikan masing-masing takaran 1 mud yang sempurna.
- Tidak boleh pula dicampur dengan barang yang lain (at talfiq), seperti misalnya memberikan 30 orang miskin masing-masing 1 mud dan 30 lainnya berupa pakaian.
- Sebagaimana ketentuan jumhur di atas, bahwa pemberian makanan mesti diberikan sesuai takaran yang ditentukan dan tidak boleh hanya dengan mengundang makan orang-orang miskin ke rumah.
- Khusus bagi kalangan Al Malikiyyah, mereka tidak membolehkan pemberian 60 mud yang diberikan secara berturut-turut kepada satu orang, seperti jika memberikan kepada satu orang miskin 60 mud selama 60 hari (satu hari satu mud).
Pendapat Kedua
Al Hanafiyyah berpendapat bahwa kadar makanan yang mesti diberikan kepada setiap orang miskin adalah 2 mud atau ½ sho’ (1 sho’: 4 mud).
Dan diperbolehkan untuk memberikan harga dari makanan pokok tersebut. Sebab tujuan dari pemberian ini adalah untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin dan hal itu dapat pula direalisasikan dengan memberikan harga dari makanan pokok di atas.
Adapun jika yang membayar kaffarat ingin mengundang makan 60 orang miskin ke rumah, maka menurut kalangan Al Hanafiyyah, kadar yang mesti diberikan adalah memberi makan mereka hingga kenyang dalam sehari dua kali yaitu pada siang dan malam hari atau di dua waktu yang berbeda.
Akan tetapi jika 60 orang miskin diberi makan pada siang harinya dan 60 orang miskin lainnya diberikan pada malam harinya, maka bagi mereka hal ini tidak diperbolehkan karena ini sama saja dengan memberikan 120 orang miskin makan dan tidak menyempurnakan takaran yang telah ditentukan untuk setiap 1 orang.
Selain itu kalangan Al Hanafiyyah juga mensyaratkan untuk tidak diperbolehkan memberikan seluruh kaffarat (120 mud untuk 60 orang) kepada satu orang miskin pada hari yang sama secara keseluruhan atau diberikan pada waktu yang berbeda dalam satu hari. Adapun jika makanan itu diberikan untuk satu orang miskin selama 60 hari (1 hari: 2 mud) atau ia memberi makan dua kali untuk satu orang selama 60 hari, maka hal ini diperbolehkan karena hal tersebut sama saja ia telah memberi makan 60 orang berbeda pada setiap harinya.
Ketiga: dari sisi jenis kaffarat ith’am. Sebagaimana keterangan di atas, mayoritas ulama sepakat untuk tidak dibolehkannya memberikan harga dari makanan pokok yang telah ditentukan. Adapun yang membolehkan hal tersebut hanyalah kalangan Al Hanafiyyah.
Keempat: yang berhak mendapatkan makanan/ith’am. Dalam hal ini para ulama telah menetapkan beberapa syarat atau kriteria orang-orang miskin yang berhak mendapatkan ith’am (lihat: Al Mabshuth 8/150, Hasyiah Dasuqi 2/454, Nihayah Al Muhtaj 7/102, AlMughni7/375):
- Makanan tersebut tidak boleh diberikan kepada anggota keluarga yang menjadi tanggungan nafkah pembayar kaffarat.
- Menurut jumhur ulama, yang berhak diberi adalah dari kalangan miskin kaum muslimin dan bukan orang-orang kafir, harby maupun dzimmy. Sedangkan imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani membolehkan diberikannya makanan kaffarat itu kepada golongan kafir dzimmy (golongan kafir yang berada di wilayah kaum muslimin) berdasarkan keumumuan ayat dan hadits di mana tidak ada keterangan yang membedakan antara orang miskin dari golongan muslim ataupun kafir.
3. Tidak boleh diberikan kepada keturunan Bani Hasyim (keluarga nabi SAW), sebab menurut ketentuan syariat mereka telah mendapatkan bagian 1/5 dari ghanimah.
Wallahua’lambish Shawab
Isnan Ansory, M. Ag
Peneliti dan Dosen Kampus Syariah, Rumah Fiqih Indonesia