fbpx

Mana Yang Harus Didahulukan, Zakat atau Hutang Dahulu ?

 

Zakat dan hutang ada dua perkara yang sifatnya sama-sama wajib untuk ditunaikan. Keduanya memiliki hubungan dengan orang lain, yakni orang lain berhak atas uang yang kita miliki. Oleh karena itu keduanya harus segera diselesaikan urusannya dan ditunaikan agar tidak memberatkan di kemudian hari.

Masalahnya, ketika suatu harta yang dimiliki seseorang telah mencapai haul serta nisabnya dan di saat yang bersamaan orang tersebut masih memiliki hutang, mana yang harus didahulukan untuk segera ditunaikan?

Secara eksplisit, kita tidak menemukan perkara seperti ini di dalam Al-Qur’an maupun hadits. Namun, dalam beberapa sumber yang tercatat, perkara ini menemukan jalan keluarnya meskipun secara garis besar ada dua cara dalam menentukan mana yang harus didahulukan. Kedua jalan keluar ini diambil dari bersumber hadits.

Bayar Hutang Terlebih Dahulu

Pendapat pertama adalah bayarlah hutang terlebih dahulu. Pendapat ini disandarkan pada sebuah hadits Rasulullah yang berbunyi, “Dari ‘Abdillah bin Amr bin Al Ash, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim). Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi).

Selain berdasarkan hadits tersebut, landasan hukum yang digunakan di dalam solusi ini adalah sebuah perkataan Ustman bin Affan.   Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata pada bulan Ramadhan “Bulan ini adalah bulan berzakat kalian, barang siapa mempunyai tanggungan hutang maka segera melunasinya.”

Dari kedua landasan ini, maka diambil sebuah jalan keluar bahwa hutang dululah yang harus dibayarkan ketika sudah jatuh tempo untuk membayarnya. Kalau hutang tersebut masih jauh dari jatuh tempo, maka zakat dahulu yang harus ditunaikan. Namun, jika jatuh tempo hutang tersebut masih jauh, maka wajib baginya untuk menunaikan zakatnya.

Dahulukan Zakatmu

Pendapat kedua ini merupakan pendapat terkuat. Landasan hukum dari kebijakan ini adalah firman Allah surah At-Taubah ayat 103 yang artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kemudian Rasulullah juga menyuruh para amil zakat mengambil zakat tanpa menanyakan apakah para Muzakki tersebut memiliki hutang atau tidak. Syeikh  Abdul Azis bin Baaz berfatwa dalam Majmu’ Fatawa wa Maqlaat Mutanawwi’ah, “Kalau saja hutang itu menjadi halangan wajibnya zakat, maka pasti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh para amilnya untuk memperjelas status para muzakki apakah masih mempunyai tanggungan hutang atau tidak”.

Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa zakat itu kaitannya dengan kepemilikan harta oleh seseorang yang telah mencapai haul dan nisabnya sedangkan hutang adalah urusan tanggung jawab seseorang, sama seperti seseorang bertanggung jawab atas kebutuhan hidup keluarga yang ditanggungnya.

Seperti firman Allah surah At-Taubah ayat 103 yang telah disebutkan di atas, dengan mengeluarkan zakat sejatinya kita sedang membersihkan dan menyucikan harta dan jiwa kita. Sebagai ganti dari harta yang telah dikeluarkan untuk berzakat, kita akan mendapatkan doa dari para amil yang bertugas menghimpun zakat kita.

Bisa jadi, ketika kita memiliki hutang, dengan wasilah zakat yang telah kita tunaikan dan doa dari para amil untuk kita, Allah meringankan beban hutang kita atau Allah semakin melancarkan dan menderaskan rezeki kita agar kita dapat segera terbebas dari hutang. Begitu pun sebaliknya. Semakin kita enggan mengeluarkan zakat, maka Allah semakin menahan rezeki kita karena kita telah menahan rezeki orang lain yang ada pada harta kita.

Menahan zakat tidak serta membuat harta kita bertumpuk. Malah justru Allah akan mengambil paksa harta kita dengan cara yang menyakitkan bahkan lebih banyak dari jumlah yang harusnya kita keluarkan untuk berzakat. Bukankah ketika kita memiliki semua masalah, kita dianjurkan untuk bersedekah? Bukankah salah satu keutamaan bersedekah adalah untuk melancarkan semua urusan kita?

Memang bentuk salah satu asnaf zakat adalah para gharim atau mereka yang sedang terlilit hutang. Namun, kita harus melihatnya terlebih dahulu, hutang seperti apa yang berhak mendapatkan zakat. Katagori terlilit hutang di sini adalah mereka yang hidupnya serba kekurangan yang pada akhirnya mereka terpaksa berhutang ke berbagai tempat hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Jadi jelas, para gharim yang berhak atas dana zakat adalah mereka yang terlilit hutang karena memenuhinya kebutuhan dasar hidup bukan karena berhutang untuk memenuhi gaya hidup.

Dari kedua pendapat di atas, kita dapat ambil kesimpulan bahwa antara hutang dan zakat yang harus ditunaikan terlebih dahulu adalah zakat. Hal ini dilandasi oleh perintah Rasulullah kepada para amil untuk mengambil zakat dari para muzakki tanpa harus menanyakan apakah muzakki tersebut memiliki hutang atau tidak. Namun jika hutang tersebut sudah jatuh tempo, maka hutang tersebut wajib dilunasi terlebih dahulu. Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “…kecuali jika hutang itu segera harus dilunasi, ia pun ingin melunasinya, maka jika demikian kami katakan: “Lunasilah hutang anda, lalu zakatilah sisa harta anda jika sudah sampai nishab”.

Dari kasus ini, kita bisa belajar bahwa wajib bagi kita pandai mengelola keuangan agar jangan sampai jatuh pada kubangan hutang. Sekilas berhutang menjadi jalan pintas mencapai tujuan. Namun jika kita terbiasa melakukannya, lambat laun berhutang akan menjadi gaya hidup. Dan ingatlah sebuah hadits Rasulullah tentang bahaya berhutang yang berbunyi, “Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi.” (HR. Ahmad)

Hutang juga dapat berdampak buruk pada pergaulan sosial karena hutang yang terlambat dibayarkan dapat merusak kepercayaan orang lain. Orang yang gemar berhutang di dalam masyarakat juga akan mendapatkan stigma negatif. Untuk itu, sebisa mungkin kita tidak memiliki hutang agar kehidupan yang kita selenggarakan berjalan dengan baik. Kalau kita memang diharapkan pada sebuah keadaan yang memaksa kita untuk berhutang, ikhtiarkanlah semaksimal mungkin untuk melunasi hutang tersebut agar tidak menganggu kewajiban kita lainnya yang juga harus kita tunaikan seperti zakat.

Menunda menunaikan zakat juga merupakan sebuah perbuatan tercela. Rasulullah menjelaskan hukuman untuk mereka yang tidak mau berzakat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi,  “Dari Abu Hurairah Ra., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan zakatnya, pada hari kiamat hartanya didatangkan dalam rupa seekor ular jantan yang kepalanya penuh racun, yang bercabang dua lidahnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang dengan kedua sudut lidahnya, lalu ular itu berkata, ’Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu’.

 Kemudian Nabi SAW membaca, “Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (Qs. Ali Imran: 180).”

Pembaca yang budiman, yuk kita berazzam dalam hati untuk segera melunasi hutang dan mengistiqomahkan diri untuk berzakat agar kita terhindar dari bencana di alam akhirat. Harus selalu kita ingat bahwa di dalam harta kita ada sebagian milik orang lain yang harus kita keluarkan dengan cara berzakat dan melunasi hutang. Aamiin aamiin yaa Rabbal’aalamiin.

Penulis,
(DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL