fbpx

Keutamaan Berwakaf

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ucapan, “harta tidak dibawa mati,” bukan? Kelihatannya memang seperti itu. Kita akan dimakamkan hanya dengan kain kafan putih. Orang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, semuanya hanya akan dimakamkan dengan kain kafan dan beberapa potong papan kayu. Namun, ungkapan “harta tak dibawa mati” itu keliru, lho.

Harta bisa kita bawa mati. Bahkan harta bisa mengusir kesepian dan mengusir gelapnya di dalam kubur. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang pasti kita sudah hafal bagaimana isinya.

“Apabila anak cucu Adam itu mati, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara yaitu: Shodaqoh jariyah, anak yang sholeh yang memohonkan ampunan untuknya (Ibu dan bapaknya) dan ilmu yang berguna setelahnya“. (HR. Muslim)

Nah salah satu dari amalan yang akan terus membuat pahala mengalir sekalipun kita sudah meninggal adalah sedekah jariyah. Tentunya sedekah jariyah identik dengan harta, bukan? Nah, wakaf adalah salah satu bentuk dari sedekah jariyah.

Menurut bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab, waqofa yang berarti menahan, berdiam, atau diam di tempat. Sedangkan menurut istilah, beberapa ahli fiqih memiliki pengertiannya masing-masing.

Menurut Abu Hanifah,  wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap di wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.

Sedangkan menurut Imam Maliki wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakat tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.

Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.

Dari berbagai pengertian yang diberikan oleh para ahli fiqih tersebut, bisa kita ambil kesimpulan bahwa wakaf adalah sebuah bentuk penyerahan sebentuk harta dengan usia kebermanfaatannya yang lama dan harta tersebut 1tidak boleh diperjualbelikan atau diwariskan.

Harta yang akan diwakafkan haruslah yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Seperti tanah, bangunan, uang, logam mulia, kendaraan, dan lainnya yang sifat kebermanfaatannya lama. Apa yang diwakafkan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum, seperti sekolah, rumah sakit, masjid, pengadaan sumber air,  dan lain sebagainya.  Maka dari itu, pengelolaan wakaf yang baik dapat meningkatkan  kesejahteraan masyarakat.

Dalil yang digunakan sebagai landasan hukum berwakaf adalah sebuah hadits yang isinya sebagai berikut,

“Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?

Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan.

Kemudian Umar pun menyedekahkan hasil tanah tersebut kepada fakir miskin, keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu.

Meskipun wakaf sifatnya tidak wajib seperti zakat yang harus ditunaikan, Allah sendiri menyebut bahwa orang yang berwakaf akan mendapatkan kebaikan yang sempurna. Hal ini dikarenakan sifat manusia pada umumnya yang gemar menahan harta untuk kepentingan dirinya sendiri. Ketika ada seseorang yang berwakaf hanya untuk mengharapkan ridho dari Allah, di mana ia menyerahkan sejumlah harta yang ia miliki tanpa bisa ia ambil kembali, diperjualbelikan atau diwariskan untuk kepentingan masyarakat luas, in syaa Allah orang tersebut memiliki keikhlasan yang tinggi.

Dalil yang menyebut bahwa orang yang Berwakaf adalah orang yang memiliki kebaikan yang sempurna adalah firman Allah surah Ali Imron ayat 92 yang artinya,

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Sebagaimana dengan jenis sedekah lainnya, wakaf juga memiliki keutamaan yang besar. Keutamaan dan keistimewaan tersebut tak hanya dirasakan oleh para penerima manfaat wakaf saja, tetapi juga diperuntukkan  kepada wakif atau orang yang berwakaf.

Selain mendapatkan pahala yang tak terputus bahkan ketika si wakif sudah meninggal, harta yang diwakafkan akan utuh, aman, terjamin keberadaannya. Bagi hartawan, wakaf bisa dijadikan pilihan agar di kemudian hari tak ada perebut harta di antara ahli warisnya karena sebagian harta sudah diwakafkan.

Para wakif pun akan ditunggu kehadirannya di surga.  Allah berfirman dalam surah Ali Imron ayat 133-134 yang artinya,  “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (yaitu) orang -orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Berwakaf sama artinya dengan menolong, memberi harapan, dan memperbaiki kualitas hidup orang banyak. Katakanlah di sebuah kampung belum memiliki sistem pengairan yang baik. Air di sana sangat kotor sehingga tak jarang banyak penduduk yang terjangkit penyakit akibat mengonsumsi air yang kotor tersebut. Lalu ada seorang dermawan mewakafkan uangnya untuk membangun saluran air yang memadai dan sehat di kampung itu tersebut. Akhirnya kampung tersebut memiliki air yang bagus sehingga kesehatan penduduk di sana pun kian membaik. Bukankah Allah sendiri yang menjanjikan bahwa ketika seorang hamba menolong saudaranya yang lain maka Allah yang akan menolong dan menyelesaikan semua masalah hambanya yang baik hati tersebut?

Begitu pula ketika ada seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk dibangun sebuah masjid di sebuah daerah yang belum memiliki sarana beribadah tersebut. Membangun masjid untuk mereka sama dengan memudahkan dan memfasilitasi mereka untuk beribadah kepada Allah. Setiap ibadah, ilmu, dan kegiatan keagamaan lainnya yang dilakukan di masjid yang dibangun di atas tanah wakaf tersebut akan mengalirkan banyak pahala dan kebaikan bagi si wakif. Ketika ilmu yang didapatkan oleh seseorang di masjid tersebut dan si mengamalkan ilmu tersebut, maka yang mendapatkan pahalanya bukan hanya guru yang mengajarkan ilmu tersebut, tetapi juga wakifnya.

Bayangkan bagaimana jadinya kalau si wakif itu lebih memilih untuk menjual tanahnya dengan tujuan komersil. Ia hanya akan mendapat sejumlah uang yang pasti lambat laun akan habis dan tak menyisakan apa-apa. Harganya itu pun tak dapat ia bawa mati, bukan? Hal yang berbeda akan terjadi jika ia memilih untuk mewakafkannya. Ia memang tidak akan mendapatkan sepeserpun uang dari pemanfaatan tanahnya tersebut, namun ia telah menukar sebidang tanahnya dengan tiket masuk surga. Inilah yang kita sebut dengan harta bisa dibawa mati.

Tak hanya itu, para wakif akan mendapatkan 700 kali lipat pahala. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs Al-Baqarah 261).

Betapa banyak balasan yang akan kita terima bila kita menjadi wakif, sama banyaknya dengan orang yang tertolong hidupnya oleh wakaf kita. Jika orang yang menerima manfaat dari zakat kita hanya terbatas pada kalangan tertentu saja (asnaf zakat) dan terbatas pada waktu menunaikannya (haul dan Bishan), lain halnya dengan wakaf.  Manfaat wakaf akan melibas batasan waktu, menyamaratakan status sosial, ekonomi, dan pendidikan para penerima manfaat. Wakaf kita akan terus mengalirkan manfaat, sampai bumi selesai menunaikan tugasnya.

Penulis,
(DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL