Di tengah gempuran arus informasi yang cenderung tidak jelas sumber pemberitaannya, umat Islam lagi-lagi dipojokkan dengan berbagai stigmatisasi yang buruk. Term-term yang ‘sakral’ dalam ajaran Islam dibuat menjadi bias pengertiannya dan seringkali distigmatisasi dengan istilah-istilah negatif.
Lafaz-lafaz semisal ‘daulah Islamiyyah’, ‘khilafah Islamiyyah’, ‘jihad’, ‘bai’at’, ‘syariat islam’ dan lain-lain seringkali diidentikkan dengan hal-hal yang berbau negatif semisal ekstrimisme, intoleran, terorisme, radikalisme, gerakan sparatis, inkonstitusional dan takfir.
Padahal, lafaz-lafaz tersebut (daulah Islamiyyah, khilafah Islamiyyah, jihad, bai’at, syariat islam) memiliki akar yang kuat dalam bangunan ajaran Islam. Bahkan dapat dikatakan di antara lafaz-lafaz ini merupakan pondasi ajaran Islam itu sendiri (seperti jihad) dan lafaz yang khusus dimiliki oleh Islam.
Memang, lafaz-lafaz ini memungkinkan untuk ditafsirkan secara salah dan tak mendasar sebagaimana tafsiran orang-orang khawarij terhadap ayat al Qur’an ‘tidak ada hukum kecuali hukum Allah’ yaitu dengan mengkafirkan para shahabat dan umat Islam lainnya yang tidak sependapat dengan mereka. Namun apa yang mereka lakukan juga membuka ruang bagi orang-orang yang dengki dengan ajaran Islam untuk mendeskriditkan dan menstigmatisasi ajaran Islam dengan stigma-stigma yang buruk.
Oleh sebab itulah, simpang-siurnya informasi terkait makna hakiki dan bagaimana aplikasi lafaz-lafaz ini hendaknya dikembalikan kepada yang berhak untuk menjelaskannya, yaitu para ulama yang mumpuni dan dikenal istiqamah serta amanah dalam menjalankan dan menyampaikan ajaran agama.
Yaitu para ulama yang digambarkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah sebagai orang-orang yang memegang stempel Allah SWT (al muwaqqi’ ‘an rabb al ‘alamin). Tidak heran jika Rasulullah SAW menyatakan mereka sebagai ahli waris para nabi. Sebab, selain keutamaan yang ada pada mereka dan kedudukannya yang sama dengan nabi dalam urusan dakwah, mereka pun membawa beban amanah yang berat untuk menyampaikan ajaran Islam dengan perspektif yang benar. (Abd al Karim Ali an Namlah, al Muhazzab fi ‘Ilm Ushul al Fiqih al Muqaran, 1/7).
Masyarakat muslim yang awam, memang masyarakat yang mudah untuk diarahkan oleh arus media yang meinstrim. Namun kita tidak harus selalu menyalahkan media tersebut, namun para ulama pun harus berintropeksi diri dan menilai dirinya, apakah ia sudah menyampaikan ajaran Islam yang benar secara massif dan konsisten.
Selain itu, meskipun masyarakat awam tidak selalu bisa disalahkan atas ketidak tahuan mereka. Namun mereka pun harus tahu bahwa agama Islam yang telah mereka peluk juga telah mewajibkan mereka untuk kembali kepada para ulama, untuk mencari jawaban yang sebenarnya, terlebih lagi di saat syiar-syiar Islam sekarang ini sering kali distigmatisasikan dengan buruk dan cenderung menyebabkan umat Islam phobia/benci terhadap ajaran agamanya sendiri. Bukankah Allah SWT telah memerintahkan kita untuk bertanya dan kembali kepada para ulama:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl/16: 43, dan QS. al Anbiya’/21: 7).
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’/5: 59).
Wahbah az Zuhaili, seorang mufassir dan ahli fiqih kontemporer berkata mengomentari ayat di atas (QS. An Nisa’/5: 59):
فطاعة الله والرسول واجبة، بتنفيذ أحكام الله، واتباع سنة رسول الله، وكذلك تجب طاعة ولاة الأمر من أهل الحل والعقد في الأمة، أي السلطة التنفيذية في الأمة، وأولي الاجتهاد في التشريع من العلماء والحكام والولاة العدول، فإن حدث تنازع واختلاف في وجهات النظر، فالواجب رد الأمر إلى نظيره ومثيله في القرآن والسنة، ولا يفهم ذلك إلا العلماء الأعلام المخلصون لله ورسوله
“Maka ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya merupakan kewajiban, yaitu dengan melaksanakan aturan-aturan Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah. Demikian pula wajib untuk taat kepada para pemangku urusan umat ini, yaitu para penguasa yang melaksanakan urusan umat. Dan juga para ahli ijtihad dalam syariat dari para ulama dan penguasa yang adil. Dan jika terjadi perselisihan dalam argumentasi, maka wajib menilainya dengan kembali kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dan hal itu (merujuk kepada al Qur’an dan as Sunnah) tidak dapat dilakukan kecuali berdasarkan pemahaman para ulama yang ikhlas untuk Allah dan rasul-Nya.” (Wahbah az Zuhaili, at Tafsir al Wasith, 1/336).
Itulah sebabnya, para ulama terdahulu sepakat bahwa, sikap yang selamat adalah dengan mengikuti para ulama. Dan jika ulama salah dalam ijtihadnya, maka masyarakat awam tidak akan menanggung dosa/kesalahan sang mujtahid, bahkan sang mujtahid akan mendapatkan satu pahala. (Abd al Karim Ali an Namlah, al Muhazzab fi ‘Ilm Ushul al Fiqih al Muqaran, 5/2358). Namun tentunya yaitu dengan mengikuti para ulama yang benar-benar berkarekter ulama.
Oleh sebab itu, kembalilah kepada para ulama.
Wallahua’lam bi ash Shawab
Isnan Ansory, Lc., M.Ag
(Peneliti Rumah Fiqih Indonesia (RFI) Jakarta)