Puasa merupakan salah satu dari rukun islam yang wajib umat islam diseluruh dunia laksanakan. Tapi, di sisi lain Allah memberi keringanan kepada hamba-Nya untuk tidak melaksanakan puasa. Dengan ketentuan sebagai berikut:
- Orang yang sakit. Allah SWT berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
- Orang yang bersafar. Dalil seorang musafir boleh tidak berpuasa adalah firman Allah SWT :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al-Baqarah: 185)
Musafir punya pilihan boleh tidak puasa ataukah tetap berpuasa. Dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Jabir bin ‘Abdillah; mereka berkata, “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah SAW, maka ada yang tetap berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Namun mereka tidak saling mencela satu dan lainnya.”
Namun manakah yang lebih utama bagi musafir, apakah berpuasa ataukah tidak? Jawabannya bisa dilihat menurut tiga kondisi:
- Jika musafir merasa berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
- Jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban dan lebih mudah berpuasa dengan orang banyak daripada sendirian.
- Jika tetap berpuasa malah membahayakan kondisi diri, maka wajib tidak puasa.
- Orang yang sudah tua renta (sepuh)
Perincian ini selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya). Dalil dari hal ini adalah firman Allah SWT,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِين
“Dan orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
- Wanita hamil dan menyusui Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.” Kewajiban qadha’ saja merupakan pendapat Atha’ bin Abi Rabbah dan Imam Abu Hanifah.
Dengan demikian, wanita hamil dan menyusui terkena ayat (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Oleh karena itu meskipun kita sebagai umat muslim berkewajiban untuk berpuasa pada bulan Ramadhan tapi Allah SWT memberi keringanan kepada umatnya untuk tidak menjalankan puasa dengan syarat dan alasan yang telah tertulis dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah di jelaskan di atas. (dah/hal).