fbpx

Titik Temu Kebahagiaan

Siapa yang tak ingin hidup bahagia; lepas dari semua yang membebani dan memberatkan hati? Tak ada seorang pun yang menginginkan hidupnya selalu dirundung nestapa. Disadari atau tidak, semua yang dilakukan oleh manusia sejatinya bermuara kepada pencarian kebahagiaan dalam hidupnya. Semua manusia tentu memiliki caranya tersendiri untuk menjalani kehidupan, namun kita memiliki satu titik tujuan utama yang sama, yaitu mencari kebahagiaan.

Berbicara mengenai kebahagiaan, tentu tiap orang memiliki standarnya masing-masing. Ada yang bahagia dengan hidup sederhana yang ia jalani. Ada yang bahagia ketika ia berhasil mendapatkan barang yang sudah ia idamkan sekalipun itu barang bekas. Ada yang bahagia ketika semua hutangnya lunas padahal untuk hidup ke depannya ia masih tertatih. Ada juga yang baru bahagia bila ia mendapatkan nilai 100 dalam setiap ujiannya padahal sebelumnya ia biasa mendapatkan nilai 90. Ada juga mereka yang baru bisa bahagia ketika dipandang sebagai orang kaya dengan gaya hidupnya yang glamour. Semua itu adalah kebahagiaan bagi mereka yang mendambakannya.
Standar bahagia atau hidup manusia berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki karakter, hawa nafsu, pola pikir, pengalaman, lingkungan, tingkat pendidikan, dan pola asuh yang berbeda. Dengan keberagaman faktor tersebut, tidak layak bagi kita untuk mencemooh standar kebahagiaan mereka hanya karena cara kita untuk bahagia berbeda dengan mereka. Pun demikian halnya dengan bagaimana cara kita bersikap kepada orang lain. Tidak pantas bagi kita untuk menilai atau menghakimi orang lain dengan standar atau prinsip hidup yang kita miliki. Dalam kaitannya dengan hal ini, belajar menahan diir untuk tidak mengomentari hidup orang lain merupakan salah satu adab yang penting.

 

Penulis memiliki cerita tentang dengan standar bahagia yang berbeda di tiap individunya. Semoga kita semua dapat mengambil ibroh dari cerita ini karena Allah mengajari kita lewat hal apapun di sekitar kita.
Kami menempati sebuah hunian sederhana dengan perabotan yang sederhana pula. Jauh dari kesan mewah. Sekadar cukup untuk kami tinggali bertiga. Maklum, kami baru meniti sendiri rumah tangga. Singkat cerita, hampir setiap hari ada seorang anak kecil usia tujuh tahun berkunjung ke rumah untuk bermain bersama anak saya. Anak kecil yang selanjutnya kita sebut dengan Fulanah ini sering bermain di dalam rumah dan otomatis melihat perabotan yang kami miliki. Beberapa kali Fulanah berdecak kagum melihat perabotan yang kami miliki.
Suatu hari, Fulanah masuk ke kamar kami dan berseru, “Wah, Tante kayak orang kaya aja ya. Punya lemari di dalam kamar.” Saya terkejut mendengar ungkapan spontan tersebut keluar dari anak kecil yang rupanya menganggap luar biasa ketika di dalam kamar ada sebuah lemari. Lemari yag ada di dalam kamar saya hanyalah lemari biasa yang setiap orang bisa memilikinya dan saya yakin, di kamar Anda juga ada lemari.

Di kesempatan lain, Fulanah berdecak kagum ketika memainkan mainan milik anak saya. ”Wah, mainan anak Tante kayak mainan orang kaya aja ya. Ngga ada yang rusak,” katanya datar sambil memilih-milih mainan di kotak mainan. Padahal mainan yang ia katakan sebagai mainan anak orang kaya adalah mainan yang kami beli dengan harga murah, bukan mainan bermerk, impor, ataupun mainan yang ada di dalam iklan-iklan di dalam tv. Benar-benar mainan sederhana yang memang jarang dimainkan oleh anak saya (makanya mainannya tidak ada yang rusak) karena rupanya anak saya tergolong anak yang kinestetik (kemampuan melakukan gerakan tubuh dan anggota badannya) sehingga tidak akan tertarik duduk diam memainkan mainannya.

Beberapa hari yang lalu, Fulanah ikut saya ke tukang sayur. Di sana saya membeli sepapan tempe yang langsung saja ia komentari, ”Tante kayak orang kaya aja ya. Bisa beli tempe.” Saya heran. Kang sayurnya pun heran. Mungkin tempenya juga heran. Harga tempe di sekitar rumah tiga ribu rupiah. Berapa harga tempe di warung dekat rumah kalian? Pasti tidak akan jauh beda. Kita sepakati dulu bahwa tempe makanan yang tergolong biasa saja, bukan makanan mewah seperti daging atau ayam. Sepakat?

Puncaknya ketika pada suatu sore sehabis saya memandikan anak saya, ia berkata, “Kayak anak orang kaya aja pakai minyak telon sehabis mandi.” Spontan saya bertanya kepada anak itu, “Memangnya adikmu kalau habis mandi ngga pakai minyak telon?”
Dia menjawab, “Ngga.”
“Kok ngga pakai minyak telon? Ngga kedinginan?”
”Kan nggak punya duit buat beli minyak telon,” sepolos itu ia menjawab. Saya akhirnya tahu mengapa apapun yang ada di dalam rumah sederhana ini dia anggap seperti orang kaya.
Setelah saya tanya mengapa dia kerap kali mengatakan bahwa kami seperti orang kaya, ia menjawab seperti ini (tentunya jawaban ini sudah saya susun kalimatnya agar mudah dibaca).
”DI rumahku ngga lemari. Aku sering melihat di tv kalau rumah-rumah orang kaya itu di dalam kamarnya ada lemari. Semua mainanku juga sudah rusak (Fulanah memiliki seorang adik kecil yang usianya tak beda jauh dengan anak saya dan adiknya itu memainkan mainan yang telah rusak itu). Adikku juga ngga pernah pakai minyak telon dan bedak sehabis mandi karena ngga punya uang untuk membelinya. Aku juga jarang makan tempe.”
Subhanallah… seketika saya langsung tertampar dan dipaksa sadar oleh jawaban anak sekecil itu. Saya hanya mengenal sedikit tentang keluarga itu. Kedua orangtuanya adalah pedagang kecil yang terkena dampak Covid 19. Omsetnya menurun dan bahkan lapak dagangan sang ibu harus gulung tikar karena kesulitan membayar sewa lahan.

Yang saya pahami dari pelajaran hidup yang Allah berikan kepada saya melalui anak kecil iin adalah apa yang kita anggap sederhana bisa menjadi suatu kemewahan bagi orang lain yang belum memilikinya. Bahwa kebahagiaan orang lain berbeda. Awalnya, bahagia bagi saya adalah bisa membelikan mainan mahal, tapi bagi anak ini, bahagia adalah ketika ia memiliki mainan yang tidak rusak meskipun harganya murah seperti mainan anak saya. Bagi anak ini, bahagia adalah ketika adiknya bisa memakai minyak telon di saat orang lain mungkin mematok bahagianya harus memakai baju mewah, bermerk, dan mahal. Atau bahkan bahagia untuk orang lain adalah apabila mereka memiliki banyak properti di saat anak kecil ini cukup memiliki lemari di kamarnya. Sekali lagi, standar kebahagiaan bagi kita berbeda meskipun kita terus bergerak dalam waktu yang sama untuk meraih kebahagian masing-masing.

Kebahagiaan dalam Pandangan Islam

Islam tidak melarang umatnya untuk mencari kebahagiaan duniawi, seperti kekayaan yang melimpah, keluarga yang rukun atau nama baik dalam masyarakat. Namun, Islam memberikan opsi lain tentang kebahagiaan sudah sepatutnya kita jadikan tujuan akhir dalam perjalanan hidup kita.
Dalam surah Az-Zukhruf Allah berfirman, ”Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan sesungguhnya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Dari ayat tersebut, Allah menjelaskan Allah memang menyiapkan perhiasan dan harta kekayaan lain yang tersebar luas di dunia dan semuaitu bersifat sementara. Kebahagiaan yang hakiki hanyalah ketika seorang hamba mampu bertaqwa kepada Allah. Ketaqwaanlah yang mampu menghadirkan keridhoan Alalh kepadanya. Apapun kondisi hidup seseorang, sepahit apapun keadaan seorang hamba apabila Allah telah ridho padanya, maka kebahagiaan akan terus melingkupi hari-harinya.

Salah satu dari kunci kebahagiaan adalah rasa syukurterhadap apa yang Allah ettapkan kepada kita. Allah sudah berjanji bahwa Allah akan terus menambahkan nikmat kepada hambaNya yang selalu bersyukur. Bersyukur juga salah satu bentuk keimanan dan keyakinan atas kekuasaan Allah. Orang ayng beriman dan yakin kepada Allah maka surga balasannya.

Dalam ayat tersebut tela dijelaskan bahwa seluruh harta telah Allah ciptakan dn terhampar luas di muka bumi. Namu sayangnya semua harta yang mati-matian kita kumpulkan tidak bisa kita bawa mati kecuali kita mau menukarkannya kepada Allah dalam bentuk sedekah. Menyedekahkan harta yang kita miliki tidak hanya membuat jalan kita mudah menuju surgaNya, tetapi juga membahagiakan begitu banyak orang seperti yang ceritakan di atas.
Si Fulanah kecil hanya sepersekian orang dari sekian banyak saudara yang belum berkesempatan hidup dengan layak seperti kita. Allah telah memilih kita untuk membahagiakan mereka lewat harta yang sedang ada pada diri kita. Sedekahkan hartamu kepada mereka yang menanti uluran tangamu, lalu kita semua akan bertemu kebahagiaan pada titik yang sama; Bahagia di surga Allah kelak. In syaa Allah.

Yuk sedekah melalui www.maiberbagi.or.id

Penulis,
(DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL