Ini sudah yang ke sekian kalinya saya berada di sini. Sejak tragedi gempa dan tsunami berkekuatan 7,4 SR yang melanda Kota Palu, Donggala dan Sigi di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 silam, saya yang merupakan direktur sebuah lembaga amil zakat terus berupaya sekuat tenaga membantu saudara kita di sana agar pulih. Meski saya sendiri yakin, pulih dari trauma mengerikan itu butuh beberapa waktu. Namun inilah yang kami bisa lakukan.
Begitu tiba di lokasi terdampak, gelenyar aneh selalu hinggap di hati. Lokasi ini akan membuat mata siapapun yang melihatnya akan memanas karena airmata yang tetiba menumpuk di pelupuk, membuat hati meleleh atas kebesaran-Nya.
Sebelum likuifaksi, hampir 1.000 rumah (perumahan) berdiri kokoh di wilayah ini. Namun sejauh memandang, hanya puing kehancuran. Bangunan hanya bisa terpatri dalam sebuah frame bernama kenangan. Dalam sekejap, gempa dan tsunami itu telah merenggut kebahagiaan. Bangunan-bangunan rata dengan tanah. Sebagian hilang, sebagian wilayah lainnya utuh.
Mudah bagi Allah untuk membolak-balikkan bumi. Jika sahabat pernah memakai blender, begitulah yang terjadi di lokasi ini. Para saksi dan korban yang selamat bercerita tentang bagaimana mereka mengalami hal mengerikan itu. Bagaimana kaki-kaki mereka seperti hendak tersedot ke dasar bumi. Tangan-tangan meronta, teriakan sahut menyahut, asma Allah digaungkan meminta pertolongan dan lagi-lagi, ada yang selamat dan ada yang terjerembab masuk ke bumi.
Ada 4 wilayah likuifaksi yang dahsyat yaitu di Balaroa, Petobo, Jonoge dan Sibalaya. Gempa, tsunami dan likuifaksi telah merenggut 2.256 nyawa dan menghancurkan ribuan bangunan. Semuanya tinggal kenangan, meninggalkan sepetik hikmah bagi kita yang benar-benar berpikir atas kejadian ini.
Lalukanlah yang terbaik di hari ini, agar penyesalan di hari kemarin tidak akan terulang. Penyesalan di hari kemarin hanya akan mengganggu hebatnya hari ini dan merusak indahnya hari esok.
By: Abdul Ghofur – Relawan MAI
Petobo, Sulteng.