Oleh : Dr. M. Yusuf Siddik, MA
Pendahuluan
Hal mendasar yang seringkali menjadi sengketa antara suami isteri adalah tentang kadar nafkah yang wajib ditunaikan oleh suami untuk isteri dan anak-anaknya. Padahal kalau kita perhatikan dalam Al Qur’an dan Hadits, penjelasan tentang itu banyak sekali. Allah dan Rasulnya berulangkali menegaskan tentang wajibnya nafkah dari suami untuk isteri dan anak-anaknya.
Definisi Nafkah
Secara etimologis: nafkah berasal dari bahasa Arab dari akar kata: anfaqo yunfiqu infaaqon artinya mengeluarkan atau menutupi. Kata nafkah sebenarnya berasal dari akar kata yang sama dengan infaq. Bahkan ayat yang menyebutkan tentang wajibnya nafkah sebenarnya menggunakan kata infaq. Ini memberi isyarat bahwa nafkah yang diberikan oleh seorang suami kepada isteri dan anak-anaknya, di mata Allah bernilai infaq. Atau dengan kata lain, seluruh anjuran dan keutamaan berinfaq di jalan Allah, baik yang disebutkan oleh Al Qur’an maupun hadis meliputi juga keutamaan memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya.
Sementara definisi nafkah secara terminologis: apa yang dikeluarkan oleh suami untuk menutupi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, baik berupa kebutuhan pangan, sandang dan papan serta obat-obatan.
Hukum Nafkah
Berkata ibnu Qudamah: ulama’ sepakat (ijma’) bahwa nafkah hukumnya wajib atas suami untuk isterinya jika mereka baligh, kecuali bagi isteri yang melakukan nusyuz (tidak taat kepada suami). Hal ini disebutkan juga oleh Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al ijma’. Landasan ijma’ tersebut adalah dalil-dalil berikut :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ(QS. Al Baqoroh : 233)
Artinya: “Dan para ibu, menyusui anak-anaknya selama 2 tahun penuh, dan atas seorang yang mana anak dilahirkan untuknya (ayah) kewajiban memberikan rizki (nafkah pangan) dan pakaian mereka (para isteri) dengan cara yang ma’ruf (sesuai kebiasaan). Tidak dibebani seorang kecuali semampunya, tidak ditimpakan mudhorat seorang ibu dengan anaknya, dan juga tidak ditimpakan mudhorat seorang ayah dengan anaknya. Dan atas ahli waris (kewajiban) yang sama dengan itu. Maka jika kedua suami isteri itu ingin berpisah (bercerai), dengan cara yang baik-baik dan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian (para ayah) ingin meminta disusuin anak-anak kalian, maka tidak ada dosa atas kalian, selama kalian memberikan upah secara ma’ruf (wajar), dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian lakukan”. (QS. Al Baqoroh : 233)
Pada ayat diatas, Allah SWT menegaskan: dan atas seorang yang mana anak dilahirkan untuknya (ayah) kewajiban memberikan rizki (nafkah pangan) dan pakaian mereka (para isteri) dengan cara yang ma’ruf (sesuai kebiasaan). Hal ini mengisyaratkan bahwa ayah (suami) berkewajiban menafkahi isterinya (ibu anak-anaknya).
Dalil lainnya: Firman Allah
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (QS. Aththolaaq : 6).
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) sebagaimana kalian tinggal sesuai yang kalian dapatkan (miliki), jangan mudhoratkan (siksa) mereka agar kalian menyempitkan mereka, jika mereka hamil, maka nafkahilah mereka hingga mereka melahirkan. Jika mereka menyusui untuk (anak-anak) kalian, maka berikan upah untuk mereka, dan lakukan kesepakatan antara kalian dengan cara yang ma’ruf (wajar), dan jika kalian mengalami kesulitan (dalam kesepakatan) maka (dibolehkan) menyusui (anaknya) wanita lain”. (QS. Aththolaaq : 6).
Kalimat: “Tempatkanlah mereka (para isteri) sebagaimana kalian tinggal sesuai yang kalian dapatkan (miliki)”, menunjukkan wajib, karena kalimatnya dalam bentuk perintah, dan perintah, dalam qoidah ushul fiqih, menunjukan wajib. Kalimat “tempatkan”, menunjukkan bahwa suami juga berkewajiban memberikan fasilitas tempat tinggal kepada isterinya sebagaimana tempat tinggalnya.
Dalil lain, firman Allah:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا)
Artinya: “hendaklah menafkahi bagi yang memiliki keluasan (kekayaan), sesuai keluasannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya, maka hendaklah ia menafkahi sesuai apa yang Allah berikan kepadanya, tidak dibebani seseorang kecuali sesuai yang Allah berikan kepadanya, Allah akan menjadikan setelah kesulitan itu kemudahan”. (QS. Aththolaaq : 7).
Pada ayat ini, Allah juga menggunakan kalimat perintah, yaitu kata kerja present tense namun didahului lam amar (lam perintah), walau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “hendaklah”, namun maksudnya adalah perintah, yaitu: yang luar rizkinya nafkahi istrinya sesuai keluasan rizkinya. Perintah menunjukkan wajib.
Adapun dalil dari hadis, antara lain :
Rasulullah SAW dalam khutbahnya pada haji wada’ mengatakan: “bertaqwalah kepada Allah dalam menggauli wanita (isteri), karena kalian telah mengambil mereka (dari orangtua mereka) dengan amanah dari Allah, dan kalian telah halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah, kewajiban mereka bagi kalian, mereka tidak memasukkan siapapun ke rumah kalian orang yang kalian tidak sukai, jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti, dan bagi mereka atas kalian kewajiban memberikan rizki (pangan) dan pakaian dengan cara yang ma’ruf”. (HR. Muslim).
Dalam hadits diatas, Rasulullah menegaskan bahwa suami berkewajiban menafkahi istrinya, baik berupa nafkah pangan, maupun sandang.
Hadits yang lain, diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hindun binti Utbah mengadu kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulallah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang kikir, dia tidak memberiku dan anakku (nafkah) kecuali jika saya ambil sendiri (tanpa sepengetahuannya), jawab beliau: “Ambillah yang cukup buatmu dan anakmu secara ma’ruf (sesuai kebiasaan)”. HR. Bukhori dan Muslim).
Pada hadis diatas, Rasulullah SAW memerintahkan kepada Hindun untuk mengambil uang suaminya secukupnya untuk kebutuhan ia dan anaknya, dikarenakan suaminya kikir, atau tidak memberikan nafkah yang cukup kepadanya.
Dalil lain, hadis yang diriwayatkan dari Muawiyah Al Qusyairy, ia bertanya kepada Rasulullah: Ya Rasulallah, apa hak istri kami? Jawab beliau: “Engkau beri ia makan dan pakaian seperti layaknya engkau berpakaian, jangan pukul wajahnya, jangan jelekkan ia, jangan jauhi tempat tidurnya kecuali hanya di dalam rumah.” (HR. Ibnu Majah di Kitab Nikah Bab no.4)
Dalam hadits diatas, Rasulullah SAW menyebutkan, bahwa salah satu hak istri terhadap suaminya adalah ia wajib memberi makanan dan pakaian secara layak dan wajar.
Baca Juga: Manajemen Nafkah Dan Tanggung Jawab Suami Istri Bag 2