fbpx

Khitan Tradisi atau Kewajiban

Kata khitan sendiri berasal dari bahasa Arab, khatnun, yang artinya memotong bagian depan. Secara istilah, khitan memiliki arti memotong kulup (kulit bagian depan kelamin laki-laki) yang merupakan penutup kepala zakar supaya kelamin laki-laki tidak mudah terpapar kotoran sisa air seni yang menempel di kelamin itu.

Di Indonesia sendiri, istilah khitan sering disebut dengan sunat.  Istilah sunat ini, menurut Andre Feillard dan Lies Marcoes dalam Female Circumcision in Indonesia (mengutip keterangan Snouck Hurgronje),  berasal dari kata sunnah yang memiliki arti sunnah rasul. Begitu juga dalam bahasa Jawa halus kromo inggil, sunat disebut dengan nyelamaken yang berasal dari kata selam yang merupakan pelesetan dari kata Islam. Dalam bahasa Jawa, nyemalaken bocah yang diartinya mengkhitankan anak pada dasarnya memiliki makna mengislamkan anak.

Ada beberapa privilege yang hanya dimiliki oleh anak yang sudah khitan di dalam masyarakat. Di antaranya adalah hanya anak-anak yang sudah berkhitan yang bisa solat di shaf terdepan. Hal ini memiliki makna bahwa anak-anak yang telah dikhitan dianggap telah dewasa dan layak disandingkan sejajar dengan orang dewasa ketika solat berjamaah di shaf terdepan.

Dalam sebuah buku berjudul Circumscision in Indonesia: Muslim or Not? karangan Nico Kaptein disebutkan bahwa khitan di Indonesia sudah dipraktikkan jauh sebelum Islam masuk. Contohnya di masyarakat Banten. Dalam sebuah catatan sejarah, permulaan masuknya agama Islam di wilayah Kerajaan Pajajaran diungkapkan bahwa, “Sumbelihan niat inya bresih suci wasah, disunat ka tukangnya jati sunda teka.” yang artinya disunat agar terjaga dari kotoran.

Dalam banyak sumber dikatakan bahwa khitan telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Bukti bahwa khitan sudah dipraktikkan sejak zaman dahulu ditemukan pada gambar-gambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba. Apa tujuan dan alasan khitan di zaman ini belum diketahui pasti. Namun para ahli berpendapat bahwa praktik khitan di masa ini merupakan sebuah bentuk pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan kepada Tuhan, tanda menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas pada pria. Tradisi khitan juga ditemukan pada kebudayaan Korea Selatan, Amerika, dan Filipina.

Pekan Khitan Nasional MAI Foundation

DI Indonesia, khitan juga banyak diselenggarakan dengan berbagai upacara adat. Di Aceh Selatan, Ada beberapa ritual yang harus dilaksanakan dengan tujuan menolak bala dan menuju fase kedewaaan seseorang. Rangkaian tradisi ini dimulai dengan duduk rami (persiapan dengan pembahasan acara sunatan oleh keluarga), bainai (memakaikan pacar di kuku tangan dan kaki anak yang disunat), basuntiang (mendoakan anak yang disunat yang dipimpin oleh beberapa tetua dalam keluarga), dan puncak acaranya dengan melaksanakan kanduri urang datang (anak yang disunat duduk di panggung dan bersalaman dengan tamu yang datang) dan anak yang disunat akan dimandikan.

Di Tengger, Jawa Timur, khitan diselenggarakan dengan ritual yang cukup unik. Di sana, yang berhak melakukan khitan adalah dukun tetua. Awalnya dukun akan membaca mantra sembari mengaduk air di dalam kuningan dengan daun pisang gulung. Selanjutnya dukun akan memercikkan udara gentong dengan seikat daun beringin.  Dukun akan melaksanakan proses khitan dengan anak didudukkan di kursi diikat menggunakan benang wol dan si anak akan diberi sejumput beras di kedua tangannya. Lalu, di bagian bawah kursi akan diberi sesaji berupa kue apem, telur, dan bunga. Setelah semua lengkap dan anak dapat duduk dnegan tenang, dukun tetua akan langsung mengkhitan dengan menggunakan bilah bambu yang ujungnya dilapisi dengan silet.

Di Makassar, khitan sendiri dikenal dengan istilah masunna. Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan diri si anak yang hendak dikhitan dan menghilangkan hal-hal yang tidak baik. Sama seperti tradisi pada adat lainnya, Di Makassar juga mengenal tradisi penghormatan terhadap anak yang dikhitan dengan cara memandikan anak menggunakan air sumur yang dikeramatkan hingga diselenggarakannya pesta.

Masih banyak lagi tradisi khitan yang diadakan oleh banyak suku di Indonesia dengan berbagai macam upacara adatnya. Semua itu ditujukan selain untuk mengkhitan anak dalam agama Islam itu sendiri, juga sebagai sarana mengumpulkan dan mengeratkan kembali persaudaraan antarkeluarga.

Terlepas dari tradisi yang ada di Indonesia terkait penyelenggaraan khitan, amalan khitan ini merupakan sebuah tuntutan wajib bagi seorang muslim. Mengapa demikian? Dalam Islam dikenal konsep kesucian diri, jiwa, dan harta. Kesucian harta dan jiwa bisa dilakukan dengan bersedekah dan menunaikan ibadah yang lainnya. Kesucian diri diejawantahkan melalui lima hal, salah satunya berkhitan. Hal ini termaktub dalam sebuah hadits yang berbunyi, ”Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur rambut kemaluan, mencukur bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.” (HR. Bukhori dan Muslim).  Dari hadits tersebut kita mengetahui bahwa khitan adalah satu syarat suci dalam tubuh seorang lelaki dan bersuci termasuk ke dalam syarat sah solat. Jika tubuhnya tidak suci atau bersih, maka solatnya tidak akan diterima Allah.

Dalam Islam, Nabi Ibrahim diketahui sebagai orang yang pertama kali berkhitan di usianya yang sudah mencapai 80 tahun. Ini menujukkan bahwa perintah khitan tidak mengenal batasan usia (lazimnya khitan dilakukan pada usia kanak-kanak) dan betapa kuatnya perintah untuk berkhitan. Hadits yang menceritakan kisah Nabi Ibrahim yang dikhitan berbunyi, “Nabi Ibrahim ‘alaihissalam khitan pada usia delapan puluh tahun di suatu tempat yang bernama Al-Qadum”. (HR. Bukhori)

Nabi Muhammad sendiri juga berkhitan. Dengan kekuasaan Allah, Rasulullah lahir sudah dalam keadan dikhitan. Dalam kitab Maulid Al-Barzanji karya Syekh Ja’far Al-Husain terdapat sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah lahir dalam keadaan sudah dikhitan. “Termasuk bagian kemuliaan dari Allah yang dianugerahkan kepadaku adalah aku dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan dan tak seorang pun melihat auratku.” (HR. At-Thabrani)

Selain Rasulullah, ada empat belas nabi lainnya yang dilahirkan dalam keadaan dikhitan. Syekh Sulaiman Al-Bujairami dalam sebuah kitabnya mengatakan bahwa, ”Ada lima belas orang nabi yang dilahrkan dalam keadaan terkhitan, yaitu Nabi Adam, Nabi Syits, Nabi Nuh, Nabu Hud, Nabi Sholeh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Zakatiiya, Nabi Yahya, Mabi Isa, Nabi Handhlah bin Shafwan (nabinya pemilik sumur ar-Rass), dan Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam.”

Khitan Tradisi atau Wajib?

Dalam Islam, khitan yang dilakukan sebelum laki-laki baligh ini hukumnya wajib sedangkan untuk perempuan hukumnya sunah atau sebagai penghormatan saja. Inilah fatwa hampir semua ulama fiqih. Adapun dalil khitan terdapat dalam surah An-Nahl ayat 123 yang artinya, ”Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad); ”Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus) dan dia bukanlah termasuk yang musyrik.”

Juga terapat dalam surah Al-Hajj ayat 78 yang artinya, ” Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

Atas dua dalil yang bersumber dari Al-Quran dan Al-hadits inilah, jumhur ulama menghukumi khitan sebagai kewajiban yang harus ditunaikan. Memang tidak ada perintah langsung dalam AL-Quran untuk berkhitan, tetapi disebutkan oleh Allah bahwa kita harus mengikuti agama dan ajaran Nabi Ibrahim, salah satunya syariat untuk berkhitan karena beliau sendiri telah mendapat perintah untuk berkhitan di suia 80 tahun.

Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwa khitan adalah sunnah bersandar pada kisah Salman Al-Farisi yang ketika masuk Islam tidak diperintahkan untuk berkhitan. Namun, Salman AL Farisi adalah orang yang gigih mencari kebenaran dan menjalankan ajaran agamanya dengan sepenuh hati yang bisa jadi ia sudah berkhitan sebelum masuk Islam. Dalil yang dijadikan landasan pendapat bahwa khitan adalah sunah adalah sebuah hadits Rasulullah yang berbunyi, “Khitan hukumnya sunah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan.” (HR. Muslim)

Baik tradisi, snah atau wajib, khitan diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan jika Islam sudah mengatur tata cara hidup umatnya, maka terdapat banyak manfaat di dalamnya. Sudah seyogyanya kita meyakini bahwa Allah-lah sebaik-baiknya pengatur hajat hidup hambanya. Berkhitan tidak hanya mengugurkan kewajiban bagi anak laki-laki, tetapi juga menghidupkan salah satu syariat Islam dan ikhtiar umat Islam untuk hidup lebih bersih dan suci.

Yuk sedekah khitan untuk yatim dhuafa melalui www.maiberbagi.or.id

Penulis,
(DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL