fbpx

Jangan Sepelakan Hutang

Dalih bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang saling bersimbiosis mutualisme ini kerapkali dijadikan dasar agar terjalin hubungan kemanusiaan untuk tolong-menolong. Baik dalam keadaan lapang ataupun sempit. Hal yang lumrah pula jika perihal hubungan tolong-menolong ini kerap diaplikasikan dalam urusan utang-piutang. Menariknya, realitas ini seperti sebuah keniscayaan yang selalu terjadi dalam lingkungan, golongan, dan kasta manapun. Rasanya setiap kita pun pernah mengalami berada dalam lingkaran utang-piutang ini. Entah sebagai pemberi utang atau penerima utang.Utang menjadi sebuah kebutuhan primer setiap diri dalam lingkaran perekonomian dengan resiko ‘gali lobang, tutup lobang’ demi berlangsungnya roda kehidupan. Hal ini tidak hanya dialami kalangan ekonomi kelas bawah saja namun kelas ekonomi atas pun sama. Bedanya kelas ekonomi atas berutang dengan bungkus yang terkesan lebih epik dan elegan, seperti melalui pinjaman kartu kredit dan investasi. Pada dasarnya dua kondisi tersebut sama saja, sama-sama tentang utang-piutang yang merupakan perihal serius dan tidak dapat disepelekan. Mari kita tengok sejenak firman Allah dalam QS : Al-Baqarah : 282 yang berbunyi,

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah salah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya……”

Betapa penting dan urgennya perihal utang-piutang sehingga Allah khusus menyiratkan tata cara dan bahasan mengenai utang dalam kalamNya sebagai sebuah ayat yang cukup panjang. Menarik sekali, Allah bukan menuliskan ayat panjang tentang tata cara melakukan salat, berzakat, puasa atau haji dan perintah wajib alinnya dalam Alquran, melainkan mengenai bahasan utang. Ini mengindikasikan betapa utang menjadi bab penting dalam tata cara bermuamalah dan kehidupan masyarakat dalam agama Islam. Allah memberikan tempat khusus dalam Quran untuk menyebutkan tata cara yang baik dan benar berutang agar terjalin hubungan tidak saling merugikan antarmanusia, kedua pihak dapat sama-sama menunaikan hak dan kewajibannya. QS : Al-Baqarah : 282 mengenai utang ini menjadi ayat terpanjang dalam Quran.Utang adalah janji. Seseorang yang berhutang sama dengan membuat janji, jika menepatinya ia amanah, jika melanggar dan tidak membayar ia berarti khianat.Terhadap utang, Allah memerintahkan hambaNya agar berhati-hati, bersikap adil dan bertakwa padaNya. Ketika berutang seseorang wajib mencatatnya agar tidak salah dan menyebabkan kekeliruan antardua pihak. Pentingnya mencatat utang langsung diberitakan Allah dalam firmannya. Betapa ini dimaksudkan agar kita ingat dan tidak keliru membayar utang. Meskipun satu dinar atau satu rupiah, utang tetaplah utang dan bernilai sebagai gantungan yang harus dibayarkan bahkan ketika seseorang meninggal.Sepenting dan sebesar itu porsi utang-piutang dalam hukum Islam. Masya Allah!Bagaimana Islam memandang dan menaruh predikat utang-piutang dalam hukumnya. Bagaimana sikap kita dalam berutang dan memberi utang? Bolehkah kita menyepelekan utang? Kita akan bahas sedikit dalam tulisan singkat ini.

Urgensi hutang dalam kehidupan manusia dijelaskan dengan gamblang dalam beberapa hadits berikut,

“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: (1) Sombong, (2) ghulul (khianat), (3) utang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih.

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah SAW bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1886), dan

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih wa Dhoif Sunan At Tirmidzi).

Betapa utang menjadi persoalan yang serius, rumit, sekaligus menyeramkan jika tidak melalui tata cara yang baik dan tidak diselesaikan sebelum ajal tiba. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah tersebut disinggung bahwa utang merupakan salah satu hal yang menjadi tolok ukur kebebasan ruh ketika terpisah dari jasadnya. Ketika seseorang meninggal dalam keadaan berutang maka ruhnya masih menggantung urusannya dan belum terbebaskan. Itulah mengapa ketika ada berita kematian, hal yang pertama kali penting untuk ditanyakan pada pihak keluarga dan sanak saudara ialah mengenai utang. Apakah jenazah tersebut memiliki utang atau tanggungan, ataukah ia meninggalkan harta benda untuk melunasinya. Harus ada pihak yang bertanggungjawab atas utangnya agar ruhnya tenang dan terbebas dari belenggu dosa. Ini menjadi penting dan wajib ditunaikan karena bahkan jenazah seorang syahid saja tidak akan terhapus dosa utangnya. Hanya perihal utang saja dan tidak yang lain. Kita patut cermat dan menggarisbawahi betapa Allah serius mengedepankan utang sebagai persoalan muamalah yang tidak dapat disepelekan.

Pernyataan ini dapat dikuatkan dengan sebuah kisah zaman Nabi dan sahabat tentang beberapa jenazah sahabat yang disalatkan Rasulullah SAW. Suatu ketika datang jenazah pertama untuk disalatkan Rasulullah. Ia bertanya apakah jenazah itu memiliki tanggungan (utang) dan apakah ia meninggalkan harta benda. Ternyata keduanya dijawab tidak, lalu beliau pun menyalatinya. Jenazah kedua datang, beliau tetap menanyakan para sahabat yang hadir dengan pertanyaan yang sama. Sahabat menjawab bahwa jenazah tersebut memiliki utang dan memiliki peninggalan (harta benda) untuk melunasi utangnya. Rasul pun memerintahkan sahabat untuk membayar utang jenazah itu dengan sisa harta bendanya, ketika lunas Rasul pun menyalatinya. Datang jenazah ketiga, beliau menanyakan hal yang sama. Jawabannya adalah jenazah ketiga ini memiliki utang dan tidak sama sekali meninggalkan harta untuk melunasi utang tersebut maka Rasulullah memerintahkan sahabat lain untuk menyalatkannya. Kemudian datanglah sahabat untuk bersedia menanggung utang jenazah tersebut hinggautangnya lunas dan Rasulullah pun bersedia menyalati jenazah ketiga tersebut.

Dari kisah ini dapat kita cerna bahwa utang adalah urusan paling penting yang wajib dibayar dan dilunasi dengan cara apapun, tentu yang sesuai dengan hukum dan tata cara pelunasan utang. Bahkan sebagai hal yang tidak dapat disepelekan, utang seseorang yang sudah meninggal saja tetap akan dipertanyakan ketika akan disalatkan dan wajib ditanggung oleh pihak keluarga atau sanak saudara lainnya agar beban jenazah menjadi hilang, dosa utangnya terampuni sebelum ia menuju perjalanan pengadilan alam kubur dan akhirat.

Bahaya seseorang tidak melunasi utang tergambarkan dalam hadits berikut, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih. Ketika transaksi pelunasan utang seorang yang meninggal terlewat bahkan ketika ia telah sampai di pengadilan akhirat maka utangnya tetaplah bernilai utang. ia akan ditagih untuk melunasi utang tersebut bukan dengan mata uang melainkan dengan pahala atau kebaikan si fulan semasa hidupnya di dunia. Maka kebaikan dan pahalanya akan berkurang sejumlah perhitungan adilnya Allah untuk membayar utang fulan tersebut. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari dosa utang-piutang yang tidak terbayar lunas.

Pada dasarnya urusan berutang diperbolehkan dalam Islam, Allah tidak melarang muamalah tersebut tapi mengaturnya dengan baik dalam firman dan hadits. Ketika berutang haruslah kita perhatikan nominal besarnya, akadnya, tenggat waktunya, cara melunasinya, cara mencatatnya, dan kesepakatan antarkedua belah pihak jika hutang tidak terlunasi. Sesungguhnya Allah menghargai usaha orang yang berutang agar ia melunasinya, ini disinggung dalam hadits, “Apabila seorang muslim berkaitan dengan suatu hutang dan Allah mengetahui bahwa ia hendak melunasinya, maka Allah akan menolongnya untuk melunasinya di dunia.” (HR. Ibnu Majah no. 2408, Ath Thabrani no. 19558, dan Ahmad no. 26859. Jika kita berniat dan berupaya sepenuh hati untuk melunasi utang maka Allah sendiri yang akan membantu dengan caraNya. Yang salah adalah jika kita berutang dan sekaligus berniat tidak akan melunasinya, maka Allah akan murka dan itu terhitung sebagai kekejian serta dosabesar. Sampai mati di akhirat nanti kita akan dicap sebagai seorang pencuri yang mengambil hak orang lain atau tidak memenuhi kewajiban atas lunasnya utang di dunia. Subhanallah!

Kemudian ditegaskan kembali perihal melunasi hutang dalam hadits berikut, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik dalam menunaikan haknya.” (HR. Bukhari no. 2182).

“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Bukhari no. 2393).

Sebaik-baiknya peminta utang ialah dia yang berupaya sebaik-baiknya untuk melunasi karena ia yakin utang bukan hal yang dapat disepelekan. Utang bersifat wajib dibayarkan sebagai bentuk pengembalian hak pada si pemberi utang. Urgensi hutang juga dicerminkan pada sikap Rasulullah yang mengajarkan pada kita doa agar terbebas dari utang; “Ya Allah, Rabb yang menguasai langit yang tujuh, Rabb yang menguasai ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu……….Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya (semua makhluk atas kuasa Allah). …….. Lunasilah utang kami dan berilah kami kekayaan (kecukupan) hingga terlepas dari kefakiran.”

Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan pada kita semua untuk menunaikan hak dan kewajiban dalam berutang sehingga kita kembali pada-Nya dalam keadaan suci dan sebagi jiwa yang tenang. Aamiin.

Yuk Berikan Sedekah Terbaik Anda melalui www.maiberbagi.or.id

Penulis,
(DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL