fbpx

Harta itu Beban Hidup

Harta sepertinya telah menjadi pusat dunia. Bagi siapapun dalam hidupnya, harta telah menjadi tujuan dan motif seseorang melakukan sesuatu. Disadari atau tidak, setiap manusia rela bekerja mati-matian, pontang-panting banting tulang hanya untuk memeroleh harta benda agar sejahtera dalam hidupnya. Harta ibarat dua sisi mata uang. Satu sisinya dapat menghadirkan kesenangan dan kebahagiaan bagi Empu yang memilikinya. Sebab dengan harta, ia dapat memeroleh apapun yang diinginkan di dunia, seperti jabatan, profesi, pendidikan, makanan, dan kehormatan. Pada sisi yang lain, harta pun dapat membawa malapetaka. Banyak rentetan kriminalitas dan kejahatan yang menjadikan harta sebagai motif tersangka melakukan tindak pidana tersebut. Pencuri, perampok, penculik, penjambret, pemeras, penipu, pembunuh, semua tindakan kejahatan tadi bermuara pada satu urusan, yakni harta benda. Harta tidak kenal saudara maupun teman karib. Tidak menutup kemungkinan tindak kejahatan dengan motif harta dapat ditemukan pada kasus hubungan keluarga, sanak saudara, ataupun teman dekat. Misalnya, perihal hak waris dan pembagian harta gono-gini, ini masalah keluarga yang kerap ditemukan kasus kejatahan yang dilakukan sesama keluarga demi mendapatkan harta benda yang dicintainya. Semua orang rela bahkan mampu berbuat apa saja demi mendapatkan tujuan yang diinginkan, meskipun itu adalah harta. Dengan beberapa gambaran yang sudah dipaparkan tadi, makin menegaskan bahwa ternyata harta mudah sekali menjadi beban hidup bagi siapa saja yang tidak arif mengelolanya dan menempatkan kedudukan harta pada posisi yang seharusnya.

Mari kita perhatikan kedudukan harta dalam Islam menurut Drs. KH. Yakhsyallah Mansur, MA., harta dalam bahasa Arab disebut maal yang berarti condong, cenderung, dan miring. Harta menurut syariat ialah segala sesuatu yang bernilai, dimanfaatkan, yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya). Drs. KH. Yakhsyallah Mansur, MA., berpendapat tentang keberadaan harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiaannya. Jika sika[ derma ini berkembang, maka akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan danbukti dari rasa syukur pada Allah SWT. berikut inilah status harta yang dimiliki manusia:

  • Harta sebagai titipan Allah, manusia tidak mampu mengadakan
  • Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia menggunakannya dengan baik dan tidak berlebihan
  • Harta sebagai ujian keimanan
  • Harta sebagai bekal ibadah
  • Harta sebagai penyelamat azab Allah

Dalam hadits Rasulullah SAW mengabarkan pada kita bahwasanya, kelak di hari kiamat setiap Bani Adam (manusia) akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT mengenai 5 (lima) perkara, di antaranya ialah:

  1. Umurnya
  2. Masa mudanya
  3. Hartanya (dari mana ia mendapatkan)
  4. Hartanya (dalam hal apa ia belanjakan)
  5. Ilmu yang dimilikinya

(HR. At-Tirmidzi no. 2416, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir Jilid 10 hal 8, Hadits no. 9772 dan hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silah Al-Hadits Ash-Ashahihah no. 946).

Berkat harta hidup dapat bahagia, sebab kita mendermakan harta pada sesama kita yang kurang beruntung hidupnya. Dengan begitu, kebahagiaan atas harta akan tumbuh sebab kita memiliki rasa syukur yang besar pada Allah. Kemudian yang terjadi ialah Allah menambah nikmat pada hambaNya tadi sebab ia bersyukur atas sedikit-banyaknya harta yang Allah beri. Kita perhatikan firman Allah dalam QS: Ibrahim : 7 yang berbunyi,

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azabku sangat pedih.”

Ayat tersebut menggambarkan janji Allah yang amat gamblang bahwa syukur dapat menambah nikmat Allah, baik berupa harta, kesehatan, keluarga, kesuksesan, jabatan, rasa tenang, damai, dan kebahagiaan. Berkat harta pula dapat menjadikan hidup penuh penderitaan dan kesengsaraan, sebab manusia tidak adil menempatkan harta. Kesengsaraan, penderitaan, dan bebannya harta akan dirasakan oleh mereka yang meletakkan harta benda dunia di hati bukan di tangan mereka. Karenanya, harta telah menguasai hati mereka serta membuat mereka mencintai dunia dan takut mati (hubbud dunya wa karohiyatul maut). Lain hal, jika manusia meletakkan harta di tangan, maka hati akan mengendalikan tangan untuk berbuat adil dalam mencari dan membelanjakan harta.

Marilah sejenak kita perhatikan kisah sahabat Nabi yang kaya raya dan memiliki harta berlimpah namun ia tetap dermawan bahkan rela menginfakan harta di jalan Allah ketika ia akan hijrah ke Mekkah bersama Rasulullah, ia adalah sahabat Abdurrahman bin Auf. Kita tahu bahwa Abdurrahman bin Auf ialah sahabat Nabi, salah seorang yang terdata sebagai Assabiqunal Awwalundan tentu dijamin surga oleh Allah SWT. Itu merupakan keniscayaan yang layak diperolehnya sebab meski kaya raya dan dikenal sebagai Milyarder pada masa rasulullah SAW, ia rajin berderma dan tidak ragu menghabiskan hartanya untuk berjihad di jalan Allah. Anehnya, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa ia akan masuk surga 500 tahun terlambat dari para sahabat lainnya, disebabkan kekayaan yang dimiliki. Hitungan 500 tahun di dunia sama dengan setengah hari di akhirat. Padahal Abdurrahman bin Auf sendiri termasuk salah seorang dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW. Adapula riwayat lain dari Siti Aisyah RA, yang menggambarkan kesulitan Abdurrahman bin Auf sebagai saudagar kaya raya di akhirat untuk mempertanggungjawabkan hartanya, berikut bunyinya,

“Aku mendengar Rasulullah SAW pernah berkata bahwa Nabi SAW melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dalam keadaan merangkak.”

‘Merangkak’ dalam riwayat hadits ini entah dalam arti sesungguhnya atau sebagai kiasan yang menggambarkan bahwa nasib sahabat yang dermawan dan bahkan dijamin masuk surga oleh Allah saja di akhirat kelak memiliki kendala dalam perjalanan menuju surga. Tentu ini dikarenakan perjalanan surga yang tidak mudah, ada pertanyaan dan hisab yang harus kita pertanggungjawabkan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, ada 5 perkara penting yang akan dimintai pertanggungjawaban dari Bani Adam di akhirat kelak, yakni umurnya, masa mudanya, hartanya (dari mana ia berasal dan ke mana dibelanjakan), dan ilmunya. Semakin kaya raya seorang hamba tentu semakin lama waktu hisab mempertanggungjawabkan kekayaannya dan semakin lamban ia berjalan menuju surga. Sebaliknya, makin sedikit hartanya, maka hisabnya terkait pertanggungjawaban harta benda akan semakin mudah dan jalan lebih cepat menuju surga.

 

Jadi, benarkah harta dapat menjadi beban hidup? Ya. Harta akan menjadi beban hidup, baik di dunia maupun di akhirat, meskipun harta itu kita gunakan dalam hal kebaikan dan berjihad di jalan Allah, apalagi jika kita melakukan sebaliknya. Harta tentu bukan saja menjadi beban tapi akan bersaksi tentang bagaimana cara kita mendapatkannya dan ke mana saja kita membelanjakannya. Apakah untuk hal kebaikan atau keburukan yang merugikan banyak orang serta menyengsarakan? Tidak sedikit manusia yang merasa was-was dan khawatir sebab banyaknya harta sehingga tidak mudah tidur, merasa kediamannya diawasi dan diintai, dan merasa hati tidak tenang sebab takut kehilangan harta yang dicintainya. Padahal sejatinya, harta hanyalah benda mati yang tidak akan dibawa mati. Satu-satunya teman ketika di liang lahat dan yang setia menemani kita dalam persidangan Allah hanyalah amalan. Maka seyogianya, kita bukan saja memperbanyak harta untuk menunjang kebutuhan hidup tetapi menyuburkan amal saleh sebagai teman setia kita di kubur dan di akhirat kelak.

Yuk sedekahkan harta anda melalui www.maiberbagi.or.id

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL