fbpx

Wakaf Dalam Perspektif Ekonomi Islam Bag 1

WAKAF DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Oleh: Fahruroji (Dewan Syariah MAI Foundation)

 

Pendahuluan

Wakaf tidak hanya dimanfaatkan untuk sarana sosial dan ibadah, namun juga dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan peningkatan ekonomi umat. Dalam penjelasan Undang-Undang Wakaf disebutkan bahwa peran wakaf sebagai pranata keagamaan tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah. Untuk mewujudkan potensi ekonomi harta benda wakaf, maka Undang-Undang Wakaf menekankan agara harta benda wakaf dikelola dan dikembangkan secara produktif. Dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir dilakukan secara produktif, antara lain dengan cara pengumpulan investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.

 

Wakaf Sebagai Sumber Ekonomi Islam

Dalam sistem ekonomi Islam, wakaf belum banyak dieksplorasi semaksimal mungkin, padahal wakaf sangat potensial sebagai salah satu instrumen untuk pemberdayaan atau pengembangan ekonomi umat Islam. Karena itu, institusi wakaf menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Apalagi wakaf dapat dikategorikan sebagai ʻamal jāriyah yang pahalanya tidak pernah putus, walau yang memberi wakaf telah meninggal dunia.[2]

Sebagai salah satu pranata keagamaan, wakaf tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga sebagai sumber ekonomi Islam untuk menyejahterakan umat. Sebagai sumber ekonomi Islam, maka wakaf perlu dikelola dan dikembangkan secara produktif.[3] Wakaf produktif sendiri adalah upaya untuk meningkatkan (memaksimumkan) fungsi-fungsi wakaf agar dapat memenuhi kebutuhan para pihak yang berhak menerima manfaatnya. Dengan terpenuhinya kebutuhan para pihak, berarti wakaf -dalam batas-batas tertentu- telah berfungsi untuk menyejahterakan masyarakat.[4]

Wakaf memainkan peran yang sangat penting dan istimewa dalam pengembangan ekonomi dan sosial umat Islam sepanjang sejarah Islam, di mana berbagai macam kebutuhan dan pelayanan-pelayanan dasar dan umum untuk masyarakat dibiayai dari dana wakaf sehingga mengurangi beban keuangan negara.[5] Wakaf mengalami kemajuan pesat selama abad-abad ke-9 M dan 10 M. Kemajuan ini ditandai dengan berkembangnya jenis-jenis wakaf baru seiring dengan meluas dan makin kompleksnya kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat muslim yang makin tampak bercorak urban. Pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh wakaf tidak lagi bersifat keagamaan dan santunan semata, tetapi mencakup sarana-sarana publik, seperti jalan-jalan, jembatan, rumah sakit, dan madrasah. Kesinambungan manfaat wakaf tersebut, dimungkinkan oleh berlakunya jenis wakaf produktif yang didirikan untuk menopang kegiatan keagamaan, santunan, pendidikan, dan sarana publik. Wakaf produktif, biasanya berupa tanah pertanian atau perkebunan dan gedung-gedung komersial, dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan yang sebagiannya disisihkan untuk mendanai pelayanan-pelayanan sosial-keagamaan atau untuk didermakan kepada penerima yang telah ditentukan.[6]

Meskipun wakaf produktif telah memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat muslim sepanjang sejarah Islam, namun perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan kurang optimalnya pengelolaan wakaf untuk tujuan produktif, terlebih lagi di Indonesia. Di Indonesia, sejak awal bahkan hingga sekarang tanah wakaf lebih banyak digunakan untuk fasilitas keagamaan, pendidikan dan sosial seperti masjid, mushalla, lembaga pendidikan, pesantren, panti asuhan dan kuburan.[7] Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta tahun 2006 menunjukkan hanya ada 23% lembaga wakaf yang menyatakan tanah wakaf mereka menghasilkan dalam arti memiliki wakaf produktif yang menunjang wakaf pelayanan. Namun ketika ditelusuri lebih jauh, sebagian besar dari wakaf yang menghasilkan tersebut berada di pedesaan dan berbasis pertanian. Wakaf produktif berupa sawah/kebun merupakan yang terbesar (19%). Sedangkan wakaf produktif berbasis perkotaan, masih sangat jarang dilakukan. Yang memanfaatkan lahannya untuk pertokoan, hanya ada 3%. Demikian juga pendayagunaan kolam ikan hanya dilakukan oleh 1% lembaga wakaf. Karena lemahnya jenis-jenis wakaf produktif yang dikembangkan di Indonesia, wakaf produktif belum mampu menjadi penyokong kegiatan pelayanan sosial wakaf.[8]


[2]Tim Penulis, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010), 39. Hadis yang menyatakan bahwa wakaf sebagai ʻamal jāriyah yang pahalanya tidak pernah putus, walaupun yang memberi wakaf telah meninggal dunia adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (رواه مسلم)

Artinya: Dari Abu Hurairah Apabila anak keturunan Adam meningal dunia maka putuslah semua amal ibadahnya, kecuali tiga perkara, yaitu: Sedekah jāriyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya. (HR. Muslim). Hadis ini dikemukakan di dalam bab wakaf karena para ulama menafsirkan sedekah jāriyah dengan wakaf. Imam Muhammad bin Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salām (Bandung: Dahlan, t.th.), 87.

[3]Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) menjelaskan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah serta dilakukan secara produktif. Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengann syariah.

[4]Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), 17.

[5]Al-‘Ayyasyi al-Shadiq Fadad, Istithmār Amwāl al-Waqf Ruʻyah Fiqhiyyah wa Iqtiṣādiyah dalam al-Istithmārāt al-Waqfiyyah (Dubai: Muassasah al-Awqāf wa Shu’ūn al-Quṣṣar, t.th.), 278.

[6]Tuty A. Najib, dkk, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan (Jakarta: Center for The Study of  Religion and Culture UIN Jakarta, 2006),  32. Irfan Abu Bakar, dkk, Filantropi Islam dan Keadilan Sosial (Jakarta: Center for The Study of Religion and Culture UIN Jakarta, 2006),  73.

[7]Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta tahun 2006 menunjukkan bahwa mayoritas tanah wakaf digunakan untuk sarana ibadah (keagamaan) dalam bentuk masjid/mushalla (79%). Pemanfaatan untuk sarana pendidikan menempati urutan kedua yang mencapai 55%. Sementara itu, tanah-tanah wakaf yang digunakan untuk sarana sosial lainnya seperti sarana kesehatan, panti asuhan, kuburan dan sebagainya masih sangat kecil. Tuty A. Najib dkk, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan,123.

[8]Tuty A. Najib dkk, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan,133.

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL