fbpx

Hukum Ketika Makan dan Minum lalu Mendengar Adzan pada Ramadan

Ada hadist yang menyebutkan bahwa

“Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (Shubuh), sedangkan bejana (air) sedang di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya [minum]“.

Pertanyaanya :
1. Bila makanan yang di piring atau di tangan belum habis saat azan selesai?
2. Apakah harus dihabiskan atau tidak dilanjutkan?

Biasanya tipikal orang kita, habis makan masih harus minum juga tadz. saya bingung apa yang harus saya perbuat kalau pas sahur kesiangan, pernah ngalamin hal kayak gini, dilema mau minum atau enggak. Bagaimana pendapat ustadz?

Terima kasih atas jawabannya.

 

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Untuk menjawab masalah ini sebenarnya sederhana saja, yaitu adzan yang dimaksud bukan adzan Shubuh, melainkan adzan yang biasa dikumandangkan oleh Bilal untuk membangunkan orang-orang makan sahur. Maka sama sekai tidak ada ada masalah ketika adzan itu sudah dikumandangkan dan kita masih saja makan dan minum.

Sayangnya ada kalangan yang agak rancu memahami hadits tentang bolehnya tetap makan dan minum walau pun sudah terdengar adzan shubuh.

  1. Hadits Yang Membolehkan Makan Minum Meski Sudah Adzan

Kita menemukan setidaknya ada dua hadits yang terkait dengan masalah ini:

  1. Hadits Pertama

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga dia habiskan isinya.” (HR. Abu Daud)

Tegas sekali hadits ini membolehkan makan dan bahkan untuk menghabiskan isi piring makan kita, meski sudah terdengar suara adzan.

  1. Hadits Kedua

Selain hadits di atas, hal yang senada juga dialami oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu :

أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا

Adzan dikumandangkan sedangkan dan gelas masih di tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahuanhu. Dia bertanya kepada Rasulullah SAW,“Apakah masih boleh minum?”. Beliau SAW menjawab : “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya (HR. Ibnu Jarir)

Hadits kedua ini pun juga sangat tegas menyebutkan izin untuk minum meski sudah dikumandangkan adzan. Bahkan Umar pun sempat mengklarifikasi terlebih dahulu sebelum minum. Itu berarti minum setelah adzan bukan cuma sekedar ijtihad Umar, melainkan mendapatkan rekomendasi langsung dari Nabi SAW.

  1. Hadits Bertentangan Dengan Al-Quran

Kalau kita tarik kesimpulan sekilas dari dua hadits di atas, pastilah kita akan mengatakan bahwa meskipun sudah berkumandang adzan, tetapi masih dibenarkan untuk makan dan minum, setidaknya hingga habis dari piring kita.

Padahal kita tahu bahwa batas mulai puasa adalah terbitnya fajar, dimana ketentuannya itu datang langsung lewat firman Allah SWT di dalam Al-Quran. Tentu saja secara hirarki kedudukan Al-Quran jauh lebih tinggi dan lebih utama dari pada kedudukan hadits. Perhatikan ayat berikut ini :

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar…” (QS Al-Baqarah: 187)

Tegas sekali batasan puasa menurut Al-Quran adalah datangnya fajar. Bagaimana mungkin ketika muadzin mengumandangkan adzan, kita masih saja meneruskan makan dan minum, padahal seorang muadzdzin tidak akan mengumandangkan adzan kecuali setelah mengetahui pasti fajar telah terbit?

Apakah hadits-hadits di atas secara otomatis tertolak karena berhadapan dengan Al-Quran? Ataukah hadits-hadits itu menjadi semacam kekhususan atau pengecualian?

Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah kita tinggalkan kedua hadits di atas dan berkesimpulan bahwa makan minum bila sudah adzan termasuk membatalkan puasa. Alasannya karena kedua hadits di atas bertentangan dengan Al-Quran.

Kemungkinan kedua, kita tinggalkan ayat Al-Quran dan memenangkan kedua hadits di atas, dengan alasan bahwa kedua hadits itu merupakan kekhususan dan pengecualian. Dengan demikian maka hukum makan dan minum meski sudah adzan tetap diperbolehkan.

  1. Hadits Pembanding

Namun sebelum terlalu jauh berijtihad kesana kemari, mengapa tidak kita cari dulu hadits-hadits lain yang bisa dijadikan pembanding?

Dan ternyata masih ada hadits lain yang juga shahih namun lebih lengkap dan bisa dijadikan sebagai penjelasan yang lengkap atas duduk perkara masalahnya. Setidaknya ada dua hadits yang menjadi pembanding.

  1. Hadits Pertama

أَنَّ بِلاَلاً كاَنَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقاَلَ رَسُولُ اللهِ : كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتىَّ يُؤَذِّنَ بْنُ أُمِّ مَكْتُوْم فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتىَّ يَطْلَعَ الفَجْرُ

Bilal mengumandangkan adzan pada suatu malam. Maka Rasulullah SAW bersabda, ”Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq”. (HR. Bukhari).

Hadits di atas telah dengan jelas mengklarifikasi kedudukan masalah, bahwa ternyata ada dua adzan di masa Nabi SAW, yaitu adzan Bilal dan adzan Abdullah bin Ummi Maktum. Dan kalaupun ada kebolehan untuk makan minum meski ada adzan, ternyata maksudnya adalah adzan yang pertama, yaitu adzan yang dikumandangkan oleh Bilal dimana adzan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan waktu Shubuh.

  1. Hadits Kedua

Di dalam kitab Shahih Muslim juga ada hadits yang secara tegas membedakan antara adzan pertama dan adzan kedua.

لاَ يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سَحُورِكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ وَلاَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيل وَلَكِنِ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الأُْفُقِ

Adzan yang dikumandangkan oleh Bilal tidak mencegah kamu dari makan sahur, dan juga fajar yang memanjang. Namun yang mencegahmu makan sahur adalah fajar yang merbak di ufuk. (HR. Muslim)

Maka semakin jelas duduk masalahnya, yaitu masih dibolehkannya makan minum meski terdengar adzan rupanya memang bukan adzan Shubuh.

Perlu diketahui bahwa adzan pada zaman Rasulullah SAW dikumandangkan dua kali. Adzan yang pertama dikumandangkan oleh Bilal, waktunya beberapa saat sebelum terbit fajar. Adzan yang kedua adalah adzan yang dikumandangkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum, waktunya adalah ketika fajar telah terbit, yang juga merupakan adzan untuk dimulainya puasa dan masuknya waktu untuk shalat shubuh.

 

  1. Fatwa Ulama

 

Untuk lebih yakinnya bahwa tidak benar kalau sudah berkumandang adzan shubuh, masih dibolehkan makan dan minum, mari kita simak pendapat para ulama tentang hal ini.

  1. Al-Imam An-Nawawi

Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa jika fajar telah terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Hal ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

  1. Syaikh Shalih Al-Munajjid

Kalangan selama ini membolehkan makan minum padahal sudah adzan pun sebenarnya tidak secara tegas membolehkan. Mereka masih bilang sebaiknya jangan makan dan minum. Mereka pun tetap berhati-hati. Simaklah perkataan Syeikh Shalih Al-Munajjid berikut. Beliau beralasan bahwa banyak muadzin melantunkan adzan sebelum waktunya, yaitu sebelum waktu Shubuh. Maka beliau mengatakan bahwa bila adzan itu dikumandangkan sebelum waktu fajar benar-benar terbit, tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin.

Jelas sekali kebolehan makan dan minum menurut beliau adalah ketika adzan itu dilantunkan tetapi memang belum masuk waktu shubuh. Dan memang benar jika masih makan minum saat dikumandangkan adzan semacam itu (bukan adzan Shubuh), puasanya tetap sah.

Namun meskipun demikian, tetap saja beliau lebih berhati-hati dan menyarankan untuk berhenti makan ketika itu.

  1. Pelajaran Penting

Dari pembahasan masalah ini setidaknya ada dua pelajaran penting yang bisa kita ambil :

  1. Jangan Terburu-buru Menarik Kesimpulan Hukum

Kita tidak boleh terburu-buru menarik kesimpulan hukum hanya berdasarkan satu dua hadits, padahal jumlah hadits itu banyak sekali.

Bacalah banyak hadits biar kita tidak keliru. Kitab hadits itu banyak jumlahnya, semua harus dibaca dulu sebelum berfatwa.

  1. Bukan Mujtahid Jangan SOk Tahu

Sementara itu, ternyata kita pun bukan orang yang berkapasitas mujtahid. Kita hanyalah orang awam yang tidak pernah belajar sebagai mujtahid. Seorang mujtahid pun masih sangat berhati-hati ketika menarik kesimpulan dan berfatwa. Apalagi dengan kita yang bukan mujtahid, maka jangan sok berfatwa kalau tidak tahu duduk masalahnya.

  1. Merujuk Fatwa Ulama Otoritatif

Kalau kita bukan mujtahid dan haram menarik kesimpulan hukum sendiri, lalu bagaimana cara kita mengetahui hukum-hukum syariah? Jawabnya kita rujukkan saja semua ini kepada fatwa para ulama yang otoritatif dalam berfatwa. Bukan sekedar ulama dalam arti sekedar tokoh agama.

Yang dimaksud dengan ulama otoritatif adalah ulama yang memang ahli di bidang ijtihad dan fatwanya sudah diterima umat Islam teruji sepanjang 13 abad ini, yaitu fatwa para ulama di kalangan empat mazhab.

Sebab mereka selain ahli fiqih juga menghafal ratusan ribu hadits, pastilah sudah membaca banyak hadits, sehingga kita punya rujukan dalam mengambil fatwa.Tentunya mereka terhindar dari berfatwa sembarangan, yang hanya merujuk pada satu dua hadits, padahal masih ada banyak hadits lain yang menjadi pembanding.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

Baca Juga: Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL