fbpx

Hukum Akikah Untuk Diri Sendiri

Akikah untuk diri sendiriBolehkah seseorang akikah untuk diri sendiri, setelah ia tahu bahwa saat kecil belum diakikahi oleh orang tuanya?

Jawaban:

Pada dasarnya, tanggung jawab untuk mengakikahi anak yang baru lahir ada pada pundak ayahnya. Namun jika sang anak saat dewasa hendak mengakikahi dirinya sendiri, setelah ia tahu bahwa saat kecil belum diakikahi oleh orang tuanya, setidaknya memang ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: boleh dilakukan.

Sebagian ulama memandang bahwa mengakikahi diri sendiri adalah hal yang dibenarkan dalam syariat Islam. Di antara yang berpendapat demikian adalah ar-Rafi’I, al-Qaffal, Muhammad bin Sirin, Ata’, dan al-Hasan al-Basri.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Basri bahwa beliau berfatwa, “Apabila seorang ayah belum menyembelihkan hewan akikah bagi anaknya yang laki-laki, maka bila nanti anaknya itu dewasa dan punya rezeki, dipersilakan bila ingin menyembelih hewan akikah yang diniatkan untuk diri sendiri. Fatwa ini bisa kita temukan tertulis di dalam kitab al-Muhalla (Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Asar, hlm. 6/240).

Di antara dasar kebolehannya adalah hadis dari HR. al-Bazzar yang artinya, “Bahwa Nabi saw menyembelih hewan akikah untuk dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi.”

Pendapat pertama: tidak perlu

Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang masalah ini, yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan akikah untuk dirinya sendiri lantaran dahulu orang tuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa hal itu tidak perlu dilakukan.

Alasannya, karena syariat dan perintah untuk menyembelih hewan akikah itu berada di pundak orang tuanya, bukan berada di pundak si anak. Sehingga si anak tidak perlu mengerjakan meski dirinya mampu ketika sudah dewasa.

Salah satu ulama pengikut mahzab Hanbali, Ibnu Qudamah berkata, “Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orang tua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya,seperti sedekah fitri.” (Ibnu Qudamah, al-Mugni, hlm. 8/646).

Diantara dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah sendiri tidak pernah menyembelih akikah untuk diri beliau, meski sejak kecil tidak pernah disembelihkan akikah. Begitu juga beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat yang waktu kecilnya belum pernah disembelihkan akikah agar masing-masing menyembelih akikah untuk diri mereka.

Sedangkan hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah menyembelih hewan akikah untuk dirinya sendiri, setelah beliau diangkat menjadi utusan Allah, oleh para kritikus hadis dianggap sebagai hadis yang lemah dan menuai hujan kritik. Titik masalahnya ada pada perawi yang bernama Abdullah bin Muharrar.

Al-Hafiz Ibnu Hajah al-Asqalani menyebutkan hadis ini matruk. Asy-Syaukani berpendapat boleh saja seseorang menyembelih akikah untuk dirinya sendiri, asalkan hadis tersebut sahih. Masalahnya, menurut beliau, hadis itu sendiri bermasalah. Asy-Syaukani menyebutkan hadis itu munkar. Imam an-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab menyebutkan bahwa hadis ini batil.

Namun merekayang membela pendapat dibolehkannya menyembelih hewan akikah untuk diri sendiri punya jawaban yang tidak kalah kuatnya. Mereka menyebutkan bahwa hadis yang dipermasalahkan tetap sahih, karena ada periwayatan lewat jalur lain yang disahihkan oleh para ulama.

Dalam hal ini, al-Haisami menyebutkan di dalam kitab Majma’ az-Zawa’id, bahwa hadis ini memang punya dua jalur periwayatan. Pertama adalah jalur yang banyak didaifkan oleh para ulam, yaitu lewat jalur Abdullah bin Al Muharrar, dari Qatadah, dari Anas yang diriwayatkan secara marfu’. Kedua adalah jalur yang sahih dan tersambung kepada Anas, dari al-Haisam bin Jamil, dari Abdillah bin al Musanna, dari Sumamah, dan Anas. (al-Haisami, Majma’ az-Zawa’id, hlm. 459).

 

Dikutip dari buku Tanya Jawab Fikih Keseharian, penulis Isnan Ansory, Lc, M.Ag., Dr. M. Yusuf Siddik, MA., Dr. Fahruroji, MA

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL