fbpx

Cerpen: Bidadari Yang Berubah

Bidadari yang Berubah
Oleh : Riana Dewi

Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar kalau istriku akan pulang bulan depan dari perantauannya, sontak batinku riang gembira. Siang malam berdoa untuk kepulangannya, akhirnya terkabulkan juga. Hingga saking gembiranya, kemanapun aku pergi, seulas enyum selalu tersungging di bibir. Orang di sekitar memandang beragam makna. Ada yang turut berbahagia seperti tetangga, teman dan keluarga. Ada terheran-heran sampai mereka geleng-geleng kepala. Bahkan … ada juga yang menatap sinis. Ah, maklum saja mereka iri. Istriku itu bunga di kampungku. Idaman para lelaki yang merasa tulen.

“Makan yang banyak, Gun. Bulan depan Sarifah pulang. Jangan biarkan Ifah melihat kondisi Gun yang sekarang. Dia pasti bakal sedih …,” ujar ibu mertuaku lirih menjelang makan malam.

Empat tahun lebih istriku, Sarifah, meninggalkan kampung halaman tercinta untuk melanglangbuana di Negeri Beton. Selama empat tahun itu, hanya sesekali saja ia memberikan kabar kepada keluarga. Sebagai seorang suami yang sangat mencintai istrinya, bagaimana aku bisa berpikir tenang andai dihadapkan pada posisi seperti ini? `

Pertama kali Sarifah menelepon, dia mengabarkan kondisinya sehat. Majikannya juga baik. Meski tak ada hari libur, majikan baik itu bersedia menggantinya dengan sejumlah uang. Belum genap dua pekan bekerja, Sarifah sudah diajak berlibur ke China dalam rangka Imlek. Sarifah menuturkan kepadaku bahwa majikannya itu berasal dari Thiongkok.

Di kesempatan berikutnya, Sarifah menelepon dengan amat girang. Dia bilang hari itu adalah hari dimana ia menerima gaji pertamanya. Meski harus dipotong biaya agency, tapi karena ia mendapat uang lembur gara-gara tak libur maka sisa uangnya akan ia kirim untuk mencukupi kebutuhan si kecil, Dimas. Sarifah (lagi-lagi) bercerita tentang kehidupan keluarga yang ia rawat. Katanya, Tuan mempunyai tiga orang anak. Anak pertama Tuan yaitu seorang gadis, biasa disebut Wong Siuce[1]. Kini, Wong Siuce ikut dengan Nyonya pasca perceraian. Anak kedua mereka itu seorang laki-laki. Ia ikut dengan Tuan dan bekerja di sebuah pabrik motor milik keluarga di China. Dan kelak, tuan muda inilah yang akan memboyong perusahaan besar milik tuan ke dalam genggamannya. Lalu si Amui[2], panggilan untuk si Bungsu, ia sedang melanjutkan study-nya di Negeri Kangoroo dan pulang setahun sekali ketika libur musim dingin.

Aku menyimpulkan kalau Tuan yang berwenang di rumah itu. Walau demikian, menurut Sarifah, Tuan senantiasa mengajarkan bagaimana beradaptasi di lingkungan yang adat istiadat mereka masih mengikuti tradisi leluhur. Tuan juga sabar mengajar Sarifah bagaimana berbicara bahasa Kantonis yang baik dan benar, masak yang enak dan bekerja sesuai peraturan yang mereka tetapkan. Tenang hatiku mendengarnya Aku pun bisa konsentrasi mengurus sawah, ladang dan tanaman di kebun. Sementara Dimas, sejak ditinggal merantau oleh ibunya, ia menjadi anak yang mandiri, jarang manja, penurut dan rajin beribadah.

“Ibu sedang bekerja di Hong Kong. Jauhhhh … sekali,” kataku seolah tahu dimana Hong Kong itu berada. Aku yang tamatan SMP –itu pun gak lulus- mana tahu Hong Kong itu berada dibelahan dunia mana. Abah dan Ambu melarangku bersekolah. Katanya sekolah itu mahal. Presiden saja makan nasi. Dan sebelum dimasak, nasi itu berupa beras. Dan beras itu berasal gabah. Dan gabah itu adalah tanaman padi. Dan padi itu ditanam oleh petani. Dan petani itu adalah pekerjaannya Abah dan Ambu sehingga mereka berpikir profesi sebagai petani itu harkat dan derajatnya lebih tinggi daripada Bapak Presiden. Aku terpingkal-pingkal mengingat Alm. Abah dengan sorot matanya yang nyalang tetap keukeuh tak memperbolehkan aku melanjutkan sekolah. Akhirnya aku menyesal. Untuk menjelaskan dimana itu Hong Kong, aku hanya bisa menjelaskan dengan kata ‘jauh’ kepada anakku, Dimas. Ketika Dimas bertanya seberapa jauh? Aku hanya tersenyum kecut sambil mulai menggelitiki badannya –upaya mengalihkan perhatian.

Rongrongan demi rongrongan pun terjadi. Masa-masa penantian panjang ini begitu melelahkan. Berbagai gossip seputar Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di Hong Kong sana menjadi buah bibir di desaku. Namanya Sumiati. Wanita beranak dua itu sudah delapan tahun tak pulang ke rumahnya. Suaminya sangat mengkhawatirkan Sumiati. Selidik punya selidik, beredar gossip, Sumiati berubah nama jadi Seno. Penampilannya tak layak disebut wanita malah lebih mirip laki-laki. Rambutnya di pangkas pendek, dandanannya mirip pejantan. Dari foto yang diterima suaminya, Sumiati berpose sambil memeluk wanita cantik. Di tangan kanannya terselip sebatang rokok buatan Indonesia. Asyik sekali kelihatannya Sumiati menikmati hidupnya di Hong Kong sementara suaminya pontang panting di ladang milik Haji Imron.

***

“Sumiati berubah nama jadi Seno. Ada-ada saja ya, Kang?” ujar wanita setengah baya pelayan kedai sambil menyodorkan gelas berisi kopi hitam. Wanita itu tersenyum genit ke lelaki berkumis itu.

“Tuh, Kang Gunawan. Hati-hati juga sama istrimu!” Kopi yang barusan mengalir di kerongkongan tak hanya pahit terasa namun getir menjalar masuk ke tubuhku. Aku tahu maksud wanita penjual kopi itu hanya mengingatkan, akan tetapi … kata-kata tadi benar-benar menusuk ulu hatiku.

“Insya Allah kalau Sarifah itu gak mungkin. Buktinya, sampai saat ini, komunikasi kami masih lancar,” tukasku kemudian bangkit, menyambar sabit, membayar sejumlah uang dan pergi ke sawah.

Di sawah terdapat sebuah saung. Apabila panas menyengat bumi, aku berteduh di bawah atapnya yang terbuat dari tumpukan daun rumbia. Anginnya sepoi-sepoi, kicauan burung pemakan padi, juga gemerisik daun bambu di belakang saung menjadi nyanyian alam siang itu. Dari kejauhan, terlihat Sarifah berlari kecil-kecil di atas pematang sawah. Rok selutut dari jarik yang ia kenakan bergoyang tertiup angin menampakkan sedikit pahanya yang putih mulis. Begitupun rambutnya yang tak digelung, menjuntai hingga pinggangnya yang ramping.

Aku teringat dengan cerita jaman dulu tentang bidadari yang turun dari kahyangan. Apa mungkin bidadari itu adalah Sarifah? Sebab, walau berasal dari padepokan terpencil, kulit Sarifah putih mulus, pucat seperti tak ada darah mengalir di dalamnya. Senyumnya menawan dari bibir merah jambu yang sensual. Ah … Membayangkan Sarifah membuatku sesak. Apalagi saung ini adalah saksi bisu saat beberapa kali aku memagut tubuh Sarifah ke dalam pelukanku. Bermandi keringat.

Sejujurnya, selepas bulan ke lima -dimana masa potongan agency berakhir, Sarifah mulai jarang berkomunikasi. Yang biasa setiap minggu, ini berkurang hingga sebulan sekali. “Sarifah ingin menabung untuk beli rumah,” begitu alasannya. Aku memaklumi, sangat memaklumi. Aku juga tak bisa melarang Sarifah menabung hasil jerih payah membabu di sana. Sebagai seorang suami aku juga malu, aku tak bisa menafkahi Sarifah baik jasmani maupun rohani. Ia telah memilihku dengan segala resikonya. Tapi aku tak berpikir kalau resikonya adalah sisa hidupnya dihabiskan dengan pemuda kere tak berpendidikan sepertiku. Mungkin kalau waktu itu Sarifah memilih Juragan Misja, Bandar ubi di desaku, mungkin saja Sarifah sekarang menjadi menak, nyonya besar yang kerjanya ungkang-ungkang kaki di depan televisi.

Walau demikian, rasa curiga itu ada. Aku terpaksa menghubungi Teh Lina, perempuan yang dikenalkan Sarifah di perusahaan jasa tenaga kerja sebagai teman baiknya, dan memintanya mengawasi gerak gerik Sarifah. Darinya, aku tahu jadwal kepulangan istriku itu.

***

Menurut kabar yang disampaikan Teh Lina, jam 14.10 WIB pesawat yang ditumpangi Sarifah mendarat. Namun hingga waktu menunjukkan jam 14.50 WIB, batang hidung Sarifah tak jua nampak. Kontan saja berbagai pikiran buruk menyergap. Apakah informasi dari Teh Lina itu benar? Bagaimana jika berbohong? Tak ingin berkelanjutan, aku bertanya kepada salah satu petugas di Bandara. “Pesawat dari Hk sudah tiba sejak sejam yang lalu. Mungkin istri bapak tidak di pesawat itu barangkali!”

Arh, bagaimana bisa? Aku semakin dihimpit kebingungan. Aku berlari kesana kemari menyusuri koridor mencari Sarifah. Karena tak kutemukan, aku memutuskan untuk bersandar pada pilar dekat dengan pintu keluar kedatangan luar negeri. Mataku tetap jelalatan mencari sosok Sarifah. Tepat ketika aku melihat sosok wanita bergaun merah keluar dari pintu keluar, ponselku berdering. Tertera nama Ali -kakak Sarifah- di layar.

“Gimana Gun, kamu sudah bertemu Sarifah? Dimas sudah menanyakan kabar ibunya, nih.” tanya Mang Ali terdengar khawatir.

“Belum, Mang. Saya juga tidak tahu kenapa Sarifah belum keluar.” Jawabku dengan mata masih menatap sosok itu. Meski ia mengenakan kaca mata hitam, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa sosok itu adalah Sarifah.

“Sudah tanya ke petugas di sana, gak?” cecar Mang Ali lagi. Mataku masih mengekorinya. Hingga tepat dihadapanku, tak memedulikan Mang Ali, aku lantas mematikan ponsel dan menghampiri sosok itu.

”Sarifah …?” Aku menyebut sebuah nama. Sosok itu menoleh dan aku terkejut –lebih tepatnya terpelongo- atas apa yang aku lihat. Sarifah tampak berbeda. Dari jarak tak lebih dari 2 meter, aku bisa melihat bibirnya yang sensual bertambah sensual dengan sapuan lipstick berwarna merah menyala. Belum lagi make up tebal bak artis dangdut yang menutupi wajah polosnya.

Alih-alih menjawab, dengan tangan yang kukunya dikutek merah, meraih kaca mata hitamnya dan  mengerutkan keningnya.

“Pingko[3] a?” Tiba-tiba sebuah suara menyelinap dalam keterkejutanku. Seorang lelaki berwajah oriental, bertubuh gendut pendek datang dan langsung merangkul pinggang Sarifah. Sarifah tergeragap.

“Em ci wo[4]!” Jawab Sarifah. “Em sai lei ghoi la.[5]” Katanya lagi sambil berlalu meninggalkanku –yang masih dalam keterkejutan.

Butuh beberapa jenak untuk mencerna apa yang terjadi. Wanita itu benar Sarifah. Suaranya yang mengidentifikasi. Tapi siapa lelaki itu? Untung saja aku tak mengikutsertakan keluarga menjemput Sarifah. Dalam kebimbangan antara pulang atau tidak, terukir kemesraan antara aku dan Sarifah di langit yang tiba-tiba mendung. Bagaimana aku menjelaskan semua ini terhadap keluargaku? Kepada Dimas? Kalau begini jadinya, sungguh aku tak mengizinkan Sarifah merantau ke negeri beton. Tak akan!

[1] Siuce : Nona

[2] Amui : Adik perempuan

[3] PIngko : Siapa?

[4] Em ci wo : Gak tahu ya

[5] Em sai lei ghoi la : gak usah dipedulikan lah

RELATED ARTIKEL