fbpx

Tutup Aib Saudaramu

 

Seorang Muslim memiliki tanggung jawab terhadap Muslim lainnya yang ada di sekitarnya. Rasulullah sendiri menjelaskan bahwa ada enam perkara yang wajib ditunaikan oleh seorang Muslim terhadap Muslim lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim)

Demikian erat dan pentingnya sebuah ukhuwwah Islamiyah yang terjalin di antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya. Saking eratnya, Rasulullah menyebut bahwa sesama Muslim itu bersaudara. Atas dasar persaudaraan itulah ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan seseorang terhadap saudara Muslimnya yang lain. Rasulullah menjelaskan mengenai tanggung jawab dan kewajiban seorang Muslim terhadap saudaranya dalam sebuah hadits yang artinya,

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, “Muslim itu saudara(nya) muslim. Ia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya ke tangan musuh. Barangsiapa yang berkenan memenuhi hajat kebutuhan saudaranya, maka Allah pasti memenuhi hajatnya. Barangsiapa melepaskan suatu kesulitan muslim, maka Allah akan melepaskan darinya salah satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits tersebut disebutkan kewajiban dan tanggung jawab seseorang terhadap Muslim lainnya ada empat, yakni dia tidak boleh menyerahkan Muslim lain kepada pihak musuh. Dengan kata lain, seorang Muslim tidak boleh mengkhianati Muslim lainnya. Kedua, ketika kita memiliki kemampuan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup saudara seiman, maka bantulah mereka dan Allah akan menggantinya dengan menanggung semua kebutuhan hidup kita.

Tanggung jawab selanjutnya adalah kewajiban melepaskan kesulitan orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan. Membebaskan orang lain dari kesulitan dapat merayu Allah untuk menolong kesulitannya di hari Kiamat kelak. Terakhir, kita wajib menutupi aib, baik yang dengan sengaja kita ketahui seperti ornag tersebut bercerita langsung kepada kita, maupun dengan tidak sengaja kita ketahui, misalnya tak sengaja mendengar gunjingan orang lain tentang orang tersebut.

Aib adalah sesuatu yang memalukan yang seharusnya tak diketahui oleh orang lain. Hakikat seorang Muslim adalah suci dan bersih. Segala urusan yang berkaitan dengan seorang Muslim juga seharusnya hanya berkisar pada kebaikan saja. Namun, seiring berjalannya waktu, syaitan bekerja keras menghasut dan membisikinya dengan bujuk rayu untuk bermaksiat. Dan, nyatanya iman bisa melemah. Di saat lemahnya iman itulah ia termakan hasutan syaitan dan ia melakukan tindakan tak terpuji yang mengakibatkan aib pada dirinya.

Kewajiban dan tanggung jawab kitalah untuk menutupi aib tersebut. Entah dari mana dan dengan cara apa kita mengetahui aib tersebut, maka kita wajib memutus rantai penyebaran cerita aib tersebut. Cukuplah sampai di telinga kita saja. Jika ada orang yang bertanya kepada kita mengenai aib saudara itu, katakanlah, “Saya tidak tahu dan sebaiknya Anda juga tidak mencari tahu”. Jangan malah menyarankan orang yang bertanya tersebut untuk menanyakan ke orang lain atau bahkan menceritakan detailnya.

Pun halnya ketika kita mendapat selentingan kabar tentang seseorang. Janganlah kita mencoba mencari tahu lebih jelas dan bertanya ke banyak orang. Tutuplah telinga, kunci mulut, dan tahan keinginan untuk mencari tahu kabar tersebut. Anggap saja kabar tersebut bukanlah hal yang penting untuk mendapat perhatian kita.

Sayangnya, masih banyak praktik ghibah yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Aib seseorang yang belum tentu benar terjadi seolah menjadi bumbu penyedap dalam tiap obrolan. Mencari tahu aib seseorang yang tidak ada dalam perkumpulan tersebut dan mengomentarinya dengan begitu lihai seolah diri sendiri paling benar sepertinya sudah menjadi kebiasaan dan maklum adanya. Mereka yang melakukan praktik ghibah tersebut lupa bahwa di akhirat nanti, aibnya akan Allah buka dan dipertontonkan di depan seluruh manusia, dari Nabi Adam sampai manusia terakhir di bumi. Tak hanya sampai di situ, orang yang mereka gunjingan akan menuntut ganti rugi atas tindakan mereka di dunia terhadapnya. Allah akan memberikan pahala milik mereka kepada orang yang digunjingi dan apabila sudah tak ada lagi pahala untuk dibagi, maka dosa orang yang menjadi korban itu akan dipindahkan kepada mereka. Mereka inilah yang disebut dengan orang yang paling merugi di akhirat kelak. Rasulullah menjelaskan perkara tuntutan ganti rugi ini dalam sebuah hadits yang artinya,

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan (pahala) shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia sering mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan memukul orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim)

Allah berfirman dalam surah Al-Hujarat ayat 12 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Mencari-cari kesalahan dan aib seseorang bukanlah perbuatan yang terpuji. Allah yang Maha Suci dan terbebas dari segala kelemahan yang dimiliki oleh setiap manusia saja selalu menutupi aib hambaNya. Lantas mengapa kita, hamba Allah yang sama lemah dan sama-sama penuh kesalahan dengan orang kita zolimi masih saja merasa benar dan bersih dengan cara mencari aib sesama?

Selain metupi aib orang lain, kita juga wajib menutupi aib diri sendiri. Jangan sampai karena terlalu sibuk menutupi aib orang lain, aib sendiri menjadi bahan gunjingan orang sekitar. Pandai-pandailah menjaga lisan dan tingkah laku di manapun kita berada karena lidah dan perilaku yang selalu dibiarkan mengumbar apa yang tengah dirasakan dengan dalih kebebasan berekspresi suatu hari nanti akan menjerumuskan pemiliknya. Allah sudah menutupi aib hambanya, jangan sampai kita membongkar aib sendiri demi apapun.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dijelaskan bahwa pada suatu hari ada seseorang melakukan perbuatan maksiat pada malam hari. Kemudian pada pagi harinya ia berkata kepada manusia telah melakukan ini dan itu semalam. Lalu Rasulullah mengatakan, “Padahal Allah telah menutupinya dan pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.”

Menutupi aib dan kesalahan seseorang sama saja dengan menjaga harkat martabat dan harga diri orang tersebut. Kita telah menolongnya dari rasa malu dan cemooh khalayak ramai. Membantunya menutupi masa lalunya yang kelam berarti membantu namanya bersih seperti hakikat seorang Muslim. Betapa banyak orang yang mengurung diri, depresi hingga memutuskan untuk mengakhiri hidup karena tak kuasa menanggung malu lantaran aibnya terbongkar dan ramai menjadi pembicaraan orang banyak. Kalau sudah begini, akankah para pelaku ghibah dapat dituntut dengan tuduhan pembunuhan karakter yang mengakibatkan korbannya bunuh diri?

Pembaca, mari kita mengazamkan dalam hati untuk menjadi pemutus rantai ghibahan tentang aib seseorang demi menutup kebutuhan tersebut agar tak banyak orang yang mengetahuinya. Juga, tutuplah aibmu sendiri. Bertaubatlah dari kesalahan-kesalahan di masa lalu dan berusahalah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jangan karena Allah selalu menutupi aib kita, lantas kita bebas berbuat maksiat sekehendak hati. Nauzubillah min dzalik.

Penulis,
(Dessy Husnul Q)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL