
Seorang lelaki duduk di beranda rumahnya. Sore itu langit menguning, matahari menggantung rendah di ufuk barat, menorehkan warna jingga di cakrawala. Ia menatap bayangannya yang memanjang di tanah, seakan waktu ingin membisikkan sesuatu.
“Hari ini masih ada, tapi esok, siapa yang tahu?” gumamnya.
Di kejauhan, azan magrib berkumandang. Suaranya lembut, namun dalam, seolah mengetuk pintu hati yang lama terkunci. Lelaki itu menarik napas panjang. Ia teringat seorang sahabat yang wafat mendadak—pagi masih berbincang, sore telah terbujur kaku.
Kematian tak menunggu kesiapan.
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sejumlah uang. Bukan jumlah yang banyak, tapi cukup untuk menunaikan zakat fitrah bagi keluarganya. Ia teringat sabda Rasulullah:
“Puasa Ramadan tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kecuali dengan zakat fitrah.” (HR. Abu Dawud)
Betapa sering manusia menunda, seakan esok masih menjadi hak miliknya. Betapa sering hati tertipu, merasa masih punya waktu.
Tahun lalu, ia berniat menunaikan zakat fitrah di kampung halamannya. Ia ingin menyalurkannya sendiri, melihat senyum anak-anak yatim, menyentuh tangan para dhuafa yang menerima haknya. Namun, perjalanan tidak berjalan seperti yang ia rencanakan.
Kemacetan menahannya berjam-jam di jalan. Hujan turun deras, menyebabkan banjir di beberapa titik. Ia tiba di kampungnya saat Khatib Shalat Idul Fitri telah naik ke mimbar, dan kesempatan itu pun hilang. Ia menyesal. Bukan karena niatnya, tetapi karena ia lupa: zakat bukan untuk ditunda.
Allah berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103)
Membersihkan dan menyucikan. Seperti embun yang membasuh dedaunan di pagi hari. Seperti angin yang menerbangkan debu dari jendela yang lama tertutup.
Ia bangkit. Malam telah turun, namun hatinya terang.
Tidak akan ia biarkan hartanya menjadi beban di hari akhir. Tidak akan ia biarkan tangannya kosong di hadapan-Nya kelak. Ia ingin menjadi seperti Abu Bakar yang menyerahkan seluruh hartanya di jalan Allah. Seperti Umar yang membawa setengahnya. Seperti Utsman yang membangun sumur untuk mereka yang dahaga.
Sebab apa yang dikeluarkan karena Allah, tak akan hilang.
Sebab yang kita berikan di dunia, akan menjadi cahaya di akhirat.
Sebab usia adalah rahasia, dan sebelum waktu habis, sebelum segalanya terlambat—ia ingin menunaikan zakatnya. Sekarang juga.
Penulis: Qodrat SQ