fbpx

Rezeki Bukan Hanya Uang

Sahabat, apa definisi rezeki menurut Anda? Apa saja yang bisa dikategorikan sebagai rezeki? Apa saja bentuk rezeki? Apakah rezeki hanya uang?

Tidak salah jika Anda mengatakan bahwa uang, emas, tabungan, rumah, dan berbagai macam kemewahan lainnya sebagai bentuk rezeki. Pendidikan, pakaian, makanan, dan minuman yang cukup juga termasuk rezeki. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang belum Allah amanahi dengan banyak uang, emas, tabungan, dan sebagainya? Apakah mereka tidak memiliki rezeki? Sebutlah mereka yang menyambung hidupnya dengan mengais sisa-sisa sampah orang lain, yang mana rezeki mereka? Bukankah sulit bagi mereka untuk memiliki uang, emas, dan tabungan yang cukup? Bukankah untuk makan sehari-hari saja mereka harus bekerja tak kenal waktu? Apakah mereka tidak Allah berikan rezeki?

 

 

Syekh Muhammad Mutawwalli Sya’rawi, tokoh yang piawai menafsirkan Al-Qur’an berkebanggsaan Mesir mengatakan bahwa segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia dinamakan rezeki. Berdasarkan pendapat ini, rezeki tak melulu menyoal harta. Apapun yang dapat membantu keberlangsungan hidup manusia dapat termasuk rezeki. Ilmu, tenaga, kesehatan, akhlak terpuji, rupa yang menarik bahkan kebahagiaan termasuk rezeki; karunia dari Allah untuk hambaNYa.

Ada orang yang tidak Allah karuniakan harta yang berlimpah. Untuk menghidupi keluarganya ia harus membanting tulang dan hasilnya pun hanya cukup untuk menghidupi hari itu. Untuk hari esok, ia harus kembali berpeluh keringat. Rezeki orang ini terletak pada tenaganya yang kuat, sabarnya yang luas, dan ikhlasnya yang tangguh. Ia sabar mencari rezeki yang telah Allah tetapkan untuknya. Ia tangguh untuk bisa menerima takdirnya (tidak ditakdirkan untuk menjadi orang yang bergelimang harta), dan tubuhnya kuat untuk mencari rezekinya.

Ada orang yang Allah karuniakan ilmu yang luas dan mendalam. Ia gunakan ilmu tersebut untuk menyeru kepada amal ma’ruf nahi munkar. Ia gunakan pula ilmunya itu untuk mencari rezekinya dengan cara halal, mengajar misalnya. Maka rezekinya terletak pada keilmuannya yang luas. Melalui perantara ilmu yang ia miliki, Allah menurunkan rezeki kepada keluarganya dan juga ilmu pengetahuan bagi orang-orang yang diajarkannya.

Ada juga yang tidak Allah karuniakan ilmu yang dalam, harta yang berlimpah, tapi fisiknya sehat. Ia gunakan masa sehatnya itu untuk mencari rezeki dan belajar. Maka sehat itulah rezekinya. .

Tentunya, rezeki yang Allah anugerahkan kepada hambaNya selalu dapat membuat penerimanya bahagia dan bersyukur.  Lantas, bagaimana kalau ada orang yang memiliki banyak uang namun hidupnya penuh masalah? Tentu hidupnya tidak akan tenang dan senang. Masihkah bisakah kita menganggap harta kekayaan sebagai satu-satunya rezeki?

Sahabat, kekayaan tak serta merta dapat kita anggap sebagai rezeki. Berapa banyak orang yang kaya raya namun hidupnya penuh masalah? Berapa banyak orang yang memiliki banyak tabungan namun seumur hidupnya disibukkan untuk menjaga hartanya hingga lalai dengan Allah dan keluarganya? Berapa banyak orang yang propertinya bertebaran di mana-mana, tapi keluarganya tercerai berai?

Ada orang yang Allah berikan banyak harta, tapi ia lalai beribadah kepada Allah. Inilah yang disebut dengan istidraj (azab berwujud kenikmatan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 85 yang artinya, “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan azab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir”. Naudzubillah min dzalik.

Dalam surah itu Allah ingin memberitahu kepada hambaNya bahwa dunia dengan segala isinya, (dalam ayat ini digambarkan dengan harta dan anak-anak), bukanlah suatu anugerah . Allah menurunkan semua fasiltas yang ada di dunia ini dengan satu tujuan, yaitu beribadah kepada Allah. Namun, kenyataannya banyak yang lalai akan hal ini. Mereka lupa bahwa ada hak orang lain di dalam harta yang Allah berikan kepada mereka. Mereka habiskan sendiri harta tersebut untuk kepentingan mereka. Mereka juga terlalu sibuk mengurus harta; terus mencari cara untuk menjaga dan mengembangkan hartanya dan hal ini membuat mereka lupa beribadah kepada Allah.

Itulah yang dimaksud dengan istidraj. Allah terus memberikan mereka harta dan kemewahan duniawi yang begitu fana. Namun mereka tidak beribadah kepada Allah bahkan tega berbuat keji,. Atas semua perbuatan buruk inilah Allah akan mengazabnya. Naudzubillah min dzalik.

Jangan kita lupakan kisah Tsa’labah. Empat ayat sekaligus Allah turunkan untuk mengingatkannya. Tsa’labah adalah seseorang yang hidup di zaman Rasulullah. Berulang kali ia  meminta Rasulullah untuk mendoakannya agar Allah memberikannya banyak harta namun berkali-kali pula Rasulullah menolaknya sampai Rasulullah mengatakan, ”Apakah kamu tidak senang menjadi manusia seperti Nabi Allah? Demi Zat yang menguasai diriku, andaikan aku ingin agar gunung itu berjalan di sampingku sebagai emas dan perak, niscaya ia melakukannya.”

Demi meyakinkan Rasulullah, Tsa’labah pun mengatakan, ”Demi Zat yang telah mengutusmu dengan hak. Jika engkau memohon kepada Allah lalu Dia memberiku harta kekayaan, niscaya aku akan memberikan hak kepada setiap orang yag berak menerimanya.”

Rasulullah pun memegang janjinya dan mendoakan agar Allah memberikan Tsa’labah harta kekayaan. Allah mengabulkan doa Rasulullah dengan memberikannya seekor unta dan domba. Tsa’labah dengan sigap mengurus hewan ternaknya setiap hari hingga peliharaannya itu berkembang biak sangat banyak. Ia pun harus menyingkir dan tinggal di lebah dekat Madinah. Awalnya ia masih bisa menunaikan solat berjamaah. Namun karena kesibukannya, ia tak lagi berjamaah di Madinah. Hingga akhirnya ia meninggalkan solat Jumat. Rasulullah menyadari ada yang aneh dengan Tsa’labah. Rasulullah pun menanyakan kabar Tsa’labah kepada dua pengendara yang ditemuinya. Mereka menceritakan soal ternak Tsa’labah dan Rasullullah terkejut hingga bersabda, “Aduh celaka Tsa’labah. Aduh celaka Tsa’labah, celaka Tsa’labah.”

Tak hanya sampai di situ, Tsa’labah juga kikir. Ia tidak membayarkan zakatnya. Ia lupa dengan janjinya dulu ketika minta didoakan Rasullah bahwa ia akan rajin bersedekah. Allah menurunkan surat At-Taubah ayat 75-77 sebagai sindiran bagi orang-orang yang sebelumnya berjanji akan bersedekah apabila diberikan harta oleh Allah namun mereka ingkar setelah doanya terkabul.

Singkat cerita, ada salah seorang kerabat Tsa’labah yang mengabarkan hal itu kepada Tsa’labah. Ia menjadi panik dan bergegas menemui Rasulullah untuk memberikan zakatnya. Namun Rasulullah menolaknya, ”Sesungguhnya Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Kemudian Tsa’labah menyesal dan melaburi kepalanya dengan tanah. Lalu Rasulullah berkata, ”Inilah kesalahanmu. Aku telah memerintahkan sesuatu kepadamu, tetapi engkau tidak mau mematuhiku.” Hal ini terjadi sampai pada masa pemerintahan Khalifaurrasyidin.

Wahai sahabat, inilah contoh  di zaman Rasulullah betapa kekayaan sering membuat pemiliknya tergelincir tesesat hingga mendatangkan  azab kepada mereka yang menuhankan harta. Jelas harta kekayaan bukan satu-satunya rezeki dari Allah. Seperti yang telah dikatakan oleh  Syekh Muhammad Mutawwalli Sya’rawi di atas, rezeki adalah sesuatu yang mendatagkan manfaat. Rezeki merupakan harta yang disedekahkan dan bermanfaat bagi banyak orang. Namun harta yang hanya mendatangkan banyak kemudhorotan, maka itu bisa dikatakan sebagai azab. Selain harta, Allah juga menurunkan rezeki berupa ilmu, tenaga, kesehatan, keluarga yang rukun, anak yang sholeh/sholehah, tetangga dan lingkunga rumah yang baik, pekerjaan yang selalu lancar, rekan kerja yang baik, pimpinan yang pengertian dan mengayomi, dan lain sebagainya. Semua itu Allah berikan kepada kita sebagai sarana hambaNya untuk terus bersyukur dengan keadaan kita meskipun mungkin harta kita tak banyak. Semua itu merupakan  anugerah untuk kita agar terus bersyukur kepada Allah. Bukankah orang yang terus bersyukur akan Allah tambahkan kenikmatannya?

Kita bisa juga menjadi rezeki bagi orang lain; memaksimalkan kemampuan yang dimiliki agar   bermanfaat bagi orang lain. Rasulullah telah menjelaskan dalam haditsmya, ”Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani). Nah, sekarang, sudahkah kita bersedekah dengan rezeki yang kita miliki selain harta? Sudahkah kita menjadi pribadi yang menyenangkan bagi orang lain? Sudahkah kita berbagi ilmu kepada lingkungan kita? Seberapa sering kita ikut kerja bakti di lingkungan rumah kita menyedekahkan tengaa? Sebermanfaat apakah kita bagi orang lain? Sudahkah kita menjadi rezeki bagi orang lain? (DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL