fbpx

Proses Turunnya Al Quran dan Bukti Kemujizaatannya

PRoses Turunnya Al Qur'anPengertian Al Qur’an

Adapun definisi al Qur’an secara etimologis, terdapat perbedaan pendapat antara ulama’ :

  1. Imam Syafi’i(wafat 204H) mengatakan : “kata al Qur’an tidak menggunakan hamzah, melainkan dengan roo’ yang panjang, maka dibaca al Quraan bukan al Qur’an, dan itu adalah nama khusus yang diberikan oleh Allah SWT untuk kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kata ini bukan akar kata dari kata manapun, sebagaimana kata Injil dan Taurat”.
  2. Imam Al Farra’ (wafat 207H) : “kata al Qur’an juga tidak memakai hamzah, namun ia berasal (musytaq) dari kata Qariinah, berarti petunjuk/indikator. Karena setiap ayat dalam al Qur’an merupakan petunjuk/indikator bagi ayat yang serupa lainnya”,
  3. Imam Al Asy’ari (wafat 324H) : “kata al Qur’an juga tidak memakai hamzah, berasal (musytaq) dari kata Qarana yang berarti menggabungkan. Karena al Qur’an menggabungkan ayat-ayat dan surah-surah dalam al Qur’an menjadi 1 mushaf”.
  4. Az-Zajjaj (wafat 311H) : “Kata al Qur’an berhamzah, berasal dari kata Qara’u yang artinya penghimpunan, karena al Qur’an menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab sebelumnya”.
  5. Al-Lihyaani (wafat 215H) : “Kata al Qur’an berhamzah, berasal dari kata Qara-a yang berarti bacaan.

Dari sejumlah pendapat diatas, nampaknya yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat terakhir, yaitu kata al Qur’an mengandung arti bacaan atau yang dibaca. Lafal al Qur’an berbentuk isim masdar dan mengandung arti isim maf’ul. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Qiyamah : 16-18.

Sementara pengertian al Qur’an secara terminologis adalah : Wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, diawali dengan surah al Fatihah dan diakhiri dengan surah Annaas, merupakan mu’jizat terbesar beliau, lafal dan maknanya dari Allah SWT, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya. ([1])

Pengertian Turunnya Al-Qur’an

Turunnya Al-Qur’an sering diistilahkan dengan Nuzulul Qur’an. Pengertian turunnya al Qur’an hendaknya dapat difahami secara proporsional, agar tidak keliru dalam memahami, dan tidak dapat disamakan dengan proses turunnya suatu benda yang memiliki berat dan jenis tertentu. Karena al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang memiliki sifat yang sama dengan Allah SWT.

Menurut Zarqani, kata nuzul lebih tepat jika dimaknai dengan i’laam yang artinya pemberitahuan. Karena al Aqur’an bukan wujud tertentu, melainkan Firman Allah yang disampaikan (diberitahukan) kepada penduduk langit, lalu disampaikan (diberitahukan) oleh Jibril (selaku yang diberi mandat oleh Allah) kepada Nabi Muhammad SAW. Kalau kata Nuzul diterjemahkan dengan turun, maka al Qur’an berpindah dari Lauhul Mahfuzh kepada Rasulullah SAW.

Proses Turunnya Al-Qur’an

Turunnya Al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan dari Allah SWT kepada alam tingkat tinggi (samawi) tentang isi al Qur’an secara keseluruhan, sedangkan turunnya Al-Qur’an yang kedua kali adalah pemberitahuan tentang isi al Qur’an secara bertahap sesuai dengan kebutuhan.

Turunnya Al-Qur’an sekaligus

Allah SWT Berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] : 185 : yang artinya : “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an”. Dan Allah SWT Berfirman : yang artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar”.  : (QS. Qodar : 1)

Terdapat sejumlah pendapat terkait proses turunnya al Qur’an. Dari sejumlah pendapat tersebut : pendapat yang rojih (kuat) adalah : bahwa Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia pada malam qadar sekaligus. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur dalam kurun waktu duapuluh tiga tahun sejak awal penurunannya di Makkah setelah kenabian.

Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitabnya Mustadrak  dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Diturunkannya Al-Qur’an sekaligus ke langit dunia pada malam qadar kemudian diturunkan secara berangsur-angsur dalam kurun waktu duapuluh tahun. Imam Hakim berkata bahwa hadits ini shahih menurut syaikhain.

Imam Nasa’i telah mengungkapkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata :  “Al-Qur’an diturunkan ke baitul ‘Izzah di langit dunia, kemudian Jibril membawanya turun ke hadapan Nabi Muhammad SAW. Sanad hadits ini, menurutnya shahih.”

Hikmah diturunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur selama 23 tahun, antara lain :

  1. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Furqaan ayat 32, agar Rasulullah SAW dapat menyerap isi kandungan al Qur’an, sedikit demi sedikit. Karena Rasulullah SAW adalah seorang ummy, yaitu tidak dapat membaca dan menulis. Maka sulit bagi Rasulullah SAW mencatat wahyu yang turun jika diturunkan sekaligus.
  2. Agar sahabat dapat menghafalnya dengan baik. Karena dimasa itu belum dikenal sistem penulisan. Sahabat hanya mendengar dari Rasulullah SAW beberapa ayat yang diturunkan dan mereka langsung menghafalnya tanpa menulisnya dalam lembaran kertas, kecuali hanya  juru tulis Rasulullah SAW yang menulisnya.
  3. Agar syariat dapat diterapkan secara bertahap. Karena jika al Qur’an diturunkan sekaligus, sangat sulit bagi sahabat untuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan, yang mengandung adanya kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan.
  4. Disamping itu, syariat Islam juga ada yang diturunkan secara bertahap, seperti pelarangan minum arak, sehingga berlaku hukum nasikh dan mansukh (penghapusan hukum), mengingat umat Islam kala itu telah memiliki kebiasaan minum minuman keras (arak) yang telah mendarah daging, hingga sulit dilarang sekaligus, maka diturunkan hukum pelarangan secara bertahap, yang diawali dengan penjelasan manfaat dan mudhoratnya, lalu hukum tersebut dihapus (mansukh) dan diganti dengan pelarangan pada waktu-waktu tertentu (saat akan mendirikan sholat), dan terakhir pengharaman secara keseluruhan. Begitu juga proses pengharaman riba, melalui tahapan yang sama.

Al Qur’an adalah Sumber Hukum sekaligus Mu’jizat bagi Nabi Muhammad

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.

Bagian-bagian Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-’Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr. Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.

Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an). Masing-masing hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub’u (seperempat), an-nisfu (seperdua), dan as-tsalatsah (tiga perempat).

Selanjutnya Al-Qur’an dibagi pula dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap satu ruku’ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku’, sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’. Nisf Al-Qur’an (tanda pertengahan Al-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”.

Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara ([2]), antara lain:

  1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
  2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.
  3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.
    Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.
  4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.
    Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril.

Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode:

Pertama : Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.

Kedua : Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.

Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah

Makkiyah

Madaniyyah

  1. Ayat-ayatnya pendek-pendek
  2. Diawali dengan yaa ayyuhan-nâs (wahai manusia)
  3. Kebanyakan mengandung masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi)
  1. Ayat-ayatnya panjang-panjang
  2. Diawali dengan yaa ayyuhal-ladzîna âmanû (wahai orang-orang yang beriman).
  3. Kebanyakan tentang hukum-hukum agama (syariat), orang-orang yang berhijrah (Muhajirin) dan kaum penolong (Anshar), kaum munafik, serta ahli kitab.

Ayat Al-Qur’an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah 5 ayat pertama surat Al-’Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW 40 tahun.([3])

Kodifikasi Al-Qur’an
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang.
Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tsb untuk membedakannya dari yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur’an. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur’an juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tsb berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna diturunkan dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari.

Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.

Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’an
Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Hudzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’ab, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan ‘Amr bin ‘Ash. Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.

Kenapa Al-Qur’an Tidak Dibukukan Dalam Satu Mushaf (Pada Masa Nabi) ?

Pengumpulan Al-Qur’an tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan melalui beberapa masa, dimana kemudian menjadi satu mushhaf yang utuh. “Kenapa Al-Qur’an pada masa Nabi SAW tidak dikumpulkan dan disusun dalam bentuk satu mushhaf?

Pertama: Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara keseluruhannya selesai.

Kedua: Sebagian ayat ada yang dimansukh (dihapuskan) . Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan datam satu buku.

Ketiga: Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
Keempat: Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat.

Kelima: Tidak ada motifasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam ada dalam keadaan baik, ahli baca qur’an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada; banyaknya para hafizh yang gugur, sehingga ada kekhawatiran Al-Qur’an akan lenyap.

Kesimpulan: Kalau Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushhaf, sedangkan situasi sebagaimana yang tersebut di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami perubahan dan pergantian selaras dengan terjadinya nasakh (ralat) atau munculnya sebab, disamping perlengkapan menulis tidak mudah didapat.

Kondisi tidak akan membantu untuk melepaskan mushhaf yang lebih dahulu dan harus berpegang pada mushhaf yang baru karena tidak mungkin setiap bulan ada satu mushhaf yang mencakup tiap ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Namun setelah masalahnya stabil yaitu dengan berakhirnya penurunan, wafatnya Rasul, tidak lagi diralat, dan telah diketahuinya susunan ayat dan surah, maka mungkinlah dibukukan menjadi satu mushhaf. Dan inilah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a.

Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab secara terperinci.

Pertama: Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan Al-Qur’an padahal masalahnya sangat baik, lagi pula diwajibkan oleh Islam?

Jawabnya adalah: Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah dalam usaha menghayati dan menghafal Al-Qur’an, cukup dengan hafalan yang tidak mantap dan khawatir kalau-kalau mereka hanya berpegang dengan apa yang ada pada mushhaf yang akhirnya jiwa mereka lemah untuk menghafal Al-Qur’an. Minat untuk menghafal dan menghayati Al-Qur’an akan berkurang karena telah ada tulisan dan terdapat dalam mushhaf-mushhaf yang dicetak untuk standar membacanya, sedangkan sebelum ada mushhaf-mushhaf mereka begitu mencurahkan kesungguhannya untuk menghafal Al-Qur’an.
Dari segi yang lain bahwasanya Abu Bakar Siddiq adalah benar-benar orang yang bertitik-tolak dari batasan-batasan syari’at, selalu berpegang menurut jejak-jejak Rasulullah SW, dimana ia khawatir kalau-kalau idenya itu termasuk bid’ah yang tidak dikehendaki oleh Rasul Karena itulah maka Abu Bakar mengatakan kepada Umar: “Mengapa saya harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW? Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan yang membawanya untuk menyalahi sunnah Rasulullah SAW serta membawa kepada bid’ah.

Tetapi tatkala ia menganggap bahwa hal tersebut adalah sangat penting dan pendapat tersebut pada hakikatnya adalah merupakan suatu sarana yang amat penting demi kelestarian kitab Al-Qur’an dan demi terpeliharanya dari kemusnahan dan perubahan, lagi pula ia meyakini bahwa hal tersebut tidaklah termasuk masalah yang menyalahi ketentuan dan bid’ah yang sengaja dibikin-bikin, maka ia bertekad baik untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Akhirnya ia bisa memuaskan Zaid mengenai masalah ini sehingga Allah melapangkan dadanya dan Zaid tampil untuk melaksanakan usaha yang amat penting ini. wallahu alam.

Kedua: Kenapa Abu Bakar dalam hal ini memilih Zaid bin Tsabit sebagai Pengumpul al Qur’an dari shahabat lainnya?.

Jawabnya adalah: Zaid adalah orang yang betul-betul memiliki pembawaan/kemampuan yang tidak dimiliki oleh shahabat lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an, ia adalah orang yang hafal Al-Qur’an, ia seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah SAW, ia menyamakan sajian yang terakhir dari Al-Qur’an yaitu dikala penutupan masa hayat Rasulullah SAW.

Disamping itu ia dikenal sebagai orang yang wara’ (selalu berhati-hati), sangat besar tanggungjawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya dan taat dalam agamanya. Lagi pula ia dikenal sebagai orang yang tangkas (IQ-nya tinggi). Demikianlah kesimpulan kata-kata Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia memanggilnya dengan mengatakan: “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami ragukan. Anda adalah penulis wahyu Rasul”.

Dengan beberapa sifat dan keistimewaan di atas, Abu Bakar Shiddiq memilih dan menunjuknya sebagai pengumpul Al-Qur’an. Adapun alasan yang menyatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah seorang yang sangat teliti, dapat dilihat dari kata-katanya: “Demi Allah, andaikata saya ditugaskan untuk mem indahkan sebuah bukit tidaklah lebih berat jika dibandingkan degan tugas yang dibebankan kepadaku ini”. (Al-Hadits)

BAG. 2

BUKTI KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN

Al Qur’an merupakan mu’jizat Nabi Muhammad SAW yang paling tinggi, paling besar dan paling ampuh untuk menaklukkan orang-orang yang ingkar terhadap kenabian beliau.  Sekalipun Nabi Muhammad memiliki banyak mu’jizat, akan tetapi beliau tidak menggunakan mu’jizat-mu’jizat yang lain sebagai tantangan terhadap orang-orang yang mengingkari kenabian beliau.  Oleh karena itu kemu’jizatan Al Qur’an merupakan bukti kenabian Muhammad SAW, semenjak turunnya Al Qur’an sampai Hari Kiamat nanti.  Sebab mu’jizat Al Qur’an adalah mu’jizat yang dapat dicerna indera dan dibuktikan oleh seluruh manusia di setiap masa sampai Hari Kiamat.  Dengan demikian, wajib bagi kaum Muslimin untuk mengimani al-Qur’an. Ia merupakan kitab suci dan pedoman hidup di atas bumi ini.

Keimanan terhadap Al Qur’an memiliki konsekuensi yang lebih jauh lagi, yakni menerapkan dan mengamalkan Al Qur’an.  Allah SWT berfirman dalam salah satu ayat Al Qur’an bahwa seseorang baru dikatakan beriman bila ia menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai hakim (pemutus perkara) dalam perkara yang diperselisihkan (lihat An Nisaa : 65) yang artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman yang artinya: “Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia.  Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.  (Al Hasyr : 7).

Ayat ketujuh surat Al Hasyr di atas mewajibkan kaum muslimin untuk mengambil dan mengamalkan apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW, baik Al Qur’an itu sendiri maupun As Sunnah.  Sebab kata “maa” (apa saja) dalam ayat itu bersifat umum, mencakup Al Qur’an dan As Sunnah.

Kedua ayat di atas termasuk di antara dalil syar’i yang mewajibkan kaum muslimin untuk menerapkan dan mengamalkan syari’at islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.  Kewajiban ini mencakup keseluruhan syari’at Islam, tidak sebagian-sebagian, sebagaimana firmanNya dalam QS Al Baqarah : 208. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Berdasarkan hal ini, kaum muslimin harus memiliki sikap yang benar terhadap Al Qur’an.  Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa mereka harus pula mampu memahami cara yang benar dalam menafsirkan Kalamullah ini.  Cara yang benar dalam menafsirkan ini harus berlaku sepanjang zaman.

Mu’jizat Al Qur’an dari sisi bahasa adalah hal yang berlaku sepanjang masa.  Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab saja yang semurni-murninya, tidak kemasukan bahasa asing apapun juga.  Karena itu, siapapun yang hendak memahami Al Qur’an ia harus memahami bahasa Arab.

Adapun mengenai pemahaman dan kreasi pengembangannya dapat berubah, terutama jika pemahaman itu berkaitan dengan satu atau beberapa ayat, dan si penafsir sendiri mengetahui dengan jelas terjadinya apa yang diisyaratkan oleh ayat tersbut di tengah-tengah kehidupan baru, seperti kemajuan corak peradabandan lain-lain.  Hal-hal semacam itu tidak tetap dalam segala jaman akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan keadaan.  Misalnya perubahan politik, ekonomi, keuangan, perdagangan dan hubungan internasional, baik di masa damai maupun perang.  Selain itu juga akibat terjadinya perubahan bentuk-bentuk hubungan sosial antara pria dan wanita, peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan, serta munculnya berbagai masalah baru yang belum dikenal sebelumnya.

Dengan demikian di zaman ini, hal utama yang harus diperhatikan adalah meletakkan posisi Al Qur’an di tempat yang seharusnya.  Akal manusia dapat berkembang dalam memahami nash-nash Al Qur’an sejalan dengan fenomena kemajuan peradabannya, namun ia harus tetap berada dalam batas-batas makna yang ditunjukkan oleh nash-nash itu sendiri dan dalam batas pengertian ‘penafsiran’ yang harus dijaga sebaik-baiknya agar jangan sampai terseret kepada makna atau pengertian yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan nash-nash Al Qur’an.

I’JAZ AL-QUR’AN

1. Definisi

Kata mu’jizat/I’jaz diadopsi dari bahasa Arab Ø£Ø¹Ø¬Ø² (a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Isim fa’ilnya adalah Ù…عجز (mu’jiz). Sementara kemampuan untuk melemahkan pihak lain amat menonjol sampai lawan pun diam seribu bahasa, tidak bias menandingi kemampuan ini, itulah yang disebut mu’jizat. ([4]) Banyak ulama yang mendefinisikan mu’jizat ini. Namun demikian, definisi yang mereka ketengahkan tidak jauh berbeda. Esensi yang diinginkan cenderung sama.

Sementara Mu’jizat atau I’jaz secara terminologi adalah kemampuan luar biasa yang terjadi kepada seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya terhadap risalah yang dibawanya.([5])

2. Bukti-bukti kemukjizatan Al-Qur’an

Ketika Al-Qur’an diturunkan, Bangsa Arab dapat mengetahui kemukjizatan Al-Qur’an melalui fitrah (kemampuan yang dibawa sejak lahir yang mereka miliki), tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Mengapa demikian? Hal ini dapat dimaklumi karena kemampuan bahasa mereka pada masa itu masih tinggi, dan belum banyak berbaur dengan bangsa non Arab. Diantara bukti konkrit yang dicatat sejarah adalah rasa heran dan ta’ajjub Al-Walid Bin Al-Mughirah (salah seorang tokoh Quraisy),  setelah mendengar keindahan bahasa Al-Qur’an. Bahkan diantara mereka (musyrikin Quraisy) ada yang langsung sujud setelah mendengar bacaan ayat Al-Qur’an.

Setelah banyak berbaur dengan bangsa non Arab ( terutama setelah adanya ekspansi para Khalifah keluar Jazirah Arab ) kemampuan mereka dalam bidang bahasa, menurun. Orisinalitas bahasa yang mereka miliki mulai dipertanyakan karena banyak kemasukan unsur-unsur asing. Hal tersebut berimbas pada menurunnya kemampuan mereka dalam menangkap segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an.

Jika orang Arab keadaannya seperti itu, bagaimana dengan yang non Arab? Padahal cara yang tepat untuk mencapai sisi kemukjizatan Al-Qur’an adalah melalui dzauq (kemampuan merasakan keindahan bahasa) yang tinggi. Oleh karena itu perlu adanya bukti-bukti konkrit agar  dimensi kemukjizatan Al-Qur’an tampak lebih jelas. Ini bukan berarti kita  meragukan kemukjizatannya, tapi bukti-bukti tersebut adalah sebagai jembatan bagi orang-orang yang tidak mampu untuk mencapai segi kemukjizatan Al-Qur’an melalui fitrah dan dzauq. Berapa banyak orang Arab pada periode turunnya Al-Qur’an mengingkari kemukjizatannya, seperti Al-Walid bin Al-Mughirah diatas, padahal mereka mengakui adanya unsur I’jaz al-Qur’an pada waktu itu. Namun karena cahaya keimanan belum merasuk kedalam dada mereka, bukti yang tampak jelas itu tetap mereka ingkari.

Untuk mempermudah pemahaman tentang bukti-bukti kemukjizatan Al Qur’an, Prof. Dr. Muh. Quraish Syihab menyebutkan tiga hal penting yang harus diperhatikan, antara lain:

PertamaKepribadian Nabi Muhammad SAW

Muhammad SAW lahir di Mekkah dalam keadaan yatim, dibesarkan dalam keadaan miskin, tidak belajar pada suatu lembaga pendidikan, tidak pandai bahkan tidak dapat membaca dan menulis, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an :“Engkau tidak pernah membaca sebelumnya (sebelum Al Qur’an) satu kitab pun, tidak juga pernah menulis sesuatu (kitab atau tulisan) dengan tangan kananmu. Andaikata  engkau pernah (membaca dan menulis) maka pasti benar-benar ragu orang-orang yang mengingkarimu (Q.S.Al Ankabut [29]: 48).

Selain itu, lingkungan tempat hidup beliau  pun masih terbelakang. Namun kesemua faktor tersebut tidak membawa dampak negatif sedikitpun pada keutuhan pribadinya. Bahkan sebaliknya, sejumlah ahli dari berbagai agama dan disiplin ilmu – seperti Thomas Carlyle penulis buku “ On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History, Nazmi Luke dengan karyanya “ Muhammad, ar-Rasul wa ar-Risalah” dan para pakar lainnya –  bersepakat bahwa Muhammad SAW  adalah satu diantara manusia teragung, bahkan manusia teragung yang dikenal sejarah. Semua ini merupakan bukti bahwa beliau adalah utusan Allah SWT.([6])

Kedua : Kondisi Masyarakat Saat Turunnya Al Qur’an

Kemampuan ilmiah masyarakat Arab pada saat turunnya Al Qur’an amatlah sederhana, bahkan kemampuan tulis baca dikalangan mereka sangat minim. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan Annasai disebutkan bahwa Nabi SAW, bersabda: “ Kami umat yang ummiy, kami tidak pandai menulis, tidak juga pandai berhitung”.

Masyarkat non Arab pada waktu itu relatif lebih maju. Namun pengetahuan yang mereka peroleh bukan atas dasar metode ilmiah yang sistematik atau percobaan-percobaan dalam dunia empiris. Semua itu kemudian mengantarkan ilmuan untuk berkata bahwa masyarakat manusia secara umum belum lagi memiliki ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.

Memperhatikan kondisi masyarakat dan perkembangan pengetahuan pada masa turunnya Al Qur’an  membawa kita pada bukti kemukjizatan al Qur’an. Betapa kitab ini memaparkan hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal kecuali setelah berkembangnya ilmu pengetahuan.

Ketiga : Masa dan Cara Kehadiran Al Alqur’an

Kalau kita telusuri sejarah turunnya al Qur’an, dapat kita temukan dua hal penting yang menjadi bukti kemukjizatannya, dan bukti bahwa kitab suci ini bukanlah buatan Nabi Muhammad SAW.  Kedua  hal tersebut adalah  :

a.Kehadiran  wahyu Al quran diluar kehendak Nabi Muhammad.

b.Kehadirannya secara tiba-tiba.

3. Tujuan dan Peran Mu’jizat

Tujuan dari mu’jizat pada hakikatnya adalah untuk meyakinkan manusia bahwa orang yang membawa mu’jizat adalah benar-benar seorang nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah benar-benar berasal dari sisi Allah SWT.  Oleh karena itu, kemu’jizatan Al Qur’an merupakan bukti nyata dan meyakinkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar seorang Nabi dan rasul, sekaligus membuktikan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah yang mutlak kebenarannya.

Mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka diibaratkan sebagi ucapan Tuhan : “apa yang dinyatakan sang Nabi adalah benar. Dia adalah utusan Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat ini”.

Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan sebagaimana di kemukakan diatas, namun dari segi agama, ia sama sekali tidak di maksudkan untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang di tantang. Mukjizat di tampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran ilahi yang di bawa oleh maing-masing Nabi. Jika demikian halnya, maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi:

Pertama, bagi yang telah percaya pada Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Ia tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya befungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinan akan kekuasaan Allah swt.

Kedua, Para Nabi sejak Adam as hingga Isa as, diutus untuk suatu kurun tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan oleh umatnya. Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi mereka ?. Jika tujuan mukjizat hanya untuk  meyakinkan umat setiap nabi, maka boleh jadi umat yang lain dapat melakukannnya. Kemungkina ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya berada dalam jangkaun hukum-hukum (Allah yang belaku di) alam. Namun, ketika hal itu terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh masyarakat nabi yang bersangkutan.[[7]]

Jadi tujuan dan fungsi mukjizat bukanlah untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan suatu kaum dimana seorang nabi diutus, tapi sebagai bukti yang nyata bagi kebenaran risalah yang di bawanya.

Di sisi lain, Al-Qur’an mengharapkan untuk ditandingi. Hal ini membuktikan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang benar. Al-qur’an juga mampu merubah karakter umat dari kondisi yang tidak beradab ke perilaku positif dan budi pekerti yg luhur.

Peran lain dari Al-Qur’an adalah untuk menumbangkan dan menghancurkan kepercayaan manusia penyembah berhala yang marak pada waktu itu.

Jika kita sebutkan secara rinci tentang tujuan i’jazul Qur’an, maka dapat di sebutkan di antaranya yaitu :

  1. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi dan Rasul Allah. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia dan untuk mencanangkan tantangan supaya menandingi al-Qur’an kepada mereka yang ingkar.
  2. Membuktikan bahwa kitab al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad saw. Sebab pada kenyataannya mereka tidak bisa membuat tandingan seperti al-Qur’an sehingga jelaslah bahwa al-Qur’an itu bukan buatan manusia.
  3. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia, karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti al-Qur’an, yang telah ditantangkan kepada mereka dalam berbagai tingkat dan bagian al-Qur’an.
  4. Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya. Mereka ingkar tidak mau beriman dan sombong tidak mau menerima kitab suci itu.
  1. Tahapan-tahapan dan Kadar Mu’jizat

A.    Tahapan-Tahapan Mu’jizat

Manna’ al-Qaththan dalam bukunya “Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an”,[[8]] menyebutkan bahwa ada tiga tahapan tahaddi/Mu’jizat Al-Qur’an yang dipergunakan Rasulullah SAW untuk menguatkan risalahnya, yaitu:

Tahapan pertama adalah Al-Qur’an meminta kepada orang Arab, A’jam, jin dan manusiauntuk menandingi Al-Qur’an secara utuh. Hal ini dengan tegas disebutkan dalam al-Qur’an Surat Al-Isro ayat 88, yang artinya: Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.

Ibnu Katsir menyebutkan (menafsirkan ayat di atas) bahwa mustahil bagi makhluk untuk menandingi kalam penciptanya, meskipun mereka merkumpul, bahu membahu untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an itu.[[9]] Dengan demikian, menandingi kehebatan al-Qur’an adalah suatu hal yang sangat mustahil untuk dilakukan. Itulah bukti bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Rasulullah Muhammad SAW.

Tahapan yang kedua yang menunjukkan kehebatan dan kemu’jizatan Al-Qur’an adalah tantangan Al-Qur’an kepada manusia untuk membuat sepuluh surat saja yang semisal dengan al-Qur’an. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 13 yang artinya: bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.

Ayat ini jelas-jelas telah menurunkan kuantitas tantangannya yang semula seluruh al-Qur’an menjadi sepuluh surat saja untuk dibuat yang semisal dengannya. Namun sekali lagi, hal ini mustahil untuk mereka lakukan.

Tahapan yang terakhir adalah tantangan Al-Qur’an kepada manusia untuk membuat satu surat saja yang semisal dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menyebutkan hal ini dalam surat al-Baqarah ayat 23 yang artinya: dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW.

Demikianlah tahapan-tahapan mu’jizat al-Qur’an yang merupakan tahaddi kepada makhluk untuk menandinginya, jika diringkas ada dua macam, yaitu:

a. Ajakan bertanding secara umum.

Ajakan ini disediakan untuk semua golongan seperti yang didengungkan ayat 88 dari surat Al-Isra’

b. Ajakan bertanding secara khusus.

Ajakan bertanding khusus ini ada dua macam :

  1. Yang bersifat kully (keseluruhan), yaitu ajakan bertanding dengan seluruh Al-Qur’an mengenai hukum-hukumnya, keindahanya, balaghohnya dan kejelasannya.
  2. Yang bersifat juz’i (bagian), yaitu ajakan bertanding dengan semisal satu surat Al-Qur’an, walaupun dari surat yang pendek seperti surat Al-Kautsar.

B.     Kadar Mu’jizat

Terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang kadar kemu’jizatan al-Qur’an. Sedikitnya terdapat tiga pendapat tentang kadar kemu’jizatan al-Qur’an ini, yaitu:[[10]]

  1. Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa seluruh al-Qur’an adalah mu’jizat tanpa terkecuali, bukan sebagiannya ataupun dengan setiap suratnya secara lengkap.
  2. Sebagian ulama berpendapat sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat berdasarkan firman Allah yang artinya: Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. (QS. At-Thur : 34)
  3. Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat. Pendapat ini berpegang pada ayat-ayat yang berhubungan dengan seberapa banyak kadar al-Qur’an., untuk bias disebut sebagai mu’jizat, dan ini ada kaitannya dengan tantangan yang dilontarkan Al-Qur’an kepada ahli sastra pada waktu itu.

Namun demikian, kita tidak berpendapat bahwa kemu’jizatan itu hanya terletak pada kadar-kadar tertentu. Kita dapat menemukan dan merasakan pada bunyi-bunyi hurufnya dan alunan kata-katanya, sebagaimana kita dapatkan pada ayat-ayat dan surat-suratnya, bahwa al-Qur’an adalah kalamullah.[[11]]

5. Macam-macam Mu’jizat al Qur’an

Dalam menjelaskan macam-macam I’jazil Qur’an para ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing, di antaranya yaitu :

Dr. Abd. Rozzaq Naufal, dalam kitab Al-I’jazu al-Adadi Lil Qur’anil Karimmenerangkan bahwa i’jazil Qur’an itu ada 4 macam, adalah sebagai berikut :

  1. Al-I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra Arab.
  2. Al-I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syari’at Islam.
  3. Al-I’jazul Ilmi yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
  4. Al-I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan segi quantity / matematis, statistik yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang.

Imam al-Khotthoby (wafat 388 H) dalam buku al-Bayan fi I’jazil Qur’an mengatakan bahwa kemukjizatan al-Qur’an itu terfokus pada bidang kebalaghahan (keindahan bahasa) saja.

Imam al-Jahidh (w. 255 H) di dalam kitab Nudzumul Qur’an dan Hujajun Nabawiyah serta al-Bayan wa at-Tabyin menegaskan bahwa kemukjizatan al-Qur’an itu terfokus pada bidang susunan lafal-lafalnya saja, maksudnya, i’jazul Qur’an itu hanya satu macam saja, yaitu kemukjizatan susunannya dengan semboyan :اِنَّ الاِعْجَازَ اِنَّمَا هُوَ فِى النَّطْمِ

Moh. Ismail Ibrahim dalam buku yang berjudul Al-Qur’an wa I’jazihi al-Ilmi mengatakan, orang yang mengamati al-Qur’an dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, baik ilmu-ilmu lama maupun ilmu-ilmu baru.

Dr. Muhammad Salim ‘Ubaidat juga menyebutkan bahwa I’jazul Qur’an itu ada empat, yaitu:[[12]]

  1. Al-I’jaz bi al-Ikhbar ‘an al-mughibat, yaitu kemu’jizatan al-Qur’an dalam memberitakan hal-hal yang ghaib, yang kita tidak tahu kecuali kita al-Qur’an tela menyebutkannya.
  2. Al-I’jaz al-‘Ilmiy, yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
  3. Al-I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syari’at Islam, yang letak kemu’jizatannya adalah bahwa syari’ah dating kepada umat manusia sesuai dan cocok setiap saat dan zaman (shalihul likulli zaman wal makan).
  4. Al-I’jaz al-Bayaniy (al-Fashahah, wa al-Balaghah wa al-Bayan), kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra Arab.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan antara lain :

  1. Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW melalui malaikat Jibrib, diawali dengan surah al Fatihah dan diakhiri dengan surah Annaas, merupakan mu’jizat terbesar beliau, lafal dan maknanya dari Allah SWT, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya.
  2. Nuzulul Qu’an (turunnya al Qu’an) lebih tepat jika dimaknai dengan i’laam yang artinya pemberitahuan. Karena al Aqur’an bukan wujud tertentu, melainkan Firman Allah yang disampaikan (diberitahukan) kepada penduduk langit, lalu disampaikan (diberitahukan) oleh Jibril (selaku yang diberi mandat oleh Allah) kepada Nabi Muhammad SAW.
  3. Turunnya Al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan dari Allah SWT kepada alam tingkat tinggi (samawi) tentang isi al Qur’an secara keseluruhan, sedangkan turunnya Al-Qur’an yang kedua kali adalah pemberitahuan tentang isi al Qur’an secara bertahap sesuai dengan kebutuhan.
  4. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
  5. Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, dan dalam 2 periode, Msakkiyah dan Madaniyah.
  6. Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Namun al Qur’an belum dibukukan dalam satu mushaf di masa Rasulullah SAW. Pembukuan al Qur’an baru dilakukan di masa Abubakar Siddiq.
  7.   Al qur’an adalah bagian dari mukjizat yang Allah berikan kepada para nabi sebagai bukti kebenaran risalah yang dibawanya.
  8.   Mukjizat para nabi terdahulu bersifat material inderawi dan tidak kekal, sementara mukjizat Alquran bersifat immaterial dan abadi.
  9.   Tantangan Alqur’an tidak terbatas pada suatu bangsa, masa dan tempat.
  10.    Macam-macam segi kemukjizatan Alqur’an tidak bisa dibatasi, dan pertentangan yang terjadi antar ulama dalam hal ini dapat saling melengkapi

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. al-Qaththan Manna’, 1999.  Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, juz 5. Bairut: Penerbit Ar-Risalah.
  3. Azzarqani, Abdul Azhim, Manahilul Irfan fi Uluumil Qur’an, I&II Isa al-Babib al-Halaby, Mesir.
  4. Chirzin,  Muhammad,1998.  Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
  5. Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, 1407H, Fathul Bari, al Maktabah Assalafiah, Cairo
  6. Ibnu Katsir, 1999. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Tahqiq: Samiy ibn Salamah). Riyadh: Dar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawuzi’.
  7. Shihab, M. Quraish, 1998. Mu’jizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan.
  8. Ubaidat,  Muhammad Salim, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. Dar al-‘Ammar.

([1])     Az-Zarqani 1:18

([2])  Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah di Shohih Buhori, Kitab Bad-ul Wahyi, bab Kaifa Ya’tiikal Wahyu, Fathul Bari 1 : 25-30

([3]) HR. Bukhori (Fathul Bari 1:13)

([4]) M. Quraish Shihab, Mu’jizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib,(Bandung: Mizan, 1998), hal. 23.

([5]) M. Quraish Shihab, Ibid. hal. 23.

([6]) M. Quraish Shihab, Ibid. hal. 38.

([7]) M. Quraish Shihab, Ibid. hal. 33.

([8])     Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, juz 5, (Bairut: Penerbit Ar-Risalah, 1999), hal 259.

([9])     Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Tahqiq: Samiy ibn Salamah),  (Riyadh: Dar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawuzi’, 99), hal. 117.

([10])  Manna Qaththan, Ibid., hal 264.

([11]) Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 100

([12]) Muhammad Salim ‘Ubaidat, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, (Dar al-‘Ammar), hal. 221-224.

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL