Dalam perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada ujian yang berat. Kehilangan, kegagalan, dan penderitaan menjadi bagian yang tak terhindarkan. Namun, di tengah kegelapan ujian tersebut, ada satu hal yang mampu mengobarkan harapan: keimanan kita terhadap takdir Allah, tawakal, dan senantiasa berprasangka baik kepada-Nya. Ketiga pilar ini adalah kunci untuk mengatasi rasa putus asa, menjaga hati tetap kuat, dan terus berjalan di jalan-Nya.
Takdir: Hikmah di Balik Ketentuan-Nya
Takdir adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup telah digariskan oleh Allah sejak awal. Baik itu kesedihan maupun kebahagiaan, semua telah tertulis dalam “Lauh Mahfuz”. Allah berfirman dalam Al-Quran:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)
Keyakinan ini mengajarkan kita untuk menerima setiap peristiwa yang terjadi dengan lapang dada. Setiap ujian, sekecil atau sebesar apapun, mengandung hikmah yang mungkin belum kita pahami saat ini. Kita tidak bisa selalu mengendalikan apa yang terjadi dalam hidup, tetapi kita bisa memilih untuk menerima takdir-Nya dengan penuh kesabaran. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena setiap urusannya adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Tawakal: Mengandalkan Allah dalam Segala Keadaan
Tawakal adalah sikap menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah setelah kita berusaha semaksimal mungkin. Dalam menghadapi kegagalan atau kesulitan, seseorang yang bertawakal tidak akan merasa putus asa. Ia yakin bahwa segala hasil berada dalam genggaman Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Burung itu pergi pagi-pagi dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Burung adalah makhluk yang lemah, namun mereka selalu bergerak dan berusaha. Mereka terbang ke sana kemari mencari makanan, dan pada akhirnya, Allah memberikannya rezeki. Demikian pula dengan manusia, kita harus terus berusaha, berdoa, dan setelah itu, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Dengan tawakal, hati akan tenang karena kita meyakini bahwa apa pun yang terjadi adalah yang terbaik menurut Allah.
Prasangka Baik kepada Allah: Kunci dari Ketenangan Hati
Di saat terpuruk dan merasa lemah, banyak orang yang mulai meragukan ketentuan Allah. Mereka bertanya, “Mengapa Allah mengizinkan ini terjadi padaku?” Padahal, dalam situasi terburuk sekalipun, kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada-Nya. Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Maka hendaklah dia berprasangka kepada-Ku sesuai kehendaknya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berprasangka baik kepada Allah berarti meyakini bahwa di balik setiap ujian, ada kebaikan dan kasih sayang dari-Nya. Apa yang mungkin kita pandang sebagai musibah, di mata Allah bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Al-Quran mengingatkan kita:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Sikap husnuzan (prasangka baik) ini mengajak kita untuk tidak terjebak dalam keputusasaan. Sebaliknya, kita harus terus melangkah dengan keyakinan bahwa Allah selalu merencanakan yang terbaik, meski kita tidak selalu mampu melihatnya.
Mengatasi Rasa Putus Asa
Putus asa adalah perasaan yang muncul ketika kita kehilangan harapan dan merasa semua usaha sia-sia. Namun, Islam mengajarkan kita bahwa putus asa bukanlah sifat seorang mukmin. Allah secara tegas melarang kita untuk berputus asa:
” Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Putus asa menunjukkan kurangnya kepercayaan pada kekuasaan Allah. Seorang mukmin harus meyakini bahwa setiap kesulitan pasti akan diiringi kemudahan. Seperti yang difirmankan Allah:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Ash-Sharh: 6)
Dalam menghadapi putus asa, kita perlu mengingatkan diri sendiri bahwa Allah selalu ada untuk kita, dan Dia adalah penolong yang Maha Kuasa. Kisah-kisah sahabat Nabi ﷺ juga memberikan inspirasi tentang bagaimana mereka menghadapi ujian dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati. Umar bin Khattab pernah berkata:
“Aku tidak peduli atas keadaan susah ataupun senangku, sebab aku tidak tahu mana yang lebih baik untuk diriku. Karena susah dan senang keduanya sama-sama ujian.”
Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk selalu menjaga keimanan, memohon kepada Allah, dan senantiasa berprasangka baik pada-Nya.
Kesimpulan
Rasa putus asa adalah ujian bagi hati. Namun, ketika kita memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari takdir Allah, bahwa kita selalu bisa bertawakal kepada-Nya, dan bahwa Allah menginginkan yang terbaik bagi hamba-Nya, putus asa tidak lagi memiliki tempat dalam hidup kita. Dengan tawakal, menerima takdir, dan berprasangka baik kepada Allah, kita akan mampu mengatasi segala ujian dan meraih ketenangan jiwa. Sebab, hanya kepada Allah lah tempat kita berlindung dan berharap. (Penulis: Qodrat SQ)
Atasi rasa putus asa Anda dan raih ketenangan dengan sedekah dan zakat melalui www.maiberbagi.or.id atau melalui Livin Sukha di menu Zakat dan Donasi kemudian pilih Donasi MAI atau Zakat MAI.