fbpx

Kaya Tidak Berarti Bahagia

Sebelum kita melanjutkan obrolan kita tentang judul tulisan ini, sebaiknya kita menyepakati dua hal terlebih dahulu. Pertama, kita harus sepakat mengenai orang kaya itu seperti apa dan sepakat bagaimana standar bahagia menurut standar kita.

Menurut Anda, orang kaya itu seperti apa? Tentu semuanya sepakat dan tak berlebihan bila kita menganggap bahwa orang kaya itu mereka yang memiliki banyak harta, baik berupa uang tunai maupun aset. Tak jarang dari mereka yang memiliki banyak aset properti yang tersebar di banyak tempat seperti rumah, penginapan, bahkan gedung, baik digunakan untuk kepentingan pribadi maupun sebagai investasi. Yang dimiliki uang tak berseri, baik yang tersimpan di bank ataupun uang tunai yang tersimpan di brankas dalam kamarnya. Apakah kalian mau memiliki semua itu? Kalau saya tentu mau.

Selanjutnya, kita sepakati terlebih dahulu definisi kebahagiaan. Menurut saya, bahagia adalah ketika saya tidak memiliki beban yang menggelayut di hati dan pikiran, hati saya tidak gundah gulana, tidak ada yang membuat saya sedih, semua urusan saya berjalan dengan lancar, saya dan keluarga sehat, serta semua kebutuhan pokok tercukupinya dan semua hal yang berkaitan dengan ketenangan jiwa. Bagaimana dengan Anda? Apakah kita memiliki pandangan tentang kebahagiaan yang sama?

Bisa jadi, di antara kita ada yang tidak sepakat dengan pandangan orang kaya dan pandangan tentang kebahagiaan. Tak apa. Itu wajar adanya karena setiap orang punya standar kaya dan standar kebahagiaannya masing-masing. Sangat tidak layak bagi kita menilai orang lain dengan menggunakan standar hidup yang kita berlakukan dalam diri kita. Pun halnya kita tidak boleh menyamaratakan kondisi seseorang dengan kondisi yang kita usahakan sekarang. Namun, bukan berarti kita tidak boleh memiliki pandangan yang sama akan suatu hal. Contohnya, tentu kita semua sepakat bahwa kekayaan tak serta merta membuat pemiliknya bahagia. Setuju?

Banyak motivator yang mengatakan bahwa untuk bisa merasa bahagia dan membahagiakan orang lain, kita harus mengupayakannya sendiri. Jangan tunggu orang lain membahagiakan kita, tapi ciptakanlah kebahagiaan dalam dirimu sendiri. Konon katanya seperti itu. Namun, jika kita renungkan, ucapan para motivator tersebut ada benarnya.

Seperti yang telah kita diskusikan di atas, standar kebahagiaan seseorang itu berbeda. Orang yang paling tahu tentang apa yang dapat membuat kita bahagia adalah diri sendiri. Orang lain tidak akan tahu. Ibaratnya, mereka hanya mengetahui permukaannya saja, belum secara keseluruhan. Oleh karenanya, kita cari sendiri letak kebahagiaan kita.

Ada orang yang bahagia karena memiliki banyak kawan. Ada pula yang sudah bahagia bahkan hanya dengan memiliki sedikit kawan namun bisa ia percaya. Banyak pula orang yang baru bahagia ketika semua kebutuhan dan keinginannya terpenuhi. Namun, tak sedikit juga yang sudah bahagia bahkan hanya karena ia sudah memiliki cukup makanan untuk hari ini. Besok bisa makan atau tidak itu urusan belakangan.

Ada juga yang mengira bahwa predikat sebagai hartawan atau jutawanlah yang bisa membuat beberapa orang bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan itulah golongan ini bekerja giat mencari rupiah untuk mencapai kebahagiaan yang mereka anggap dapat mereka raih karena uang. Namun, apakah kekayaan selalu berbanding lurus dengan kebahagian?

Kekayaan tak selalu berarti bahagia. Tanpa menyebutkan nama dan apa peristiwanya, kita tentu sering menyimak berita bahwa banyak pejabat atau pengusaha yang tersandung kasus kriminal, seperti korupsi dan kolusi. Di antara para pelaku kejahatan tersebut banyak yang hidupnya bergelimang harta; luar negeri merupakan tempat mereka berwisata; pakaian yang melekat di tubuhnya tak ada yang murahan. Namun apakah mereka bahagia? Terjerat kasus korupsi dan kolusi, satu negara tahu aibnya, nama baik pribadi dan keluarga tercoreng, penyitaan barang oleh negara, serta ancaman bui bertahun-tahun lamanya tentu kita tak bisa mengatakan bahwa mereka bahagia bukan?

Islam tak melarang umatnya menjadi hartawan. Bahkan banyak di antara para sahabat Nabi yang dikenal sebagai hartawan. Sebut saja Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Abdurrauf bin Auf, dan Zubair bin Awam merupakan para sahabat Nabi yang tergolong kaya raya. Bahkan, Rasulullah sendiri merupakan orang yang kaya raya. Hal ini terbukti dari jumlah mahar yang Rasulullah berikan kepada Siti Khadijah. Namun, pernahkah kita membaca riwayat atau kisah tentang Rasulullah dan para sahabatnya yang kaya raya menikmati dan terlena dengan kekayaannya? Tentu tidak, bukan?

Inilah letak perbedaan mencolok antara tujuan dan gaya hidup antara mereka yang silau akan perhiasan dunia dengan mereka yang selalu hidup dengan iman Islam bercokol teguh di jiwanya.

Rasulullah dan para sahabat menyadari bahwa kekayaan yang mereka miliki bukan sepenuhnya milik mereka. Semuanya milik Allah yang Allah titipkan kepada mereka untuk sebuah tujuan, yakni menyalurkan harta tersebut kepada hamba Allah lainnya yang membutuhkan. Harta yang melimpah bagi mereka Allah memilih mereka karena Allah tahu bahwa mereka akan amanah dengan kepercayaan tersebut.

Bagi orang yang beriman, harta hanyalah ujian, bukan anugerah. Mereka memang butuh harta, tapi sekadar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Selebihnya, mereka sedekahkan karena mereka paham ada orang lain yang harus mereka bahagiakan dengan kelebihan harta yang sekarang ada pada mereka. Bagi mereka yang gemar berbagi dengan sesama, melihat orang lain bahagia sudah cukup membuat mereka bahagia juga.

Berbeda dengan orang yang tujuan hidupnya untuk menjadi kaya raya. Fokus dan jalan hidup mereka selalu berada dalam track mencari harta. Mereka hanya berkutat pada kegiatan mencari dan menjaga harta. Tak ada kata berbagi dalam kamus mereka. Mereka berbagi rezeki hanya untuk mencari nama baik semata.

Saya jadi teringat kisah yang sempat viral di media sosial. Singkatnya, ada seorang istri yang sangat terobsesi menjadi orang kaya. Ia sangat perhitungan dengan uang yang akan dikeluarkan. Ia tak sempat menikmati kekayaannya karena ia sibuk berupaya agar hartanya tak berkurang. Sampai pada akhirnya, ia menjadi orang kaya raya seperti keinginannya. Namun, di puncak kekayaannya, ia malah meninggal dan suaminya menikah lagi. Jadilah, istri baru suaminya yang menikmati harta kekayaan hasil jerih payah istri yang terdahulu.

Dari kisah di atas, tentu kita sekarang tahu bahwa membahagiakan diri sendiri itu sangat perlu. Bahagia tak hanya bisa didapatkan oleh mereka yang bergelimang harta. Bahagaia adalah hak semua umat manusia. Bahagia itu dicari, bukan ditunggu. Bahagiakan diri sendiri terlebih dahulu, maka orang lain akan merasa bahagia di dekat kita. Bagaimana kita bisa membahagiakan orang lain di saat diri sendiri butuh dibahagiakan?

Yuk Sedekah melalui www.maiberbagi.or.id

Penulis,
(DHQ)

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL