fbpx

Etika Berbagi Ilmu Lewat Sosial Media

Etika Berbagi Ilmu Lewat Sosial MediaEtika Berbagi Ilmu Lewat Sosial Media

 Assalamualaikum Sosial media bisa dijadikan sarana untuk berbagi ilmu dan informasi bermanfaat. Mohon ustadz berikan masukan buat kita yang rajin copas-copas materi keislaman di berbagai group. Apakah ada positif dan negatifnya berdakwah atau belajar agama Islam lewat metode copas-copas seperti ini?

Ada teman yang bilang belajar model begini sudah pasti sesat dan menyesatkan. Apa benar begitu, Ustadz?

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih jazakallahu.

Wassalamualaikum

 

Jawaban oleh Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Biar tidak ada yang bingung, istilah ‘copas-copas’ ini sebenarnya bukan istilah baku. Asalnya dari Bahasa Inggris dari kata Copy and Paste, yang secara harfiyah bermakna ‘menyalin dan menempelkan’. Maksudnya menyalin suatu teks apa adanya lalu menempelkannya pada teks lain. Dan tindakan copy and paste di zaman ini dengan mudah dilakukan baik pakai komputer, tablet bahkan smartphone.

Apalagi dengan tersedianya media internet dengan segala wujud apliksinya, maka tulisan yang baru saja diketikkan oleh seseorang di satu titik di muka bumi, lewat copy and paste biar tiba-tiba tersebar secara masive alias viral ke seluruh dunia dalam hitungan detik saja.

Maka dari segi pemanfaatannya, copy and paste ini tentu punya dua sisi, yaitu sisi baik dan juga bisa sisi buruk. Sisi baiknya adalah suatu pesan yang baik dan bermanfaat bisa disebarkan dengan cepat dan merata ke seluruh dunia, serta gratis tanpa biaya.

Ilmu yang dulunya terpenjara hanya pada lembaran buku yang tebal dan tersimpan di dalam tumpukan koleksi perpustakaan, bisa dengan cepat tersebar viral lewat copy and paste. Informasi berharga dari sumber yang kompeten, seperti dokter, para ahli, termasuk ulama, yang dahulu sulit diakses secara konvensional, bisa dengan mudah dibaca orang lewat copy anda paste ini juga.

Tetapi jangan lupa bahwa urusan copy pasti ini juga bisa punya sisi negatif yang merugikan. Misalnya ketika ilmu dan informasi yang disebarkan tidak bersumber dari sumber-sumber yang otoritatif, bukan hasil karya ilmiah orang yang ahli di bidangnya, bukan pihak yang punya previlage untuk menyebarkannya, maka copy anda paste bisa berubah jadi negatif.

Copas Negatif dan Hadits Palsu

Penyebaran hadits palsu di masa shahabat dan tabi’in serta atbaut-tabi’in dahulu, sebenarnya merupakan contoh mudah untuk menggambarkan bagaimana pola ‘copy anda paste’ negatif ini merusak agama Islam.

Orang-orang zindik, yaitu orang kafir jahat yang berpura-pura masuk Islam lalu ingin merobohkan Islam dari dalam dengan berpura-pura menjadi muslim, mereka mengarang-ngarang perkataan dan ucapan yang dibilangnya berasal dari perkataan dan perbuatan Nabi SAW. Jelas sekali ini kriminal dan penipuan, tetapi terlanjur disebarkan kepada publik umat Islam.

Sayangnya, publik umat Islam di masa itu sama sekali tidak berdaya dalam mengantisipasti penyebaran kalimat-kalimat dusta yang disematkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tentu kalimat-kalimat itu 100% adalah kebohongan  dan dosa yang teramat besar.

Bagaimana tidak?

Orang-orang zindik itu mengarang-ngarang sendiri kalimat, ilmu dan informasi seenak kepentingannya, lalu dikatakan semua itu sebagai hadits nabi. Dan lebih parah lagi, kadang isi hadits-hadits palsu itu punya motif-motif politis, seperti untuk popularitas pribadi, biar dibilang ustadz dan ulama, bahkan sering juga untuk menjilat penguasa atau menjatuhkan lawan politik dan sebagainya.

Melihat semakin parahnya penyebaran hadits palsu di masa itu, sehingga orang-orang awam sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang sesungguhnya perkataan Rasulullah SAW  dan mana yang bukan, maka tergeraklah para ulama untuk membuat semacam rumusan atau formula.

Formula ini sebenarnya sudah ada bibit-bibitnya sejak zaman para shahabat, lalu karena kebutuhan yang masif, akhirnya dikembangkan menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, yang kita kenal sebagai ilmu naqdi al-hadits. Diterjemahkan menjadi Ilmu Kritik Hadits.

Dan salah satu tokoh yang meletakkan dasar-dasar ilmu ini tidak lain adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w. 204 H) atau yang lebih kita kenal sebagai Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau menuliskan ilmu ini di dalam karya masterpiecenya, yaitu kitab Ar-Risalah. Sebuah kitab yang sebenarnya ingin menjabarkan Ilmu Ushul Fiqih secara luas, dan kebetulan salah satu pokok bahasan di dalamnya menyangkut Ilmu Kritik Hadits ini.

Sejak itulah umat Islam setiap kali menyebutkan suatu matan (teks) hadits yang dianggapnya sebagai perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW, harus juga menyebutkan sumbernya. Yang dimaksud dengan sumber itu adalah rangkaian nama-nama para periwayat hadits itu satu per satu semuanya terus bersambung dan bersambung dan bersambung terus hingga sampai kepada level tabi’in, shahabat dan akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW sendiri. Semua harus disebutkan dengan jelas, terang dan pasti.

Ditambah lagi bahwa nama-nama para periwayat itu haruslah orang yang memenuhi syarat, istilahnya dia harus memenuhi kriteria ‘adil dan dhabith, dimana jalur periwayatannya tidak terputus dan tidak ada syadz dan sebagainya dan sebagainya.

Maka sejak itulah orang-orang sudah tidak boleh lagi main asal menyebut suatu hadits begitu saja, tidak halal lagi asal main copas-copas seenaknya, apabila tidak disertai penyebutan sumber rujukannya.

Kententuan Copas Yang Ideal

Hal yang kurang lebih sama terjadi lagi hari ini, khususnya dalam urusan copas-copas tidak jelas dalam materi-materi keislaman. Dan memang bisa jadi sangat menyesatkan, setidaknya kehilangan keotentikan dan validitasnya.

Untuk itulah maka kalau memang tujuannya mau berdakwah atau mau menyebarkan ilmu agama, copas-copas yang dilakukan harus memenuhi standar yang ilmiyah dan dapat dipertanggung-jawabkan. Rinciannya sebagai berikut :

1. Jelas Sumbernya

Ilmu dan informasi yang bermanfaat itu harus jelas sumber rujukannya. Masalahnya, ketika melakukan copas-copas justru rujukan dan sumbernya malah tidak ada sama sekali. Sehingga ilmu dan informasi yang sebenarnya bagus dan baik justru menjadi jelek dan buruk, karena ketidak-jelasan sumber rujukannya.

Dan masalahnya lagi, kita menerima copasan dari orang lain pun memang sejak awal sudah tidak ada sumber rujukannya juga. Sebenarnya kita bisa saja memotong jalur aliran liar semacam ini, yaitu dengan cara tidak mendistribusikan ulang selama copas yang kita terima tidak ada rujukannya. Bahkan bisa saja kita ingatkan kepada teman yang mengirimkan copasan liar macam itu, mohon kiranya tidak mengirimkan ke saya kalau belum ada rujukannya.

2. Sebutkan Posisi Sumber Rujukan

Masalah penting lain adalah bahwa tidaklah bisa disebut sebagai rujukan kalau tidak bisa ditelusuri dimana bisa kita buktikan bahwa rujukan itu valid dan benar. Saya pribadi pernah jadi korban dari viral yang beredar yang memakai nama saya. Nama saya dicantumkan seolah-olah itu adalah perkataan saya. Padahal saya sendiri tidak pernah merasa mengatakan kalimat itu baik lisan atau tulisan. Viral itu memakai nama saya lengkap dengan berbagai istilah yang saya sendiri tidak pernah membuatnya.

Lucunya, saya justru malah mendapatkan kiriman viral itu lewat seorang teman yang kenal saya langsung. Maka saya katakan bahwa itu bohong dan palsu. Walaupun secara esensinya saya tidak menyalahkan, tetapi yang jelas statemen seperti itu bukan statemen bikinan saya, tetapi bikinan orang lain tetapi mencatut nama saya.

Maka untuk menghindarkan diri dari masalah ini, kalau pun ada statemen yang mau dikutip, haruslah dipastikan dulu dimanakah naskah aslinya bisa didapat oleh para pembaca. Kalau dikutip dari buku karya saya, sebutkanlah nama judul buku saya itu dengan menyebutkan nomor halaman, jilid ke berapa, edisi tahun berapa, cetakan ke berapa, dan seterusnya.

Kalau statemen itu dikutip dari suatu artikel pada suatu situs tertentu, jangan lupa tuliskan url-nya secara lengkap dan tidak mengalami broken link,  sehingga kalau diklik bisa diakses dengan mudah, serta tuliskan juga kapan tanggal mengaksesnya.

Kalau statemen itu berasal dari ceramah atau pidato secara verbal, minimal sampaikan rekaman aslinya baik di youtube atau pun file mp3 nya secara lengkap. Maksudnya tidak lain agar para pembaca bisa mengklarifikasi langsung ke sumber aslinya, biar ada pertanggung-jawaban ilmiyahnya.

3. Cantumkan Sumber Aslinya Bukan Sekedar Kutipan Atas Kutipan

Ilmu-ilmu keislaman itu menuntut kita memberikan rujukan dari sumber utama, dan bukan sumber yang bukan sumber.

Jangan sampai kita hanya mengutip dari orang yang kerjaannya hanya mengutip saja, padahal yang dikutip itu hanyalah sebatas kutipan dari orang lain, dimana orang lain itu juga mengutip dari kutipan orang lain, yang dikutip dari kutipan orang lain dari hasil kutipan yang yang mengutip.

Itu ibarat kita memfoto-copy suatu tulisan, dimana hasilnya kemudian difotocopy lagi, difotocopy lagi, difotocopy lagi, difotocopy lagi, difotocopy lagi, difotocopy lagi. Terakhir hasilnya cuma hitam legam tinta saja, karena sudah mengalami reduksi bahkan distorsi yang akut.

Nah, urusan mengambalikan kalimat kepada pemilik aslinya ini memang bukan pekerjaan yang gampang. Tidak seperti main copas yang hanya mengandalkan jempol.

4. Sumber Harus Otoritatif

Sumber yang otoritatif maksudnya adalah sumber yang memang ahli di bidang ilmu yang sedang dibahas.

Maka jangan sekali-sekali kita mengutip dalam masalah ilmu ushul fiqih yang sumbernya justru dari mahasiswa fakultas perminyakan yang kuliahnya cuma urusan mengebor minyak bumi. Bisa saja seorang mahasiswa perminyakan belajar ilmu ushuli fiqih ala kadarnya, misalnya dari hasil baca-baca sendiri tanpa guru. Tetapi hasilnya pasti akan berbeda dengan mahasiwa yang belajar di fakultas syariah jurusan ilmu ushul fiqih, belajar di bawah bimbingan para dokor dan profesor yang serius mengajarkan ilmu ushul fiqih.

Maka mahasiswa fakultas perminyakan kalau dipaksa menjelaskan ilmu ushul fiqih, pasti akan bicara mengawang-awang. Yang benar adalah mengembalikan tiap orang sesuai ilmu yang dipelajarinya. Kalau kuliahnya jurusan minyak, silahkan bicara urusan minyak saja dan tidak perlu merasa jadi ulama yang bicara tentang ushul fiqih. Soalnya semua mahasiswa yang pernah belajar ilmu ushul fiqih pasti akan terpingkal-pingkal kalau mendengar ceramah tukang minyak itu tentang ilmu ushul fiqih. Ngaco dan ngelantur tanpa arah.

Kalau mau mengetes sebenarnya mudah saja, suruh mahasiwa perminyakan itu menyebutkan siapa saja tokoh ahli ushul fiqih mulai dari abad kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilah, kesepuluh, kesebelas, keduabelas, ketigabelas dan keempatbelas hijryah. Dan tidak boleh nyontek, sebutkan langsung luar kepala namanya dan tahun wafatnya, lengkap dengan judul kitab karya mereka. Kalau tidak bisa menyebutkan, jelas dan terang sekali bahwa mahasiwa ini memang ahli ilmu ushul fiqih.

Dan hal ini juga berlaku pada saya sendiri juga, banyak kalangan meminta saya bicara dalam ceramah tentang ilmu yang bukan bidang saya, seperti ilmu tauhid, ilmu tasawuf, bahkan ilmu managemen qalbu. Terus terang saya tidak belajar secara mendalam di bidang-bidang itu, maka dengan segala kerendahan hati, saya tolak permintaan macam itu. Bukan apa-apa, kalau tidak punya ilmunya, masak mau sok belagak pura-pura punya ilmu. Tidak punya ilmu ya ngaku saja, akan lebih baik dan lebih aman.

Di sisi lain, jangan sekali-kali kita mengcopas pendapat dan statemen seorang tokoh yang  bicara bukan di bidang ilmu yang dikuasainya. Bicara yang bukan ilmunya adalah kesesatan, dan melakukan copas atas itu sama saja ikut menyebarkan kesesatan juga.

5. Cover Both Side

Cover Both Side atau Both Side Cover sebenarnya adalah istilah yang lebih dikenal di dunia jurnalistik. Tetapi bisa juga kita terapkan ketika menyampaikan ilmu agama atau informasi yang penting dan sensitif

Menyampaikan ilmu dan informasi keislaman itu harus bisa mengcover dua sisi yang berbeda. Setidaknya bisa mencantumkan banyak rujukan dari berbagai versi yang berbeda dan tidak hanya bersumber dari satu titik yang sama. Sebab boleh jadi suatu pendapat itu juga punya bantahan yang sama-sama kuat.

Kalau rujukan hanya bersumber dari hanya satu titik saja, bisa jadi kita terjebak pada ketidak-adilan dan keberpihakan yang tidak jelas arahnya. Malah bisa mengantarkan kita kepada sikap fanatisme buta yang tidak jelas jeluntrungannya.

6. Tidak Menyalin Semua Teks Cukup Url

Etika dalam bertukar ilmu dan informasi dalam group dalam pandangna saya adalah tidak perlu semua teks kita copas di dalamnya. Sebab selain akan jadi sangat panjang teksnya, orang yang merasa tidak butuh akan merasa terzalimi juga.

Cukup kita beri url dan linknya saja, yang tertarik akan menelusurinya, dan yang tidak tertarik tidak akan terganggu dengan ‘sampah-sampah’ tidak berguna yang memenuhi gadgetnya.

7. Tidak Mudah Menyalahkan Harus Moderat dan Adil

Karena judulnya sejak awal bahwa kita ingin belajar ilmu agama, maka etikanya tidak jangan belum apa-apa sudah merasa paling pinter sendiri. Lalu dengan pongahnya kita main tuduh orang lain keliru, salah, sesat, ahli bid’ah, kufur, munafiq, zhalim, fasik, kafir, keluar dari Islam dan segerobak sebutan kotor lainnya.

Akhlaq seorang pembelajar agama tentu tidak demikian. Yang kelakuannya macam itu sebenarnya bukan pelajar dan bukan pembelajar, tetapi kelakuan seorang lawyer yang lagi bekerja menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada maling ayam. Semua yang sekiranya bisa memberatkan hukuman maling ayam akan disebutkan, sampai yang tidak penting pun disebut juga.

Atau seperi pekerjaan juru kampanye yang lagi mengejek habis lawan politiknya. Pokoknya si lawan politik itu busuk, menjijikkan, najis tralala, dan seterusnya. Yah, namanya lagi kampanye, maka tokoh yang didukungnya akan dipuji setinggi langit. Walaupun salah tetap saja harus dianggap benar. Namanya juga orang kampanye. Salah benar tidak penting lagi, yang penting menang.

Tetapi dalam dunia ilmu pengetahuan, teknik curang dan trik licik macam itu tidak punya tempat. Etika dan kesantunan terhadap sesama penuntut ilmu harus dikedepankan.

Yang sudah jadi ulama betulan saja masih sangat santun gaya bahasanya. Kalau ada pendapat orang yang tidak disetujuinya, tidak lantas memaki-maki dan mengeluarkan kata-kata busuk. Apalagi bila pendapat yang berbeda itu justru datang ulama juga, maka etika kita harus jauh lebih santun lagi.

Sebutlah misalnya Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) ketika tidak sepakat dengan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri. Beliau tidak bilang bahwa Asy-Syafi’i keliru atau sesat, hanya saja beliau memilih kalimat yang santun, sopan, tidak menggurui, tidak merasa lebih tinggi ilmunya, juga tidak merasa lebih pintar. Sebutlah misalnya ada dua pendapat di kalangan para ulama, kalau mau beda pendapat kita bisa bilang begini : “Dengan tetap menghormati pendapat pertama, maka saya lebih cenderung kepada pendapat yang kedua”.

8. Etika Berbeda Pendapat: Tidak Harus Dengan Memaki dan Mencaci

Dalam semua cabang ilmu agama, baik Ilmu Al-Quran, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqih, Ilmu Ushul Fiqih dan lain-lainnya, pasti selalu terdapat perbedaan pendapat. Para ulama yang menjadi pakar di masing-masing disiplin ilmu memang tidak bisa menghindari perbedaan ini. Tentu masuk akal kalau perbedaan-perbedaan itu juga sulit kita hindari sebagai orang awam.

Tugas kita bukan membuang perbedaan-perbedaan itu dengan memilih yang menurut kita paling benar, lalu yang kita anggap tidak benar kita masukkan tong sampah. Bukan, bukan begitu caranya. Tetapi kita tetap harus menyebutkan semua perbedaan itu, dan silahkan tetap punya pilihan pribadi. Hanya saja etika yang harus kita jaga adalah memahami memang ada perbedaan, tetapi tidak perlu kita menanggapi mereka yang punya pandangan berbeda dengan kita dengan cacian dan makian.

Pada bab cacian dan makian kepada lawan perbedaan pendapat ini sering kali sulit kita buang. Sebab di dalam teks yang kita copas-copas itu banyak sekali terkandung cacian dan makian. Tidak bisa kita edit ulang dan tidak bisa kita otak-atik. Maka cacian dan makian itu semuanya ikut kita sebarkan viral ke tengah publik. Apakah kita bisa berlepas diri dari dosanya? Tentu tidak bisa, sebab kita ikut andil menyebarkan caci maki itu juga.

Maka jangan terlalu mudah main sebarkan materi-materi yang mengandung caci dan maki, kalau tidak mau terkena dosanya juga.

9. Faktor Keridhaan Anggota Lain

Meski materi yang kira share sudah memenuhi 8 kriteria di atas, tetapi bukan berarti kita sudah sukses dalam berbagi ilmu. Sebab boleh jadi tidak semua anggota dalam group suka dengan keaktifan kita yang mendominasi, bahkan merajai.

Jangan sedikit-sedikit kirim info, sedikit-sedikit kirim info. Perhatikan juga apa kira-kira info itu dibutuhkan atau tidak oleh jamaah yang jadi anggota. Faktor keridahaan anggota lain itu penting juga. Ibaratnya seorang khatib Jumat, jangan juga berlama-lama khutbah yang hanya bikin jamaah sebel dan mendoakan cepat selesai.

Ini hanya sekelumit apa yang bisa saya tangkap dari bagaimana etika berbagi ilmu lewat sosial media. Pasti ada kekurangan dan kesalahannya. Semoga bisa bermanfaat. Amin.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL