fbpx

Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam

WAKAF UANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 

Dibandingkan dengan wakaf tanah, wakaf uang belum banyak dikenal dan dipraktekkan oleh umat Islam di Indonesia. Bahkan masih ada sebagian orang yang memandang bahwa wakaf uang tidak dibolehkan. Baru pada tahun 2002 setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang bolehnya wakaf uang, wakaf uang mulai banyak dikenal dan dipraktekkan terlebih lagi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004, yang antara lain mengatur tentang wakaf uang. Tulisan ini akan membahas wakaf uang menurut hukum Islam (fikih) dan peraturan perundang-undangan tentang perwakafan.

 

Wakaf Uang Menurut Hukum Islam (Fikih)

Dalam catatan sejarah Islam, sebenarnya wakaf uang sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriah sebagaimana dijelaskan oleh M. Syafi’i Antonio yang mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari[1], dijelaskan bahwa Imam al-Zuhri (w. 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadis memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya.[2]

Meskipun wakaf uang telah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriah dan telah difatwakan kebolehannya oleh Imam al-Zuhri sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata hukum wakaf uang dalam fikih empat mazhab masih diperdebatkan antara yang membolehkan dan tidak membolehkan wakaf uang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

  1. Pendapat yang membolehkan wakaf uang

Mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang asalkan hal itu sudah menjadi ‘urf (adat kebiasaan) di kalangan masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.[3] Dalil yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah hadis Nabi SAW:

 

فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ

“Apa yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.[4]

Cara mewakafkan uang, menurut Mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudhārabah atau mubāḍaʻah. Adapun keuntungannya disedekahkan kepada yang diberi wakaf.[5]

Mazhab Maliki berpendapat boleh berwakaf dengan dinar dan dirham.[6] Dalam hal ini terdapat penjelasan dalam kitab al-Mudawwanah mengenai penggunaan wakaf uang yaitu melalui cara pembentukan dana pinjaman. Kaidahnya ialah uang tersebut diwakafkan dan digunakan sebagai pinjaman kepada pihak tertentu di mana peminjam terikat untuk membayar pinjaman tersebut.[7]

  1. Pendapat yang tidak membolehkan wakaf uang

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa harta benda wakaf harus kekal sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:

عن ابن عمر قال : قال عمر للنبي صلى الله عليه وسلم : إن مائة سهم التي لي في خيبر لم أصب مالا قط أعجب إلي منها قد أردت أن أتصدق بها، وقال النبي صلى الله عليه وسلم: احبس أصلها وسبل ثمرتها (رواه النسائي)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Umar r.a. berkata kepada Nabi SAW: “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.”Nabi SAW berkata: “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya pada sabilillah”. (HR. al-Nasā’ī)[8]

 

Berdasarkan hadis tersebut, Mazhab Syafi’i berpendapat wakaf dinar dan dirham tidak dibolehkan karena dinar dan dirham akan lenyap dengan dibelanjakan dan sulit mengekalkan zatnya.[9] Namun ulama lainnya yaitu Abu Tsaur membolehkan wakaf dinar dan dirham dan dia meriwayatkan dari Syafi’i tentang bolehnya mewakafkan uang (dinar dan dirham). Imam al-Mawardī menolak pendapat ini dengan menyatakan bahwa dinar dan dirham tidak dapat diwakafkan karena dinar dan dirham tidak dapat disewakan dan pemanfaatannya pun tidak tahan lama.[10]

Mazhab Hanbali sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Qudāmah[11] mengemukakan bahwa pada umumnya para fuqaha dan ahli ilmu tidak membolehkan wakaf uang karena uang akan lenyap ketika dibelanjakan sehingga tidak ada lagi wujudnya. Di samping itu, uang juga tidak dapat disewakan karena menyewakan uang akan merubah fungsi uang sebagai standar harga.[12]

Dari penjelasan pendapat ulama di atas, nampak bahwa ulama yang melarang wakaf uang beralasan bahwa uang wakaf ketika digunakan atau dibayarkan menjadi lenyap atau hilang sehingga tidak ada lagi wujudnya atau uang wakaf tidak dapat dimanfaatkan dengan mempertahankannya. Padahal menurut pandangan mereka harta benda wakaf harus ditahan, tidak boleh hilang atau lenyap sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW kepada Umar bin Khattab “Tahanlah asalnya (pokok harta yang diwakafkan) dan sedekahkan hasilnya.” Adapun ulama yang membolehkan wakaf uang beralasan bahwa nilai uang wakaf tetap terpelihara kekekalannya, meskipun zatnya atau bendanya telah hilang atau lenyap. Dalam hal ini, mereka tidak menekankan pada bentuk fisik harta benda wakaf namun lebih menekankan pada kemanfaatannya.

Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang membolehkan wakaf uang karena manfaatnya yang besar. Uang wakaf yang terhimpun dapat diinvestasikan baik pada sektor riil maupun sektor finansial di mana hasil dari investasi tersebut disalurkan kepada mawqūf ʻalayh. Uang wakaf juga dapat digunakan untuk membeli harta benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan atau harta benda tidak bergerak seperti kendaraan atau untuk mendanai pembangunan sarana ibadah, sosial, pendidikan, kesehatan yang langsung dapat dimanfaatkan oleh mawqūf ʻalayh.

Selain itu, hukum-hukum wakaf banyak didasarkan pada dalil-dalil ijtihadiyah, mengingat konsep wakaf tidak secara spesifik dijelaskan dalam al-Qur’an atau hadis. Hadis yang ada hanya menjelaskan secara global konsep wakaf yaitu menahan pokok harta yang diwakafkan, tidak dijual, diberikan, diwariskan serta mensedekahkan hasilnya. Karena wakaf uang tidak ditemukan dalil yang secara tegas membolehkan atau melarangnya, sementara wakaf uang memiliki manfaat yang besar untuk kemaslahatan mawqūf ʻalayh, maka atas dasar al-maṣlahah al-mursalah wakaf uang hukumnya boleh.

Oleh karena terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dari empat mazhab mengenai hukum wakaf uang sebagaimana dijelaskan di atas, wakaf uang belum banyak dipraktekkan di Indonesia bahkan banyak masyarakat yang menganggap hukum wakaf uang adalah tidak sah. Hal inilah yang mendorong Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002 mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang. Fatwa tersebut dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama melalui surat Nomor Dt. 1.III/5/BA.03.2/2772/2002 tanggal 26 April 2002 yang berisi tentang permohonan fatwa tentang wakaf uang.

Dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia tersebut disebutkan pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya fatwa tersebut, yaitu: Pertama, bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain, adalah:

 

حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع  التصرففى رقبته    على مصرف مباح موجود

Yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.” [13] Atau wakaf adalah “perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.”[14] Dan benda wakaf adalah segala benda baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.”[15] Sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang adalah tidak sah. Kedua, bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain. Ketiga, bahwa oleh karena itu, Komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat.

Selain menyebutkan pertimbangan, lazimnya sebuah fatwa disebutkan juga dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum fatwa yaitu: Pertama, QS. Ali Imran (3): 92 tentang perintah agar menusia menyedekahkan sebagian harta yang dicintainya. Kedua, QS. Al-Baqarah (2): 261-262 tentang balasan yang berlipat ganda bagi orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah dengan ikhlas dan pelakunya dijamin akan terhindar dari rasa khawatir (takut) dan sedih. Ketiga, hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Turmudzi, al-Nasa’i dan Abu Daud tentang perbuatan yang senantiasa mengalir pahalanya meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Keempat, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan yang lainnya tentang wakaf tanah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Kelima, perkataan Jabir yang menyatakan bahwa para sahabat Nabi SAW mewakafkan sebagian harta yang dimilikinya.

Fatwa juga memperhatikan pendapat ulama klasik yang membolehkan wakaf uang, yaitu: Pertama, pendapat Imam al-Zuhri yang menyatakan bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada mawqūf ʻalayh.[16] Kedua, pendapat ulama Hanafiah yang membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar istiḥsān bi al-ʻurf.[17] Ketiga, pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i yang diriwayatkan oleh Abu Tsaur tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang).[18] Selain itu, diperhatikan juga pandangan dan pendapat rapat Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis antara lain riwayat Ibnu Umar, dan pendapat rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai berikut:

 

حبس مال يمكن الانتفاع به  مع بقاء عينه أو أصله بقطع التصرف فى رقبته على مصرف مباح موجود

 

Yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan atau mewariskan), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”

Berdasarkan pertimbangan, dalil-dalil dan pendapat ulama tentang bolehnya wakaf uang tersebut, Komisi Fatwa MUI pada tanggal 28 Shafar 1423 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 11 Mei 2002, memfatwakan bahwa wakaf uang hukumnya jawaz (boleh) dan hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i serta nilai pokok wakaf uang tersebut harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan. Disebutkan juga dalam fatwa tersebut bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk dalam pengertian uang tersebut adalah surat-surat berharga.

[1] Imam al-Bukhari menyebutkan dalam aḥiḥ-nya (Kitāb al-Waṣāyā) sebagai berikut:

باب وقف الدواب والكراع والعروض والصامت وقال الزهري فيمن جعل ألف دينار في سبيل الله ودفعها إلى غلام له تاجر يتجر بها وجعل ربحه صدقة للمساكين والأقربين هل للرجل أن يأكل من ربح تلك الألف شيئا وإن لم يكن جعل ربحها صدقة في المساكين قال ليس له أن يأكل منها (رواه البخاري)

“Bab tentang wakaf hewan, kurā’ (berbagai kuda dari semua jenisnya), ‘urūd (harta selain emas dan perak) dan al-ṣāmit (uang emas dan perak). Al-Zuhri berkata tentang orang yang menetapkan 1.000 dinar fī sabīlillāh (wakaf) dan memberikan 1.000 dinar tersebut kepada seorang budaknya yang berdagang, lalu budaknya mengelolanya. Kemudian orang tersebut menetapkan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miskin dan familinya. Apakah orang tersebut boleh makan dari keuntungan 1.000 dinar tersebut meskipun ia tidak menyalurkan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miskin? Al-Zuhri mengatakan: Ia tidak boleh makan dengan menggunakan keuntungannya tersebut”. Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ṣaḥīh al-Bukhārī, (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 2002), 686

[2] Tim penulis, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), 101

[3] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1985), J. VII, 162

[4] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 485

[5] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1985), J. X, 7610

[6] Wahbah al-Zuhaylī, al-Waṣāyā wa al-Waqf fī al-Fiqh al-Islāmī, (Beirut: Dār al-Fikr al-Muʻāṣir, 1998), 162

[7] Mālik bin Anas, al-Mudawwanah al-Kubrá, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), J. IV, 452

[8] Abū ‘Abdu al-Raḥmān Aḥmad bin Shu’ayb bin ‘Alī al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī, (Dār al-Fikr: Beirut, 1995), J. VI, 233

[9] Shams al-Dīn Muḥammad ibn Abū al-ʻAbbās ibn Hamzah ibn Shihāb al-Dīn al-Ramlī, Nihāyah al-Muḥtāj ilá Sharh al-Minhāj, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), J. V, 357; Al-Khaṭīb al-Sharbīnī, Mughnī al-Muḥtāj, (Beirut: Dār al-Fikr, tt.), J. II, 376

[10] Abū Zakariyā Muhyiddīn bin Sharaf al-Nawāwi, al-Majmūʻ Sharh al-Muhadhdhab, (tk. Dār al-Fikr, 1997), J. XVI, 229; Abū al-Ḥasan al-Māwardī, al-Ḥāwī al-Kabīr, (Beirut: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyah: 1999), J. VII, 519

[11] ‘Abd Allāh bin Aḥmad bin Qudāmah Al-Maqdisī, al-Mughnī, (Cairo: Hijr, 1992), J. VI, 235

[12] Dalam sisitem ekonomi uang berfungsi sebagai: 1) Media transaksi penukaran, 2) Standar nilai, 3) Media simpanan, 4) Standar pembayaran yang ditunda. Lihat Khālid bin Saʻad bin Muḥammad al-Muqrin, al-Usus al-Naẓariyah Liliqtiṣād al-Islāmī, (Riyadh: t.p., 2003), 275

[13] Shams al-Dīn Muḥammad ibn Abū al-ʻAbbās ibn Hamzah ibn Shihāb al-Dīn al-Ramlī, Nihāyah al-Muḥtāj ilá Sharh al-Minhāj, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), J. 5, 357; Al-Khaṭīb al-Sharbīnī, Mughnī al-Muḥtāj, (Beirut: Dār al-Fikr, tt.), J. 2, 376

[14] Kompilasi Hukum Islam, Buku III Hukum Perwakafan, Bab I, Pasal 215, angka (1)

[15] Kompilasi Hukum Islam, Buku III Hukum Perwakafan, Bab I, Pasal 215, angka (4)

[16] Abu Su’ud Muhammad, Risālah fī Jawaz Waqf al-Nuqūd, (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1997), 20-21

[17] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1985), J. VIII, 162

[18] Abū al-Ḥasan al-Māwardī, al-Ḥāwī al-Kabīr, (Beirut: Dār al-Fikr: 1994), J. IX, 379

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL