fbpx

Siapa Yang Diwajibkan Berpuasa?

 

 

SIAPA YANG DIWAJIBKAN BERPUASA?

Oleh: Dr. M. Yusuf Siddik, MA

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana  telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqoroh: 183)

Ayat di atas adalah satu dari 5 ayat tentang puasa dalam Al Qur’an yang dicantumkan Allah SWT secara berurut dari ayat 183-187 di surah Al Baqoroh. Dalam ayat tersebut ada kandungan syarat, hukum, sejarah dan tujuan berpuasa.

Terkait dengan syarat, dalam ayat tersebut Allah memanggil orang-orang yang beriman. Artinya, bahwa tidak diperintahkan berpuasa kecuali seorang yang beriman atau muslim. Selain dari syarat Islam, beberapa hadits yang lain menambahkan syarat baligh dan berakal.  Rasulullah SAW bersabda: “Pena diangkat (kewajiban tidak diberlakukan) terhadap tiga (golongan), terhadap anak kecil hingga baligh, terhadap orang gila hingga sadar (sembuh), dan dari orang tidur hingga bangun.” (HR. Abu Daud, 4403 dan Ibnu Majah, 2041).

Syarat Islam, baligh dan berakal, disepakati berlaku untuk semua ibadah dalam Islam. Maka tidak diwajibkan apapun dari ibadah dalam Islam melainkan atas orang muslim, baligh dan berakal. Maka orang kafir, anak kecil dan orang gila tidak kena kewajiban, walau anak kecil dianjurkan kita untuk melatihnya ibadah sejak usia 7 tahun, dan boleh menghukumnya saat usia 10 tahun jika ia meninggalkan kewajiban, walau ia belum baligh, sebagai langkah pendidikan untuk mereka.

Namun disamping syarat Islam, baligh dan berakal, dalam ayat 184 dari surat Al Baqoroh, Allah menyebutkan orang-orang yang boleh tidak berpuasa atau gugur sementara darinya kewajiban berpuasa, yaitu: orang yang sakit yang tidak mampu berpuasa, orang yang dalam perjalanan jauh (musafir) serta yang lanjut usia atau yang sakitnya menahun. Untuk yang sakit dan musafir, jika ia tidak berpuasa, maka ia qodho’ di hari-hari lain. Sementara yang lanjut usia dan yang sakitnya menahun (tidak sembuh-sembuh), cukup dengan membayar fidyah, memberi makan orang miskin 1 porsi sebagai pengganti puasa 1 hari. Dengan demikian, syarat wajibnya berpuasa bertambah menjadi 5, yaitu: Islam, baligh, berakal, sehat dan tidak dalam perjalanan.

Dalam hadits yang lain, ditambahkan lagi syarat: tidak haidh dan nifas bagi wanita. Wanita yang haidh dan nifas dilarang berpuasa dan wajib mengqodho’nya di hari-hari lain. Diriwayatkan dari Mu’adzah ia berkata: “Saya pernah bertanya kepad A’isyah ra kemudian aku berkata kepadanya, bagaimana orang yang haid itu harus meng-qadla` puasa tetapi tidak wajib meng-qadla` shalat. Lantas ia (‘Aisyah ra) bertanya kepadaku, apakah kamu termasuk orang haruriyyah? Aku pun menjawab, aku bukan orang haruriyyah tetapi aku hanya bertanya. ‘Aisyah pun lantas berkata, bahwa hal itu (haid) kami alami kemudian kami diperintahkan untuk meng-qadla` puasa tetapi tidak diperintahkan untuk meng-qadla` shalat”. (HR. Muslim). Dengan demikian, syarat wajibnya puasa yang ke-6 adalah tidak haidh dan nifas.

Adapun wanita hamil dan menyusui, tidak serta merta boleh tidak berpuasa, melainkan jika kondisinya sama dengan orang yang sakit. Jika fisiknya kuat dan sanggup berpuasa, maka tetap wajib berpuasa, sebagaimana orang yang sakit, namun sakitnya hanya sekedar pilek dan batuk, atau orang yang lanjut usia, namun fisiknya masih gagah dan kuat. Jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa, maka harus diqodho’ di hari yang lain.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan, bahwa syarat wajibnya puasa :

  1. Muslim
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Mampu (tidak sakit, hamil atau menyusui yang berakibat fisiknya lemah)
  5. Muqim (atau tidak musafir)
  6. Tidak haidh dan nifas

Bagi yang terpenuhi syarat-syarat diatas, maka wajib ia berpuasa dan haram membatalkan puasa tanpa sebab yang membolehkan, berdasarkan hadits, dimana Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berbuka (membatalkan puasanya) satu hari saja rukhsoh (keringanan) yang diberikan Allah, maka tidak bisa ia qodho’ walau ia berpuasa setahun penuh”. (HR. Ahmad).

 

 

RELATED ARTIKEL