fbpx

Peran Ekonomi Wakaf dalam Undang-Undang Wakaf

Peran Ekonomi Wakaf dalam Undang-Undang Wakaf 

Lemahnya pengelolaan wakaf secara produktif ini, mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Kehadiran peraturan perundang-undangan tentang perwakafan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini berdasarkan keprihatinan atas pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia. Sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa jumlah tanah wakaf di Indonesai cukup banyak,[1] tetapi sampai saat ini keberadaan wakaf belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi umat. Padahal di negara lain seperti Mesir, Saudi Arabia, Turki, Bangladesh, wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi yang dapat membantu berbagai kegiatan umat, dan berbagai negara yang wakafnya sudah berkembang dengan baik tersebut, pada umumnya wakaf diatur dengan undang-undang.[2]

Sebelum Undang-Undang Wakaf diterbitkan, sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan tentang wakaf, antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Namun demikian, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 itu hanyalah wakaf sosial (wakaf umum) di atas tanah milik seseorang atau badan hukum. Tanah yang diwakafkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 itu dibatasi hanya tanah milik saja, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak diatur. Di samping itu, benda-benda lain seperti uang, saham dan lain-lain juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Oleh karena itu, pengembangan wakaf di Indonesia cukup tersendat-sendat.[3]

Berdasarkan hal itu dan dalam rangka meningkatkan peran sosial ekonomi lembaga wakaf, maka dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diatur hal-hal yang baru, antara lain: Pertama, ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya. Kedua, peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah.[4]

Dapat dikatakan bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah bagian dari semangat meningkatkan peran ekonomi wakaf melalui perluasan cakupan objek wakaf dan pengelolaannya yang produktif agar memberikan hasil atau keuntungan untuk kesejahteraan umat.

 

Atas dasar asas dan aspek paradigma baru tersebut, wakaf diharapkan dikelola oleh nazhir dengan pendekatan ekonomi atau bisnis, yakni suatu usaha yang berorientasi pada keuntungan dan keuntungan tersebut disedekahkan kepada para pihak yang berhak menerimanya. Bertolak dari pemikiran ini, maka tanah wakaf dapat digunakan sebagai salah satu sumber daya ekonomi. Artinya penggunaan tanah wakaf tidak terbatas hanya untuk keperluan kegiatan-kegiatan tertentu saja berdasarkan orientasi konvensional, seperti pendidikan, masjid, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain. Tetapi tanah wakaf dalam pengertian makro dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi, seperti: pertanian termasuk “mixed farm” atau pertanian dan peternakan, industri, pertambangan, realestate, office-building, hotel, restoran dan lain-lain. Kedudukan tanahnya tetap, sebagai tanah wakaf, tetapi hasilnya mungkin dapat dimanfaatkan secara lebih optimal, ketimbang misalnya, tanah wakaf hanya digunakan untuk sarana-sarana yang terbatas saja. Tentu saja, umat Islam tidak perlu memanfaatkan semua tanah wakaf hanya untuk tujuan-tujuan produktif saja, tetapi hal ini dapat dianggap sebagai salah satu alternatif untuk mengoptimalkan fungsi wakaf itu.[5]

Dalam rangka memanfaatkan tanah wakaf untuk kegiatan-kegiatan ekonomi, maka harus diketahui posisi tanah wakaf, sehingga dapat dipilih jenis usaha yang cocok yang dapat dikembangkan di atas tanah wakaf tersebut. Dalam hal posisi tanah wakaf dan alternatif jenis usaha ini, tanah wakaf dikategorikan menjadi tiga yaitu: tanah pedesaan, tanah perkotaan dan tanah di tepi/pinggir pantai.

Pertama, tanah pedesaan. Berdasarkan segi lokasinya, tanah wakaf di pedesaan dibedakan menjadi lima macam: (a) tanah persawahan, (b) tanah perkebunan, (c) tanah ladang, (d) tanah rawa, dan (e) tanah perbukitan. Jenis usaha yang cocok untuk tanah persawahan antara lain: pertanian dan ternak/tambak ikan. Jenis usaha yang cocok untuk tanah perkebunan antara lain: perkebunan, home industry. Jenis usaha yang cocok unuk tanah rawa antara lain: perikanan dan tanaman sayuran. Jenis usaha yang cocok untuk tanah perbukitan antara lain: tempat wisata, perkebunan, bangunan, home industry, dan penyulingan air.

Kedua, tanah perkotaan. Berdasarkan lokasinya, tanah wakaf di perkotaan juga dibedakan menjadi lima macam: (a) tanah pinggir jalan raya/jalan protokol, (b) tanah pinggir jalan dekat jalan utama, (c) tanah pinggir jalan raya dekat jalan tol, (d) tanah di dekat/di dalam perumahan, dan (e) tanah dekat pusat keramaian (pasar, terminal, stasiun, pelabuhan, sekolah atau bandara).

Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf di pinggir jalan raya yang dekat dengan jalan protokol antara lain: perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen, hotel/penginapan, dan atau gedung pertemuan. Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf pinggir jalan raya yang dekat dengan jalan utama antara lain: perkantoran, pertokoan, pusat perbelanjaan, rumah sakit, rumah makan, sarana pendidikan, hotel/penginapan apartemen, gedung pertemuan, pom bensin, apotek, warung internet (warnet), dan atau bengkel mobil. Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf pinggir jalan raya yang dekat dengan jalan tol antara lain: pom bensin, bengkel, rumah makan, outlet/FO, dan atau warung. Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf di dekat atau dalam lingkungan perumahan antara lain: sarana pendidikan, klinik, apotek, outlet/FO, warung, catering, Bayt al-Māl wa al-Tamwīl (BMT). Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf dekat dengan tempat keramaian (pasar, terminal, stasiun, pelabuhan, sekolah, atau bandara) antara lain: pertokoan, rumah makan, bengkel, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) atau Bayt al-Māl wa al-Tamwīl (BMT), warung internet (warnet), klinik dan atau jasa penitipan.

Ketiga, tanah di pinggir pantai. Berdasarkan lokasinya, tanah wakaf di pinggir pantai dibedakan menjadi dua: (a) pinggir laut, dan (b) rawa bakau. Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf di pinggir laut antara lain: tambak ikan, objek wisata, dan atau home industry kerajinan. Sedangkan jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf yang terletak di rawa bakau adalah perkebunan.[6]

Apabila terdapat tanah wakaf yang tidak strategis atau tidak produktif, maka dapat dilakukan penukaran dengan tanah wakaf lain yang lebih mudah dikembangkan untuk kegiatan yang produktif.[7] Atau jika ada tanah wakaf yang strategis namun pengelolaannya kurang maksimal dan tidak memberikan keuntungan ekonomi karena peruntukannya hanya untuk kegiatan sosial atau ibadah, maka dapat dilakukan perubahan peruntukan tanah wakaf sehingga dapat dikelola secara produktif.[8] Cara lain adalah dengan menggunakan strategi campuran, sebagian tanah wakaf yang strategis itu digunakan untuk keperluan pendidikan dan sosial secara permanen dan sebagian lagi digunakan untuk pengembangan tanah wakaf itu dalam arti optimalisasi tujuan wakaf itu sendiri, dengan kata lain mengelola tanah-tanah wakaf itu secara produktif. Kombinasi antara tanah wakaf yang digunakan secara langsung dan tanah wakaf yang dikelola untuk tujuan-tujuan produktif sangat ideal.[9]

Satu contoh dari penggunaan strategi campuran ini misalnya:[10] Ada tanah wakaf yang di atasnya berdiri sebuah masjid berlantai dua yang berada dalam wilayah yang sangat strategis dengan kawasan perkantoran dan pusat bisnis di wilayah Jakarta Selatan. Di sekitar lokasi tanah wakaf tersebut berdiri beberapa bangunan perkantoran dan bisnis megah seperti gedung Erricson, mal, ruko-ruko dan lain-lain. Melihat dari jenis gedung-gedung bisnis dengan karakteristik usaha yang ada di sekitar tanah wakaf tersebut merupakan mesin uang yang sangat besar dan merupakan sumber pendapatan ekonomi yang luar biasa. Oleh karena itu, pemberdayaan tanah tersebut dengan membuat sebuah rancangan gedung bisnis Islami (Wakaf Centre) berlantai 15 dengan masjid di lantai satu misalnya menjadi sebuah keniscayaan. Dengan model seperti ini, nazhir wakaf akan memperoleh keuntungan ekonomi sebagai berikut:

Pertama, nazhir wakaf yang profesional tidak perlu bersusah payah mencari dana dengan mengajukan berbagai proposal yang sering kurang proporsional jika dilihat dari posisi tanah yang menguntungkan secara ekonomi.

Kedua, karena pendapatan dari hasil pengelolaan tanah wakaf ini sangat menguntungkan dengan jumlah yang sangat besar, maka biaya operasional setiap bulan seperti: biaya listrik, air PAM, telpon, gaji marbot, maintenance alat-alat dan bangunan masjid, perbaikan sarana dan prasarana masjid dapat dipenuhi secara mudah, bahkan sangat surplus.

Ketiga, dengan kondisi keuangan yang sangat bagus, maka nazhir wakaf dapat mengembangkan sayap dakwah melalui kekuatan dana yang cukup, seperti: santunan musafir, yatim-piatu, fakir miskin dan kaum lemah lainnya, beasiswa, pendidikan bermutu dengan biaya murah, penyediaan modal pengusaha kecil dan sebagainya.

Keempat, dengan sendirinya, tanah wakaf yang dikelola secara profesional ini akan menciptakan lapangan kerja baru, menyejahterakan para pengurus, ustadz, kyai dan pihak-pihak yang terkait dengan gaji yang layak.

Bentuk usaha lain yang dapat dilakukan dalam rangka menjadikan wakaf sebagai sumber ekonomi Islam adalah dengan menghimpun wakaf uang untuk membiayai usaha-usaha produktif yang menguntungkan.[11] Wakaf uang memiliki kekuatan yang bersifat umum di mana setiap orang bisa mewakafkan uangnya tanpa batas-batas tertentu. Demikian juga fleksibilitas wujud dan pemanfaatannya yang dapat menjangkau seluruh potensi untuk dikembangkan. Mustafa Edwin Nasution pernah membuat asumsi bahwa jumlah penduduk muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan penghasilan rata-rata antara 0,5 juta – 10 juta perbulan. Dan ini merupakan potensi yang besar. Bayangkan misalnya warga yang berpenghasilan Rp. 0,5 juta sebanyak 4 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp. 60 ribu, maka setiap tahun akan terkumpul Rp. 240 miliar. Jika warga yang berpenghasilan 1-2 juta sebanyak 3 juta jiwa dan setiap tahun masing-masing berwakaf 120 ribu, maka akan terkumpul dana sebesar Rp. 360 miliar. Jika warga yang berpenghasilan 2-5 juta sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp. 600 ribu, akan terkumpul dana Rp. 1,2 trilyun. Dan jika warga berpenghasilan Rp. 5-10 juta berjumlah 1 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf 1,2 juta, akan terkumpul dana 1,2 trilyun. Jadi dana yang terkumpul mencapai 3 trilyun setahun.[12]Tentunya akan sangat banyak yang bisa dilakukan dengan dana sebanyak itu. Karenanya model wakaf uang sangat tepat memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu permasalahan ekonomi Indonesia.[13]

 

Penutup

Wakaf disyariatkan untuk mewujudkan beberapa tujuan. Menurut Muhammad Abdul Halim Umar tujuan tersebut ada yang bersifat agamis, yaitu menunaikan hak Allah SWT selaku pemilik hakiki harta benda wakaf yang dititipkan untuk para hamba-Nya yang berhak (mawqūf ‘alayh). Ada yang bersifat sosial, seperti memberikan jaminan sosial demi terciptanya stabilitas di masyarakat dan mengembangkan sumber daya manusia dengan memberikan layanan pendidikan, kesehatan, serta fasilitas umum. Ada juga tujuan yang bersifat ekonomi, seperti memberikan modal, kontribusi dalam menciptakan lapangan kerja, mengurangi beban anggaran publik, dan tujuan-tujuan lainnya yang dapat direalisasikan melalui wakaf.[14] Tujuan wakaf yang bersifat ekonomi inilah yang perlu mendapat perhatian serius dari stakeholder perwakafan di Indonesia karena memang realitasnya umat Islam di Indonesia belum banyak merasakan manfaat ekonomi dari wakaf akibat banyak tanah wakaf yang belum dikelola dan dikembangkan secara produktif.

 

(Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Jurnal Al-Awqaf BWI Vol.7 No.2, Juli 2014)

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Achmad Junaidi dan Thobieb al-Asyhar.Menuju Era Wakaf Produktif.Depok: Mumtaz Publishing, 2010.

Al-‘Ayyasyi al-Shadiq Fadad. Istithmār Amwāl al-Waqf Ruʻyah Fiqhiyyah wa Iqtiṣādiyah dalam al-Istithmārāt al-Waqfiyyah. Dubai: Muassasah al-Awqāf wa Shu’ūn al-Quṣṣar, t.th.

Farida Prihatini, dkk. Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia. Jakarta: Papas Sinar Sinanti dan Fakultas Hukum UI, 2005.

Imam Muhammad bin Ismail al-Shan’ani.Subul al-Salām. Bandung: Dahlan, t.th.

Irfan Abu Bakar, dkk. Filantropi Islam dan Keadilan Sosial. Jakarta: Center for The Study of Religion and Culture UIN Jakarta, 2006.

Jaih Mubarok. Wakaf Produktif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.

Jon E,Mandaville, “Usurious Piety: The Cash Waqf Controversy in the Ottoman Empire”, International Journal of Middle East Studies 10 (1979).

Muhammad Abdul Halim Umar. Manajemen Wakaf Modern dan Implementasinya. Makalah disampaikan pada acara Simposium International Manajemen Wakaf Kontemporer Kerjasama BWI, KAPF, IRTI-IDB, Jakarta, Hotel Milenium, 6-9 Juni 2011.

Murat Cizakca.“Awqaf in History and Its Implications for Modern Islamic Economies”, Journal of Islamic Economic Studies, Vol. 6, No.1, November (1998).

Tahir Azhary. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-Hill-Co, 2003.

Tim penulis. Bunga Rampai Perwakafan. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006.

Tim Penulis.Fiqh Wakaf. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.

Tim penulis. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2008.

Tim Penulis. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010.

Tuty A. Najib, dkk.Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan.Jakarta: Center for The Study of Religion and Culture UIN Jakarta, 2006.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

 

 

[1]Data Kementerian Agama tahun 2013 menyebutkan bahwa tanah wakaf di Indonesia tersebar di 428.535 lokasi dengan luas total mencapai 3.993.538.769 M2, di mana tanah wakaf di 287.026 lokasi statusnya sudah bersertifikat (66,98%) dan tanah wakaf di 141.509 lokasi statusnya belum bersertifikat (33,02%).

[2]Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia (Jakarta: Papas Sinar Sinanti dan Fakultas Hukum UI, 2005), 131.

[3]Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia, 131-132.

[4]Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bagian pertama umum.

[5]Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam (Jakarta: Ind-Hill-Co, 2003), 246.

[6]Tim penulis, Bunga Rampai Perwakafan (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), 155-167.

[7]Dalam Pasal 49, ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dijelaskan bahwa perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri Agama berdasarkan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia. Izin tertulis dari Menteri Agama tersebut hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah; b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.

[8]Perubahan peruntukan harta benda wakaf diperbolehkan setelah mendapat izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia, yaitu apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf dan harta benda wakaf dipergunakan untuk kepentingan keagamaan dan kemaslahatan umat yang lebih bermanfaat dan/atau produktif. Lihat Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2)Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal 3 Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 03 Tahun 2012 tentang Perubahan Peruntukan Harta Benda Wakaf.

[9]Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam,247-248.

[10]Achmad Junaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Depok: Mumtaz Publishing, 2010), 111-113.

[11]Sejarah telah mencatat bahwa pada masa Khilafah Utsmaniyah di Turki tepatnya pada awal abad ke-15, wakaf uang telah diamalkan bahkan kemudian pada akhir abad ke-16 menjadi wakaf yang dominan.Lihat Murat Cizakca, “Awqaf in History and Its Implications for Modern Islamic Economies”, JournalofIslamic Economic Studies, Vol. 6, No.1, November (1998), 54,http:// waqaf. org.my /wp/wp-content/uploads/2013/11/Awqaf-in-History-and-its-Implications-for Modern -Islamic-Economies-Murat-Cizakca.pdf (diakses tanggal 23 Mei 2013). Lihat jugaJon E,Mandaville, “Usurious Piety: The Cash Waqf Controversy in the Ottoman Empire”, International Journal of Middle East Studies 10 (1979), 289, http://www.jstor.org/discover/10.2307/162140?uid=3738224&uid=2129&uid=2&uid=70&uid=4&sid=21103799994601 (diakses tanggal 23 Mei 2013).

[12]Tim Penulis, Fiqh Wakaf(Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 92.

[13]Tim Penulis, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai (Jakarta: Departemen Agama, 2008), 72.

[14]Muhammad Abdul Halim Umar, Manajemen Wakaf Modern dan Implementasinya, 4. Makalah disampaikan pada acara Simposium International Manajemen Wakaf Kontemporer Kerjasama BWI, KAPF, IRTI-IDB, Jakarta, Hotel Milenium, 6-9 Juni 2011.

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL