fbpx

Manajemen Nafkah Dan Tanggung Jawab Suami Istri Bag 2

MAI Foundation, Tanggung, Jawab,Suami, Istri, Pernikahan

Oleh : Dr. M. Yusuf Siddik, MA

Sebab Diwajibkannya Nafkah

Ada 3 sebab wajibnya nafkah :

  1. Adanya ikatan hubungan suami isteri yang sah.
  2. Adanya hubungan kekerabatan.
  3. Kepemilikan.

Macam-macam nafkah

Dari ketiga sebab wajibnya nafkah diatas, maka nafkah dapat dibagi sebagai berikut :

  1. Nafkah untuk isteri.
  2. Nafkah untuk anak keturunan.
  3. Nafkah untuk orangtua.
  4. Nafkah untuk kerabat dekat dst.
  5. Nafkah untuk hewan ternak dan hewan peliharaan.
  6. Nafkah untuk tumbuh-tumbuhan.
  7. Nafkah untuk rumah, tanah dan harta yang dimiliki.

 

Syarat Isteri Berhak Nafkah

  1. Ada ikatan pernikahan yang sah.

Ikatan hubungan suami isteri yang sah menjadi syarat utama adanya kewajiban bagi suami memberikan nafkah kepada isterinya. Karena jika akad nikahnya tidak sah, atau kedua pasangan tersebut tidak ada ikatan hubungan suami isteri yang sah, maka keduanya tidak boleh hidup serumah dan secara otomatis tidak ada kewajiban bagi laki-laki tersebut menafkahi wanita yang belum sah menjadi isterinya. Maka dengan syarat ini, tidak ada kewajiban nafkah untuk :

  1. Wanita selingkuhan, yang belum sama sekali diikat dengan ikatan akad nikah yang sah.
  2. Wanita yang dinikahi dengan nikah mut’ah, atau nikah kontrak. Karena menurut Ahlussunnah wal Jamaah, nikah mut’ah diharamkan.
  3. Wanita yang dinikahi dengan akad nikah yang cacat secara syar’i, seperti nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi dan nikah dipaksa.
  4. Memberikan hak suami untuk menyetubuhinya.

Wanita yang tidak memenuhi hak suaminya untuk menyetubuhinya tidak berhak atas nafkah. Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama’. Hal ini berdasarkan firman Allah : “bagi mereka (hak) sebagaimana (kewajiban) atas mereka secara ma’ruf”.  (QS. Al Baqoroh : 228). Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa hak berbanding lurus dengan kewajiban. Disaat kewajiban dilaksanakan, maka secara otomatis seorang berhak mendapatkan sesuatu. Disaat suami melaksanakan kewajibannya dengan memberikan nafkah, maka ia berhak untuk dilayani. Begitu juga sebaliknya, disaat isteri telah melayani kebutuhan biologis suami, maka ia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW saat ditanya seorang wanita dari Bani Khots’am, “apa hak suami atas isterinya? Jawab beliau : hendaklah ia melayani suaminya walau diatas unta sekalipun”.

  1. Berbakti kepada suami.

Berbakti kepada suami bagi seorang isteri adalah kewajiban. Jika ia tidak melaksanakan kewajiban, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Bahkan taat atau berbakti kepada suami adalah salah satu kunci syurga bagi isteri. Rasulullah SAW bersabda “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Rasulullah SAW juga bersabda : “Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

  1. Tinggal bersama suami, dimanapun ia berada.

Disebabkan adanya kewajiban berbakti dan memenuhi kebutuhan biologis suami, maka isteri harus tinggal bersama suami dimanapun ia berada. Isteri tidak boleh menolak ajakan suami untuk pindah ke daerah lain dalam rangka tugas atau mencari peluang hidup yang baru. Demikian juga suami, tidak boleh membiarkan isterinya tinggal jauh darinya. Karena suami wajib menafkahi isterinya, maka sulit bagi suami untuk memenuhi kewajiban ini jika isteri berada jauh darinya.

  1. Kedua suami isteri dapat melakukan hubungan suami isteri.

Maka tidak diwajibkan atas suami memberi nafkah isterinya, jika isterinya belum bisa melakukan hubungan suami isteri, disebabkan antara lain : belum baligh. Karena di dalam Islam, ada beberapa kondisi dimana seorang wanita boleh dinikahi walau ia belummasuk usia baligh. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada Aisyah. Namun pernikahan seperti ini tidak berakibat adanya kewajiban dan hak antara mereka, melainkan jika keduanya telah dewasa, maka keduanya saat itu baru menentukan, apakah pernikahan tersebut akan diteruskan atau difasakh (dibatalkan).

Wanita yang tidak berhak dinafkahi

Berdasarkan syarat-syarat diatas, maka wanita-wanita berikut tidak berhak nafkah dari suaminya, yaitu :

  1. Wanita yang tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah. Maka tidak berhak nafkah :
  2. Wanita yang dinikahi dengan nikah mut’ah (nikah kontrak), karena ulama’ Ahlussunnah wal Jamaah mengharamkan nikah mut’ah. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut :
  3. Rasulullah SAW bersabda : “Wahai manusia, aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah, ketahuilah, sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat”. (HR. Ibnu Majah).
  4. Berkata Al Khottobi : pengharaman nikah mut’ah adalah ijma’ ulama’ kecuali sebagian kelompok Syi’ah (yang menghalalkannya), namun pendapat mereka (Syi’ah) tidak dapat diterima karena bertentangan dengan pendapat mayoritas sahabat dan ulama’ setelah mereka, termasuk Ali ibn Abi Tholib yang juga mengharamkannya.
  5. Berkata Ali : “Sesungguhnya Rasulullah mengharamkan nikah Mut’ah pada perang Khoibar, juga mengharamkan keledai jinak”. (HR. Ibnu Majah).
  6. Baihaqi meriwayatkan, bahwa Ja’far ibn Muhammad (salah seorang cucu Rasulullah SAW) ditanya tentang mut’ah, beliau mengatakan : “itu adalah zina”. Karena jika nikah Mut’ah dibolehkan, maka hal itu bertentangan dengan tujuan dari syariat nikah yaitu menjaga kehormatan wanita. Karena dengan nikah Mut’ah, wanita sama saja seperti pelacur yang dinikahi oleh laki-laki untuk masa tertentu lalu ia tinggalkan.
  7. Wanita yang dinikahi dengan cara yang tidak sah, disebabkan syarat atau rukun nikah yang tidak terpenuhi. Seperti :
  8. Wanita yang dinikahi oleh laki-laki yang sebenarnya tidak boleh menikahinya karena ada hubungan nasab yang dekat seperti ayah, anak, saudara laki-laki, atau karena ada hubungan persusuan seperti anak susuan, saudara laki-laki sesusuan, atau disebabkan adanya pernikahan seperti mertua, menantu dan anak tiri.
  9. Wanita yang menikah tanpa wali atau tidak disetujui oleh walinya karena alasan syar’i. Alasan syar’i yang membolehkan wali untuk menghalangi pernikahan wanita adalah karena calon mempelai laki-laki berbeda agama, atau tidak melaksanakan ajaran agama dengan benar, atau tidak memiliki akhlaq yang mulia. Jika calon mempelai laki-laki termasuk orang yang bagus agamanya, menjalankannya dengan baik, serta berakhlaq, maka wali tidak berhak menghalangi pernikahan tersebut, berdasarkan hadits Rasulullah SAW : “jika telah datang kepada kalian seorang (laki-laki) yang kalian ridho (puas) dengan agamanya, maka nikahkanlah dia, jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar”. (HR. Turmudzi dan menurutnya haditsnya hasan).
  10. Wanita yang dinikahi hanya untuk menghalalkan dirinya rujuk (menikah lagi) dengan mantan suaminya yang telah menceraikannya dengan talak tiga. Karena pernikahan seperti ini diharamkan oleh Rasulullah SAW (HR. Turmudzi dan menurutnya Hasan Shohih).
  11. Wanita yang dinikahi tanpa kehadiran 2 saksi yang adil, atau wanita yang dinikahkan oleh bukan ayahnya atau walinya tanpa menggunakan kata mewakili atau menyebutnya sebagai anaknya dalam ijab qobul, wanita yang dinikahi oleh seorang laki-laki sementara ia sebenarnya masih berstatus sebagai isteri laki-laki lain dan wanita yang dinikahi seorang laki-laki dengan syarat isteri pertamanya diceraikan.
  12. Isteri yang menolak berhubungan suami isteri, tanpa uzur syar’i.

Isteri boleh menolak keinginan suaminya untuk bersetubuh dengan syarat  ada uzur syar’i antara lain :

  1. Sedang dalam masa haid atau nifas. Islam mengharamkan hubungan suami isteri saat haidh dan nifas. Hal ini berdasarkan firman Allah : “Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang masa haidh, katakan bahwa itu adalah penyakit, maka jauhilah mereka (para isteri) saat mereka dalam masa haidh, dan jangan dekati mereka (setubuhi) hingga mereka suci (dari haidhnya), maka jika mereka telah bersuci maka datangilah mereka sebagaimana Allah telah memerintahkan kalian, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri”. (QS. Al Baqoroh : 222). Namun ayat ini tidak melarang laki-laki untuk tidur satu ranjang dengan isterinya yang sedang haidh, selama ia tidak melakukan jima’ (hubungan intim). Rasulullah SAW bersabda : “lakukan apapun (saat isteri haidh) kecuali nikah (hubungan suami isteri)”.
  2. Sedang dalam ihram, karena diantara hal yang diharamkan kala ihrom adalah menikah, dinikahi dan berhubungan suami isteri.
  3. Sedang sakit, karena orang yang sakit dalam Islam diberi keringanan dalam menjalankan kewajibannya, termasuk melayani suami. Termasuk sakit adalah di saat isteri terlalu letih karena pekerjaan rumah yang terlalu banyak, melebihi dari kebiasaan.

Namun diwajibkan bagi isteri, saat ,menolak ajakan suam karena ada uzur, harus dengan cara yang baik-baik. Jika tidak ada uzur sama sekali,maka haram bagi isteri menolak. Rasulullah SAW bersabda : “Hak suami terhadap isteri, ia tidak boleh menolak ajakannya walai diatas unta sekalipun”. (HR. Abu Daud).

  1. Isteri yang menolak tinggal atau pindah bersama suami.
  2. Isteri yang kabur dari rumah suami.
  3. Isteri atau suami belum baligh.
  4. Isteri dipenjara, kecuali jika dia dipenjara karena tuntutan suami.
  5. Isteri yang melakukan perjalanan jauh tanpa izin suami, baik urusan dinas atau ibadah.
  6. Isteri yang berpuasa sunat tanpa izin suami.

 

Kondisi dimana wanita tetap wajib dinafkahi

  1. Saat ia sakit,walaupun ia tidak dapat melayani suami.
  2. Saat suami dipenjara.
  3. Saat suami menderita impoten.
  4. Saat isteri melakukan perjalanan jauh atas izin suami.

Baca Juga: Manajemen Nafkah Dan Tanggung Jawab Suami Istri Bag 1

RELATED ARTIKEL