fbpx

Konsekuensi Bagi Ibu Hamil dan Menyusui yang meninggalkan Puasa, Qadha atau Fidyah?

Kondisi hamil dan menyusui merupakan kondisi yang cukup berat dan melelahkan bagi wanita. Dalam surah Luqman ayat 14, Allah menceritakan hal tersebut:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu . (QS.Luqman: 14)

Karena kondisi hamil dan menyusui yang berat ini, Allah meskipun tidak menyebutkan langsung dalam Al-Qur’an bahwa mereka mendapat keringanan puasa, tapi di dalam hadisnya rasulullah menyebutkankan:

Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. (HR. Ahmad)

Berdasarkan hadis di atas para ulama fiqih semuanya sepakat bagi wanita hamil ataupun menyusui yang kesulitan atau berat untuk berpuasa, boleh berbuka atau tidak puasa Ramadhan. Tapi ada kewajiban yang dibebankan kepada mereka, sebagai ganti dari puasa yang mereka tinggalkan. Dan dalam kewajiban apa yang harus dilakukanbagi wanita hamil dan menyusui ini nantinya mereka berbeda pendapat. Ada yang mewajibkan qadha saja, ada juga yang mewajibkan fidyah.

Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh menyebutkan:[1]

Dibolehkan bagi wanita hamil dan meyusui tidak berpuasa; kalau dia khawatir kondisinya akan lemah atau kondisi bayinya. Terlepas apakah bayi yang disusui anak kandungnya sendiri ataukah anak susuannya. Apakah dia ibu kandung atau ibu susuan.

Kekhawatirannya berdasarkan pengalaman yang ada, dari diagnosa dokter terpercaya, yang menyatakan besar kemungkinan puasanya menyebabkan kelemahan akal, atau akan membawa kepada kebinasaan (kematian) atau sakit.

Dan dalil yang membolehkan bagi keduanya untuk tidak berpuasa adalah qiyas. Mereka diqiyaskan kepada orang yang sakit dan musafir. Serta hadis nabi SAW:

 

Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. (HR. Ahmad dan ashhabu sunan)

Dan puasa terkadang menjadi haram bagi wanita hamil dan menyusui jika dikhawatirkan puasa tersebut dapat menyebabkan kematian bagi sang ibu atau anaknya.

Jika keduanya berbuka atau tidak berpuasa, konsekuensinya adalah wajib qadha (mengganti puasanya di hari yang lain) menurut madzhab Hanafi, serta membayar fidyah juga kalau meninggalkan puasa karena semata-mata mengkhawatirkan kondisi bayinya menurut madzhab Asy-Syafi’i dan Hambali. Adapun menurut madzhab Maliki beserta fidyah bagi wanita menyusui, bukan wanita hamil.

Dan untuk lebih jelasnya berikut pendapat-pendapat ulama empat madzhab mengenai kewajiban tersebut.

  1. Madzhab Hanafi

As-Sarakhsi (w.483H) salah seorang ulama Hanafiyah menyebutkan:

Ketika wanita hamil atau menyusui dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa, sebagaimana hadis nabi Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa fidyah. [2]

Menjadi pendapat resmi madzhab Hanafi, tidak diwajibkan bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, kecuali qadha saja.

  1. Madzhab Maliki

Imam Malik (w.179H) yang merupakan pendiri madzhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Mudawanah:

Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewakan ibu susuan bagi bayinya. Tapi kalau sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, dimana dia harus mengqadha dan membayar  fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk orang setiap orang miskin. Kemudian imam Malik menyebutkan: bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan. [3]

Dalam Al-Mudawanah juga dijelaskan kenapa antara wanita hamil dan menyusui dibedakan dalam hal membayar fidyah. Hal tersebut karena wanita yang hamil dianggap sebagai wanita yang sakit, sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah atau sakit seperti wanita hamil. Itu alasan mereka. Kemudian kenapa fidyah diwajibkan, karena alasan meninggalkan puasa adalah karena kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, bukan karena fisik ibu yang tidak kuat berpuasa. [4]

  1. Madzhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab beliau Al-Majmu’ menyebutkan:

Menurut para ulama kami, wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir terhadap kondisi fisik mereka dengan berpuasa, keduanya dapat berbuka dan mengqadha puansanya, tanpa membayar fidyah. Seperti halnya orang sakit. Dalam hal ini tidak terjadi khilaf. Begitu juga dia yang mengkhawatirkan kondisi fisiknya serta bayinya seperti yang dijelaskan oleh Ad-Darimi dan As-Sarakhsi dan selain keduanya. Adapun wanita yang khawatir terhadap bayinya, bukan fisik dianya, maka ketika dia tidak berpuasa, dia wajib mengqadha dan fidyah berdasarkan pendapat yang paling shahih yang disepakati oleh ulama (syafi’iyah). [5]

 

  1. Madzhab Hambali

Ibnu Qudamah (w.620 H) dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:

Bagi wanita hamil ketika mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi bayinya, jika tidak berpuasa, wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan kondisi diri mereka, maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadhanya saja.[6]

Dari pendapat-pendapat di atas. Jika mau dipetakan sebagai berikut:

Ibu Hamil dan Meyusui: Qadha atau Fidyah?

Jenis Ibu Ibu Lemah Anak lemah Qadha Fidyah Madzhab
Hamil Yes Yes Yes No Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali
Yes No Yes No Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali
No Yes Yes Yes Syafi’i,

Hambali

Menyusui Yes Yes Yes No Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hmabali
Yes No Yes No Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali
No Yes Yes Yes Maliki, Syafi’I,

Hambali

 

Wallahua’lam.

 

[1] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Jilid.3, hal 1700,1701.

[2] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3, hal 99.

[3] Malik, Al-Mudawanah, jilid 1, hal 278

[4] Malik, Al-Mudawanah, jilid 1, hal 279

[5] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, jilid 6, hal 267

[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3, hal 149

 

 

Sumber dari Isnawati, Lc dari Rumah Fiqih

 

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL