fbpx

Hukum Membaca Qunut

Hukum QunutUntuk melahirkan hukum syar’i yang kuat mengenai hukum membaca qunut subuh, setidaknya harus melalui tiga tahapan:

  1. Mendatangkan dalil dan membuktikan validitasnya.
  2. Melakukan istidlal yang benar
  3. Menjawab I’tirod (kritikan dan bantahan).

Ibarat ingin memproduksi sebuah handphone berkualitas, maka yang pertama adalah pengadaan bahan baku, proses produksi yang benar kemudian melakukan tes dan pengujian produk.

Ketika suatu hukum hanya dinilai dari dalilnya saja, ibarat kata menanyakan handphone terbuat dari bahan apa? Walaupun bahannya bagus tapi bila proses produksinya salah maka ketika dilakukan pengujian kualitas produk, bisa dipastikan handphone tersebut tidak akan lolos, alias produk gagal.

Kita masuk ke masalah hukum membaca qunut subuh, mau terima atau tidak, masalah ini memang masalah mukhtalaf fih, masalah yang masih diperselisihkan para ulama.

Setiap ulama punya dalil atas pendapat mereka tentu dengan istidlalnya. Yang menjadi fokus saya adalah pendapat madzhab Syafi’i yang juga merupakan pendapat mayoritas salafusholih, yaitu bahwa Qunut subuh itu disyari’atkan, hukumnya sunnah muakkad.

Untuk mengetahui kualitas pendapat ini, mari kita lalui ketiga tahap yang telah saya sebutkan;

  1. Dalil (hujjah)

“Dan ulama kami berhujjah dengan hadits Anas -rodhiyallahu ‘anhu- : bahwasannya Nabi Muhammad melakukan qunut selama satu bulan, mendo’akan kejelekan kepada mereka kemudian meninggalkan (do’a) tersebut. Adapun qunut subuh maka beliau tetap melakukannya sampai wafat.”

Hadits shohih, diriwayatkan oleh sekelompok huffadz, mereka semua menshohihkannya.

Dan di antara yang menyatakan secara jelas tentang itu adalah al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi dan al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat dalam di kitab-kitabnya, begitu juga al-Baihaqi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shohih.

“Dari Awam bin Hamzah, dia berkata: “saya bertanya kepada Abu Utsman tentang qunut subuh, dia menjawab: qunut subuh itu setelah ruku’. Aku bertanya lagi: dari mana kamu tahu itu? Dari Abu Bakar, Umar dan Ali -rodhiyallahu anhum-.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dia berkata: hadits ini sanadnya hasan. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Umar dengan beberapa jalan.

“Dari Abdillah bin Ma’qil, seorang Tabi’in, dia berkata: Ali -rodhiyallahu ‘anhu- melakukan qunut subuh.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dia berkata: hadits ini dari sahabat Ali shohih masyhur.

Dari al-Barro -rodhiyallahu ‘anhu- : “sesungguhnya Rosulullah selalu melakukan qunut di Subuh dan Maghrib.” Hadits riwayat Muslim. Sedangkan dari riwayat Abu Daud tidak ada lafadz Maghrib. Dan tidak mengapa meninggalkan qunut di shalat Maghrib karena memang tidak wajib atau ijma’ ulama telah menasikh hukum tersebut.

  1. Istidlal

Hadits-hadits yang digunakan sebagai hujjah adalah hadits shohih atau hasan, yang mana itu semua itu semua sudah diklarifikasi oleh para hafidz, seperti al-Hakim, al-Baihaqi, Daruquthni dan lainnya.

Al-Hafidz adalah gelar yang sangat tinggi dalam dunia hadits, yaitu orang yang hafal dengan baik seratus ribu hadits matan dan sanadnya, tahu jenis-jenis hadits baik secara riwayat maupun diroyat, tahu ilal hadits dan sebagainya.

Perlu juga diketahui, masalah tashih hadits adalah maslah ijtihadiyah, artinya penilaian satu orang ahli hadits dengan ahli hadits lainnya kadang berbeda, tinggal dilihat saja mana yang lebih berilmu dan lebih terpercaya.

Hadits-hadits tersebut manthuqnya secara shorih, tegas, eksplisit mengatakan bahwa Nabi melakukan Qunut subuh, begitu juga Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang ditinggalkan adalah do’a buruk dan laknat atas orang-orang kafir.

  1. Menjawab i’tirodh (kritik dan bantahan)

Ulama-ulama lain yang tidak sependapat membawakan beberapa dalil untuk meruntuhkan pendapat dari madzhab Syafi’i, namun bukan pendapat yang kuat namanya bila tak mampu menjawab argumen-argumen dari pengkritik. Berikut dalil pendapat lain dan jawaban dari madzhab Syafi’i yang diwakili oleh al-Imam an-Nawawi -rodhiyallahu ‘anhu-

  1. Hadits Anas

“Bahwasannya Nabi Muhammad melakukan Qunut setelah ruku’ selama satu bulan, Beliau mendo’akan kejelekan atas sebagian orang-orang arab kemudian meninggalkannya”. HR. Bukhori Muslim

Jawaban:

Adapun jawaban atas hadits Anas dan hadits Abu Hurairoh yaitu hadits yang berbunyi “kemudian Nabi meninggalkannya”, maksudnya adalah meninggalkan do’a keburukan dan laknat atas orang-orang kafir, bukan meninggalkan qunutnya. Atau juga maksudnya adalah meninggalkan qunut di shalat selain shalat Subuh.

Penafsiran ini sangat kuat, karena hadits Anas yang berbunyi: “Nabi tetap qunut subuh sampai wafat” merupakan hadits shohih dan jelas (eksplisit menunjukan qunut subuh), maka wajib dilakukan al-jam’u (kompromi) diantara dua hadits tersebut. Dan yang kami sebutkan adalah hasil yang kuat dari proses al-jam’u tersebut.

Dan al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Mahdi, seorang Imam (ilmu hadits) bahwasannya dia berkata: “yang ditinggalkan oleh Nabi adalah laknat”. Tafsiran ini juga diperkuat oleh hadits Abu Hurairoh di atas yang berbunyi: “kemudian Nabi meninggalkan do’a atas mereka

  1. Hadits Sa’d bin Thoriq

“Dari Sa’d bin Thoriq: aku bertanya pada ayahku: wahai ayah, sesunggunya engkau telah sholat di belakang Rosulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, apakah mereka melakukan qunut subuh? Ayah menjawab: “wahai anakku itu adalah perkara baru” HR. Nasai dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: hadits hasan shohih.

Jawaban:

Adapun jawaban untuk hadits Sa’d bin thoriq: bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan (qunut) sangat banyak dan pada mereka ada tambahan informasi (dari sekedar hadits Sa’d bin Thoriq), maka wajib mengunggulkan riwayat mereka”

  1. Hadits Ibnu Mas’ud

Dari Ibnu Mas’ud: “Rosulullah tidak pernah melakukan Qunut dalam shalat”

Jawaban:

Jawaban atas hadits Ibnu Mas’ud: bahwasannya hadits tersebut dho’if jiddan (sangat lemah), karena hadits tersebut dari riwayat Muhammad bin Jabir as-Sahmi, sedangkan dia adalah orang yang sangat lemah (hafalannya) juga matruk (tidak diambil riwayatnya).

Juga karena hadits tersebut berbentuk nafyun (penafian) sedangkan hadits Anas adalah itsbat (penetapan) maka diunggulkan itsbat atas nafyun karena adanya tambahan informasi.

  1. Hadits Ibnu Umar

Dari Abu Mukhlid beliau berkata: aku sholat shubuh bersama Ibnu Umar -rodhiyallohu anhuma- dan beliau tidak membaca doa qunut, maka aku bertanya kepadanya: mengapa engkau tidak berqunut? Kemudian beliau berkata: saya tidak menghafalnya.

Jawaban:

Adapun hadits Ibnu Umar, maka dia tidak hafal tentang hadits qunut atau dia lupa, sedangkan Anas, al-Barro bin Azib dan selain mereka berdua mengingatnya. Maka diunggulkan orang-orang yang hafal.

  1. Hadits Ibnu Abbas

Dari Ibnu Abbas -rodhiyallahu ‘anhuma- : “Qunut subuh itu bid’ah”

Jawaban :

Jawaban atas hadits Ibnu Abbas adalah bahwa hadits tersebut dho’if jiddan (sangat lemah). Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari riwayat Abi Laila al-Kufi, beliau berkomentar: hadits ini tidak shohih karena Abi Laila matruk (tidak diambil riwayatnya). Dan kami telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya dia melakukan qunut subuh.

  1. Hadits Ummu Salamah

Dari Ummu Salamah, dari Nabi Muhammad, bahwasannya Nabi melarang melakukan qunut subuh.

Jawaban :

وعن حديث أم سلمة أنه ضعيف لأنه من رواية محمد بن يعلى عن عنبسة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن نافع عن ابيه عن ام سلمة قال الدارقطني هؤلاء الثلاثة ضعفاء ولا يصح لنافع سماع من أم سلمة والله أعلم

Jawaban atas hadits Ummu Salamah adalah bahwasannya hadits tersebut lemah, karena berasal dari riwayat Muhammad bin Ya’la dari Anbasah bin Abdirohman dari Abdullah bin Nafi’ dari ayahnya dari Ummu Salamah. Daruquthni berkata: “mereka bertiga semuanya lemah, dan juga tidak valid bahwa Nafi’ mendengar dari Ummu Salamah.

  1. Lainnya

Hadits tentang qunut subuh itu dho’if, dan bahwa ketua para ulama (maksudnya sahabat yaitu Thoriq, ayah dari Sa’d) mengatakan bahwa qunut subuh itu bid’ah.

Jawaban :

Telah disebutkan di atas bahwa sekelompok Huffadz telah mengatakan tentang ke-shohih-an hadits yang menjadi hujjah pendapat madzhab syafi’I, dan bahwasannya perkara tashih hadits itu perkara ijtihadiyah, maka yang dikedepankan adalah sikap legowo.

Apabila sahabat yang bernama Thoriq adalah ketua para ulama, maka Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali merupakan ketua para Sahabat, mereka semua sebagaimana disebutkan dalam hadits Awam bin Hamzah dan hadits Abdullah bin Ma’qil yang dihukumi sebagai hadits Hasan oleh al-Baihaqi, melakukan Qunut subuh. Wallahu a’lam

Setelah membaca semua ini, ada dua pilihan bagi pembaca; menerima bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah atau membantah dan menjawab dalil-dalil yang dibawakan Imam Nawawi.

Apabila tidak dijawab, berarti pengakuan bahwa masalah ini masalah khilafiyah, apabila dijawab maka itu juga bukti bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah, yang mana di dalamnya terjadi I’tirodh dan jawab. Apabila kita semua bersepakat bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah maka yang dikedepankan adalah sikap tasamuh, mari hentikan semua perdebatan yang tidak produktif.

Baca: Hukum Menjamak Salat Jumat Dengan Salat Asar

Form Konsultasi

RELATED ARTIKEL