fbpx

Cerpen: Sekelumit Tentang Sari

Lomba Menulis Majalah Al Hijrah Hong Kong, Sekelumit Tentang Sari

Oleh : Nay

Aku memasukkan kedua belah telapak tangan ke dalam saku jaket tebal yang menyelimuti tubuhku. Meski sudah memakai sarung tangan, namun dingin awal bulan Januari tak bisa dihalau oleh apapun, bahkan oleh kebebasan yang selama ini diangan-angankan.

Suasana kini serasa menjadi tak bersahabat. Letupan-letupan kesedihan menyembul di hati. Aku tertegun menatap koper yang berdiri di sampingku dengan mata nanar. Satu besar dan satu kecil. Sejurus kemudian, titik-titik kecil air mata jatuh perlahan membasahi pipi. Beberapa pasang mata yang berlalu lalang di hadapanku menatap heran. Setelah melihat bus yang akan kutumpangi mendekat, segera kuseka air mata.

Perjalanan ini terasa sungguh panjang dan melelahkan. Bergelut di tengah rimba beton yang nyaris membuat harapan akan masa depan yang lebih cerah itu terenggut nestapa. Bagaimana tidak? Sebelumnya, aku tak pernah membayangkan jika harus mengalami ini. Aku sering membaca koran dan mewanti-wanti diri sendiri agar jangan sampai menjadi korban. Nyatanya, rasa sayang dan iba yang telah bersemi mengalahkan kecerdasan logika. Kini, aku menjadi bagian dari orang-orang bodoh yang menjadi korban tersebut.

Refleksi wajah kuyu terlihat di kaca jendela saat bus memasuki terowongan. Seringai kecil tersungging dari bibirku. Mengingat kejadian itu …, aku merutuki diri sendiri. Bodoh.

****

Bagi aku yang berasal dari desa terpencil, memiliki sahabat baru seperti Sari itu menjadi kebanggan tersendiri. Meski umurnya tiga tahun di bawahku, namun cara berpikirnya sudah dewasa. Derita hidup yang diembannya sedari kecil membuatnya demikian. Meski dirundung masalah, senyumnya tak pernah hilang dari bibirnya, bahkan ia menjadi sumbu penyemangat bagi aku dan teman-teman lain yang sedang berada di penampungan menunggu keberangkatan.

Aku menjadikannya seperti saudaraku sendiri. Begitu pun sebaliknya. Bila Minggu tiba, adalah jadwal kunjungan dari keluarga tercinta. Aku hanya bisa menatap sedih kepada mereka yang sedang bercengkrama, berbagi kabar dan bertukar cerita. Bukannya aku tidak dikunjungi oleh Emak dan Bapak. Aku yang melarang mereka berkunjung. Selain jarak tempuh yang jauh, beban ongkos yang dikeluarkan pun besar. Bukan meringankan beban orang tua, malah membuat beban semakin besar. Kasihan jadinya. Maka, aku cukup meminjam ponsel dari Sari untuk menghubungi nomor rumah tetangga terdekat.

Lain hal dengan Sari. Tiap Minggu ia selalu dibesuk oleh kekasih yang katanya bekerja tidak jauh dari penampungan. Sesekali Sari mengajak mengobrol bersama kekasihnya. Kalau kekasihnya membawa makanan, Sari selalu membagikannya kepadaku. Suatu hari gadis itu bercerita tentang betapa beruntungnya ia memiliki kekasih seperti Wahyu yang bisa menerima keadaanya tanpa berpikir macam-macam. Memang, di era sekarang ini, materi terkadang menjadi tolak ukur yang tak bisa diabaikan. Kalau Sari sudah memulai membuka obrolan, aku hanya tersenyum mendengar kisah per kisah perjalanan hidup Sari hingga ia memutuskan berkelana ke negeri seberang.

Sari berangkat ke Hong Kong tiga minggu sebelum aku. Sebelum berangkat, ia berjanji akan tetap menjaga silaturahmi. Ia akan menunggu sampai aku datang ke Hong Kong.

Namun setelah aku sampai di Hong Kong, aku lost contact.

Aku bertanya pada teman seagen, kebanyakan mereka tidak ada yang tahu ke mana dan di mana Sari berada. Teman yang lain bilang, “mungkin Sari belum diberi libur oleh majikannya, Mbak.” Untuk kemungkinan tersebut, aku bisa memahaminya. Di kamar sepetak rumah majikan, aku hanya bisa berdoa, semoga keadaan Sari baik-baik saja.

Lantunan doa akhirnya membuahkan hasil. Di bulan ke delapan kami bertemu tanpa sengaja. Hampir saja aku tidak mengenalinya. Sari yang dulu terlihat cerah, wajahnya yang ceria serta tubuh sintalnya mendadak hilang. Gadis itu terlihat kuyu dan lusuh. Tubuhnya kurus. Lingkar hitam di sekitar matanya menandakan waktu istirahatnya berkurang. Miris sekali melihatnya.

“Sari kemana saja? Gimana kabar kamu? Majikanmu? Dia baik atau enggak?” berondongan pertanyaan keluar begitu saja dari mulutku.

“Mbak, bisa minta tolong gak?” wajah Sari terlihat serius. Pertanyaan-pertanyaan tentang kekhawatiranku menguap tanpa jawaban.

“Tolong apa, Sar?” tanyaku.

Sari terdiam lama seperti menimang-nimang kalimat apa yang hendak ia keluarkan untuk mengungkapkan keresahannya. “Mau gak, Mbak, Mbak jadi saksi?”

“Saksi?” kernyitan kecil menghiasi keningku.

“Aku mau pinjam uang di bank dan Mbak menjadi saksinya.”

Awalnya aku tidak mengerti tentang hal itu. Bagaimana resikonya dan prosedur yang dijalani, aku tidak tahu. Yang kutahu adalah namaku ada di selembar perjanjian antara Sari dan Pihak Bank sebagai saksi. Saksi di sini, dalam pemahamanku itu bahwa aku menyaksikan ijab kabul pinjam meminjam antara Sari dan Pihak Bank. Sebatas itu. Lantas dengan kepolosanku, alamat rumah majikan dan nomor ponsel kuserahkan tanpa curiga suatu apapun. Semua demi Sari. Demi menolong Sari.

Di pertemuan pertama itu, Sari menceritakan bagaimana ia harus bekerja siang dan malam demi sejumlah uang agar bisa membantu orang tuanya berobat. Minggu yang merupakan jatah libur sengaja tak ia ambil. Ia lebih memilih bekerja jika diperlukan atau mencari part time. Tujuh bulan masa potongan agen seperti mencekiknya. Kebutuhan di Indonesia semakin besar. Itu tak cukup membantu keluarganya. Apalagi setelah Bapaknya yang perokok aktif itu didiagnosa mengalami sakit paru-paru basah. Keadaan Sari terjepit.

Diceritakan oleh Sari, aku tertegun lantas menangis. Aku merasakan betul apa yang ia rasakan saat itu. Minggu depannya, kami berdua pergi ke kantor peminjaman uang. Tanpa curiga apapun, semua demi Sari, demi menolong Sari.

***

Empat bulan berlalu setelahnya …. Keadaan Sari membaik. Tak ada lagi wajah lusuh dan lingkar hitam di sekitar matanya. Mungkin karena pinjaman uang tersebut telah digunakan sebagaimana mestinya, juga masa-masa angsuran telah terlewati olehnya. Kini gaji kami utuh dalam genggaman per bulannya.

“Aku harus benar-benar bisa atur keuangan nih, Mbak, biar tercukupi semua kebutuhan.” Ucap Sari terkekeh.

Tapi Sari kembali menghilang.

Ponselnya tak bisa dihubungi. Pikiranku menjadi kacau. Kemungkinan-kemungkinan buruk melintas dalam benak. Tiba-tiba saja aku teringat wajah lusuh Sari ketika itu. Lingkar mata hitam dan postur tubuh yang tergerus masalah kehidupan.

“Sari …di mana kamu?” Seru batinku.

Lama tak ada kabar, sebuah telepon di siang hari membuatku terkejut. Sari meminjam uang lagi dan sudah jatuh tempo namun belum dibayar. Dari situ aku tahu bahwa menjadi ‘saksi’ adalah mereka yang bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan termasuk andai si peminjam tidak membayar di tanggal yang telah ditetapkan. Tanpa pemberitahuan kepadaku, Sari telah me-renew kontrak pinjamannya dalam nominal yang besar dengan saksi masih atas namaku.

Ya Allah … Lutut kakiku bergetar. Aku terjatuh terkulai di lantai dapur. Gejolak di hati merebak. Mendesak-desak. Membuat aliran deras di pipiku. Bagaimana bisa Sari yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri melakukan ini terhadapku?

Dalam lautan doa yang kulangitkan di tiap sujud, aku selalu berdoa agar bisa dipertemukan kembali dengan Sari dan mempertanyakan semua ini. Marah? Tentu saja aku marah. Bisa saja aku melapor meminta bantuan kepada organisasi-organisasi untuk membantuku. Atau …lebih parahnya, aku bisa mengunggah foto di media sosial dengan caption penipuan, teman makan teman, atau kalimat apalah itu yang bisa membuat netizen terprovokator. Tetapi, aku hanya manusia biasa. Kendati kepercayaanku telah dikoyak, aku masih memiliki empati.

Akhirnya, empat bulan gaji terpaksa kubayar untuk sesuatu yang tidak pernah kucicipi rasanya. Empat bulan waktu yang kupakai untuk merenung.

***

Bus yang kutumpangi menepi. Segera, aku mengambil kedua koper tersebut dan membawanya keluar. Seraya mengucapkan bismillahirrahmanirrahim …kugeret koper-koper itu menuju agensi.

Ngomong-ngomong, aku finish kontrak dan hendak mencari majikan baru. Berharap, suasana baru akan membawa hati pada kedamaian baru. Melupakan kejadian yang telah berlalu untuk diambil hikmahnya.

 

 

Note: Cerpen ini adalah cerpen pemenang ke-2 Lomba Menulis Majalah Al Hijrah Hong Kong, di mana, Mandiri Amal Insani (MAI) Foundation turut mendukung kegiatan tersebut.

Baca Juga: MAI Gelar Gerakan Santri Menulis di Pontren Babussalam Pekanbaru

 

RELATED ARTIKEL