fbpx

Apakah Dalil Syariat Sebatas al-Qur’an dan Sunnah Saja?

Hukum-hukum Islam adalah ajaran yang dibangun atas argumentasi dan landasan yang jelas dan kokoh. Terbentuknya hukum Islam tidaklah semata olah akal manusia, namun di dalamnya terbangun sinergitas antara kehendak langit dan pengetahuan akal manusia. Di mana kedua hal tersebut merupakan bagian dari hidayah atau petunjuk yang Allah berikan kepada manusia sebagai bekal dalam menjalani kehidupannya di dunia.[1]

Sebagai ajaran yang memiliki landasan dan dasar, para ulama sepakat bahwa dasar pokok dari ajaran Islam adalah al-Qur’an. Di mana istilah dasar ini, kemudian lebih dikenal dengan istilah dalil. Dan dalil yang menjadi dasar hukum Islam disebut dengan dalil syar’iy.

Secara bahasa, dalil syar’iy (الدليل الشرعي) terdiri dari dua kata yaitu dalil (دليل) dan syar’iy (شرعي). Secara etimologis, dalil berasal dari bahasa Arab yang bermakna petunjuk atas sesuatu yang hendak dituju (al-mursyid ila al-mathlub). Sedangkan penambahan kata syar’iy yang artinya sesuatu yang bersifat ke-syariahan, untuk membedakannya dengan dalil-dalil lain yang tidak dikatagorikan syar’iy seperti dalil logika, dalil matematika, dalil sains, dan dalil-dalil lainnya.

Sedangkan secara terminologi ilmu Ushul Fiqih, dalil syar’iy didefinisikan sebagaimana berikut:[2]

Setiap sesuatu yang dijadikan petunjuk dengan pengamatan yang benar atas hukum syariah yang bersifat amali/praktis, baik dengan jalan yang qath’i atau zhanni.”

 

Apakah Dalil Syar’i Hanya al-Qur’an dan Sunnah?

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah di dalam ajaran Islam khususnya dalam aspek hukum praktis (fiqih), yang dikatagorikan sebagai dalil hanyalah al-Qur’an dan Sunnah semata?

Sebenarnya pertanyaan ini muncul disebabkan munculnya pemahaman yang “keliru” terkait dengan istilah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Sebab pembatasan dalil syar’i hanya kepada dalil al-Qur’an dan Sunnah adalah pembatasan yang bertentangan dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab Ushul Fiqih. Imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) berkata: [3]

 “Dan para imam mazhab sepakat bahwa dalil-dalil syariat tidak terbatas pada keempat dalil tersebut (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas), di mana terdapat dalil syariat lainnya…”

Sebagaimana pembatasan dalil hanya pada al-Qur’an semata, pernah muncul pada masa Imam asy-Syafi’i. Di mana pada masa beliau, muncul sekelompok orang yang menamakan diri mereka dengan al-Qur’aniyyun, yang bermakna orang-orang yang menisbatkan diri kepada al-Qur’an. Kelompok ini muncul – terlepas beragam motivasi yang melatar belakanginya – dengan membawa jargon “Dasar hukum Islam hanya al-Qur’an” dalam rangka menolak Sunnah sebagai dasar hukum.

Hal mana, pemikiran yang sama pernah muncul pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib ra, yang dikemudian hari disebut dengan sekte Khawarij. Di mana mereka menolak ijtihad para shahabat dalam permasalahan yang memang terbuka peluang adanya ijtihad, sembari menyorakkan jargon “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah swt.” Mendengar ini, lantas Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Kalimat haq yang dimaksudkan untuk kebatilan.”

Di sinilah permasalahannya, di mana jargon untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah – sebagaia seruan yang ideal –, kemudian dapat menimbulkan pemahaman dan persepsi yang keliru serta menyesatkan, jika dimaksudkan untuk menolak sumber atau dalil hukum Islam lainnya. Termasuk dalam hal ini, produk ijtihad para ulama terkait manhaj dalam berijtihad (metode istinbath hukum), maupun terkait produk fiqih.

Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, para ulama sepakat bahwa dalil atau sumber hukum dalam Islam tidaklah semata al-Qur’an dan Sunnah. Namun, syariat juga melegitimasi dalil lain yang dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan hukum Islam, seperti ijma’ dan qiyas.

 

Al-Qur’an Sebagai Pondasi Setiap Dalil

Pada dasarnya, dalil hukum Islam yang pokok dan hakiki hanyalah al-Qur’an. Sebagaimana yang berhak untuk menetapkan hukum atas manusia hanyalah Allah swt, yang kemudian titahnya ini secara langsung termaktub dalam al-Qur’an. Penyusun al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah menulis: [4]

 “Al-Qur’an adalah dasar pertama dari dasar-dasar syariat lainnya. Dan ia merupakan hujjah (wajib diamalkan) dari berbagai sisi, sebab dasar-dasar lainnya bersifat legal oleh sebab legitimasi al-Qur’an. Oleh Karena Rasulullah saw menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah swt, dan sebab itulah perkataan Rasulullah saw (Sunnah) menjadi hujjah pula atas dasar legitimasi al-Kitab (al-Qur’an). Berdasarkan firman-Nya, “Apapun yang dibawa oleh Rasul maka ambillah.” (QS. Al-Hasyr: 7). Demikian pula (legitimasi al-Qur’an) terhadap Ijma’ dan Qiyas.”

Namun yang patut dipahami, meskipun al-Qur’an merupakan satu-satunya dalil pokok, namun al-Qur’an juga telah melegitimasi banyak dalil sebagai sumber hukum Islam. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak menetapkan hukum atas manusia, namun Allah swt juga telah memberikan legitimasi kepada manusia untuk menetapkan hukum.

Secara praktis, entitas Allah swt sebagai penetap hukum yang haqiqi kemudian tewujud dalam firman-Nya yaitu al-Qur’an. Sedangkan legitimasi Allah diberikan kepada dua pihak. Pertama, kepada Rasulullah saw yang terwujud dalam Sunnah-sunnahnya. Dan kedua, para ulama yang terwujud dalam ijtihad mereka.

Adapun landasan ketentuan di atas adalah hadits berikut, yang menceritakan dialog antara Rasulullah saw dengan Muadz bin Jabal ra, saat Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli/hakim.

Dari Muaz bin Jabal ra berkata: bahwa Nabi bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?”

Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan kitab Allah.”

Nabi bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?”.

Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah.”

Rasulullah bertanya kembali, “Jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?”

Muazd menjawab, ”Saya akan berijtihad dengan akal saya dan saya tidak akan lalai.”

Lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan taufiq-Nya kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR. Abu Daud).[5]

Dan juga firman Allah swt berikut ini:

 “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu (ulama). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah  dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama  dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59).

 

Klasifikasi Dalil-dalil Syar’i

Lalu apa saja dalil atau sumber hukum dalam Islam?.

Dalam hal ini, dalil dapat diklasifikasikan sebagaimana dijelaskan dalam definisinya di atas; apakah berdasarkan jenisnya yang disimpulkan dari kata “setiap sesuatu”, atau berdasarkan kualitasnya yang disimpulkan dari kata “jalan yang qath’i atau zhanni”.

  1. Klasifikasi Dalil Berdasarkan Kualitasnya

Maksud dari kualitas dalil adalah sifat dalil dari aspek qath’i dan zhanni-nya dalil. Dalam Ushul Fiqih, istilah qath’i-zhanni digunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil. Kata qath’i adalah sinonim dari kata-kata dharuri, yakin, pasti, absolut, dan mutlak. Sedangkan kata zhanni adalah sinonim dari kata-kata hadari, dugaan, relatif, dan nisbi.[6]

Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan dalil qath’i sebagaimana berikut:[7]

“Dalil yang menunjukkan kepada suatu makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat al-Qur’an atau hadits), dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta tidak ada peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”

Contoh dari dalil yang dipahami secara qath’i, seperti firman Allah swt yang menjelaskan bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Maka makna angka 4 bulan 10 hari, hanya bisa dipahami secara qath’i dengan angka tersebut. Sebagaimana firman-Nya:

 “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari). Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. al Baqarah: 234).

Sedangkan definisi dari dalil zhanni sebagaimana berikut: [8]

“Dalil yang menunjukkan makna tertentu yang harus dipahami dari teks al-Qur’an dan hadits yang mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta masih adanya peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”

Contoh dari dalil yang dipahami secara zhanni, seperti firman Allah yang menjelaskan tentang najisnya orang-orang musyrik, apakah najis yang dimaksud adalah najisnya badan mereka secara hakiki, atau najisnya akidah yang mereka yakini. Allah swt berfirman:

 “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at Taubah: 28).

  1. Klasifikasi Dalil Berdasarkan Sifatnya

Adapun dari aspek sifatnya, setidaknya dalil dapat dibedakan menjadi dua: dalil naqli dan dalil ’aqli. Di mana dari setiap dalil dengan dua sifat tersebut, ada yang disepakati legalitasnya (muttafaq ’alaihi) dan adapula yang diperselisihkan (mukhtalaf fihi).

Maksud dari dalil naqli (دليل نقلي) adalah dalil-dalil yang diterima melalui proses periwayatan seperti al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Syara’ man qablana, dan ’Urf.

Sedangkan yang dimaksud dengan dalil ’aqli (دليل عقلي) adalah dalil-dalil yang digunakan untuk mengistinbath hukum yang dasarnya adalah akal seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan Sadd Zari’ah.

Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang disepakati adalah bahwa semua ulama dari berbagai mazhab atau mayoritas di antara mereka sepakat untuk menggunakan dalil tersebut sebagai sumber dalam melakukan penggalian hukum. Dalil-dalil syara’ yang telah disepakati itu ada empat, yaitu: (1) al-Quran, (2) Sunnah, (3) Ijma’, dan (3) Qiyas.

Sedangkan yang dimaksud dengan dalil-dalil yang tidak disepakati adalah dalil-dalil syara’ selain al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Disebut mukhtalaf (diperselisihkan) karena tidak semua mujtahid menjadikan dalil-dalil ini sebagai rujukan dalam berijtihad.

Namun patut dicatat disini, bahwa sekalipun para ulama berbeda pendapat terkait legitimasi dalil-dalil yang diperselisihkan tersebut, namun dalam aplikasinya, mereka kadangkala menggunakannya dengan kadar yang berbeda atau bersepakat dalam suatu hukum, namun berbeda dalam penisbatan dalil atas masalah tersebut. Itu sebabnya sebagian ulama menyebut dalil yang diperselisihkan tersebut juga dengan istilah dalil sekunder (adillah tab’iyyah).[9]

Di samping itu, adapula yang menyebutnya dengan istilah istidlal. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zarkasyi dalam syarahnya atas kitab Jam’u al-Jawami’ karya Tajuddin as-Subki (w. 771 H): [10]

 “Kitab yang kelima: Istidlal. Yaitu setiap dalil selain nash (al-Qur’an dan Sunnah), Ijma’, dan qiyas…(penjelasan az-Zarkasyi): “Setelah as-Subki selesai menjelaskan masalah terkait al-Kitab (al-Qur’an), Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, dan para imam mazhab sepakat bahwa dalil-dalil syariat tidak terbatas pada keempat dalil tersebut, di mana terdapat dalil syariat lainnya. Hanya saja mereka berbeda dalam penyebutan (tasykhish) dalil tersebut, ada yang menyebutnya Istishhab, Istihsan, dan lainnya. Baru kemudian as-Subki memulai pembahasan ini (istidlal).”

Demikian pula dijelaskan secara gamblang oleh Saifuddin al-Amidi (w. 631 H), melalui definisinya atas istilah Istidlal:[11]

 “(Istidlal) adalah ungkapan untuk menunjuk setiap dalil selain nash (al-Qur’an dan Sunnah), Ijma’, dan Qiyas.”

Pendapat inilah yang masyhur di tengah ulama, bahwa makna istidlal secara khusus (ma’na ‘urfi) adalah setiap dalil selain ke-empat dalil yang disepakati. Sebagaimana istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh imam al-Juwaini, dan diperjelas oleh ulama setelahnya seperti al-Ghazali (w. 505 H) dan al-Amidi.[12]

Hanya saja, terkait berapa jumlah pasti dalil-dalil yang diperselisihkan ini, para ulama tidak satu suara. As’ad al-Kafrawi dalam disertasinya, al-Istidlal ‘inda al-Ushuliyyin, menyimpulkan setidaknya terdapat 8 istidlal yang masyhur di kalangan ulama, atau dapat pula disebut 8 dalil lain di luar dalil al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan Ijma’. Ke-delapan dalil tersebut adalah: (1) al-Adillah al-‘Aqliyyah, (2) ’Urf, (3) Mazhab Shahabi, (4) Syara’ man qablana, (5) Istihsan, (6) Istishlah, (7) Sadd Zhari’ah, dan (8) Istishhab.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalil atau sumber hukum dalam Islam tidaklah semata al-Qur’an dan Sunnah, namun termasuk juga setiap dalil yang dilegitimasi oleh al-Qur’an dan Sunnah.

Berdasarkan ini pula, jika seorang ulama mujtahid menetapkan suatu hukum yang tidak kita temukan landasannya dari al-Qur’an dan Sunnah, tidak serta merta pendapatnya tersebut ditolak. Apalagi dianggap tidak perlu diamalkan, dengan anggapan mereka adalah manusia yang bisa benar dan salah. Sebab bisa jadi, mereka memiliki argumentasi atau dalil lain yang telah dilegitimasi oleh al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri.

Itu sebabnya, pendapat mujtahid bagi umat (awam), pada dasarnya merupakan dalil yang juga dilegitimasi oleh syariat. Imam Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H) berkata:

 “Jika tiada mufti disebuah tempat maka tiada pula taklif/beban syariat, sebab hal tersebut seperti ketiadaan dalil. Di mana tiada taklif tanpa dalil, dan jika tiada dalil maka tiada amal. Demikian pula jika tiada mufti, maka orang awam tidaklah ditaklif untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan hal ini, maka disimpulkan bahwa pendapat mujtahid adalah dalil bagi orang awam. Wallahua’lam.”[13]

 

Isnan Ansory, Lc., M.A

Peneliti Rumah Fiqih Indonesia (RFI)

0852 1386 8653

 

[1] Imam Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, menjelaskan bahwa Allah swt telah membekali manusia 4 jenis hidayah: fitrah, panca indera, akal, dan syariat. (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, hlm. 1/52-53).

[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 20, Abdullah al-‘Anzi, Taisir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 12.

[3] Badruddin az-Zarkasyi, Tasynif al-Masaami’ bi Jam’i al-Jawami’ li Taj ad-Din as-Subki, (Mekkah: Maktbah Qurthubah, 1418/1998), cet. 1, hlm. 3/408.

[4] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, hlm. 31/33.

[5] Hadits ini ditolak oleh kalangan yang menolak qiyas karena statusnya yang dhaif. Sebab dalam hadits ini terdapat rawi yang majhul atau tidak diketahui kondisinya yaitu al-Harist bin ‘Amr ats-Tsaqafi dan sejumlah penduduk Homs dari shahabat-shahabat Mu’azd bin Jabal. Namun Ibnu Qudamah membatahnya dengan menyebutkan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah dari jalur lain yaitu dari Ubadah bin Nusaiy dari Abdurrahman bin Ghanam. Di samping itu, substansi hadits ini juga telah diterima olah seluruh umat (talaqqathu al-ummah bi al-qabul), sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Qudamah, al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih, al-Juwaini dalam al-Burhan, dan al-Ghazali dalam al-Mustashfa. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudhah an-Nazhir wa Junnah al-Munazhir, hlm. 2/170-171).

[6] Rokhmadi, Rekonstruksi Konsep Qath’iy dan Zhanniy Menurut al-Syatibi, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), hlm. 10. Muhammad Dakuri menulis sebuah penelitian tentang kualitas dalil yang cukup komprehensif, dalam disertasinya di Islamic University of Madinah Kerajaan Saudi Arabi dengan judul al-Qath’iyyah min al-Adillah al-Arba’ah, dan dicetak pertama kali secara resmi pada tahun 1420 H.

[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqih, hlm. 35.

[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqih, hlm. 35.

[9] Lihat: Abdul Qadir Ibnu Badran, al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Bairut: Mu’assasah ar-Risalah, 1401), cet. 2, hlm. 162, Manna’ al-Qatthan, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, (t.t: Maktabah Wahbah, 1422/2001), cet. 5, hlm. 397.

[10] Badruddin az-Zarkasyi, Tasynif al-Masaami’ bi Jam’i al-Jawami’ li Taj ad-Din as-Subki, (Mekkah: Maktbah Qurthubah, 1418/1998), cet. 1, hlm. 3/408.

[11] Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Bairut: al-Maktab al-Islamy, t.th), hlm. 4/118.

[12] As’ad al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda al-Ushuliyyiin, (Kairo; Dar as-Salam, 1423/2002), cet. 1, hlm. 52, 75, 128.

[13] Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat, hlm. 5/337. Lihat juga Sa’duddin at-Taftazani, at-Talwih ‘ala at-Tawdhih, hlm. 1/36, dan Qadhi Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, (Maghrib: Mathba’ah Fudhalah, t.th), hlm.1/63.

 

Sumber dari Rumah Fiqih

 

RELATED ARTIKEL